Suara Anak: Beri Kami Kesempatan dan Stop Jadikan Kami Dekorasi

 Suara Anak: Beri Kami Kesempatan dan Stop Jadikan Kami Dekorasi

Ilustrasi (Jermastok/Freepik.com)

Kisah Yuni (18 tahun) yang diceritakan dalam buku “Kesaksian Pengantin Bocah” (terbitan Rumah KitaB) membuat saya menitikkan air mata. Perjuangannya untuk menggapai cita-cita dijalaninya dengan ‘berdarah-darah’ dan penuh perjuangan. Yuni bahkan kehilangan keluarga yang dicintainya akibat memilih menolak menikah dengan lelaki pilihan orang tuanya.

Ibu dan ayahnya menjodohkan Yuni dengan lelaki bernama Wawan yang usianya 13 tahun lebih tua dari Yuni. Padahal saat dipaksa menikah Yuni tengah kuliah di universitas negeri di Makassar. Anak kedua dari tiga bersaudara ini dijemput paksa dari kampusnya, dikejar orang tuanya, dan diseret calon suaminya saat Yuni berusaha melarikan diri. Polsek di Makassar turun tangan akibat penganiayaan tersebut dan karena tak berhasil memediasi akhirnya perkara dibawa ke Polres dengan didampingi lembaga bantuan hukum (LBH) APIK Makassar.

Baca Juga: Perma 5 Tahun 2019: Benteng Terakhir Cegah Perkawinan Usia Anak Melalui Pengadilan 

Kegigihan Yuni menolak menikah di usia anak karena ia ingin sekolah dan mewujudkan cita-citanya. Ia tidak ingin hidupnya berkubang kemiskinan karena tidak memiliki pendidikan yang baik. Orang tuanya, menurut Yuni, lebih menuruti laki-laki yang akan dinikahkan dengan Yuni ketimbang dirinya sebagai anak. Alih-alih ibu bapaknya menyebut laki-laki itu baik sebenarnya, kata Yuni, orang tuanya telah menerima uang Rp 50 juta pemberian Wawan sebagai ‘panaik’.

Di akhir cerita, Yuni diceritakan tinggal di ‘rumah aman’ dan selama setahun hidup dalam ‘persembunyian’.  Selama pelariannya ia mendapat kabar dari saudaranya. Laki-laki yang dijodohkan untuk Yuni, justru tinggal bersama orang tuanya.  Sementara Yuni, anak kandungnya sendiri malah seperti tunawisma karena menolak dinikahkan.

 

Dengarkan Suara Anak

Kisah Yuni di atas adalah satu dari 52 cerita anak-anak yang dikawinkan paksa orang tuanya di beberapa daerah di Indonesia. Ditulis oleh tim penulis Rumah KitaB dengan editor Lies Marcoes dan Fadilla Dwianti Putri. Sebagian besar kasus perkawinan anak yang ditulis memiliki orang tua komplet, ayah ibunya masih lengkap. Hanya 11 anak yang diasuh oleh ibunya sebagai single parent atau janda.

Saya teringat tuturan Alya Z. Sabira. Ia adalah  sekretaris Pos Layanan Terpadu (Posyandu) remaja Aliansi Anak dan Remaja Sukaraja (Posrem Aksara). Posyandu ini diperuntukkan bagi anak remaja di Desa Sukaraja, Kabupaten Sukabumi Jawa Barat. Menurut Alya, kasus perkawinan anak seringkali terjadi karena anak dianggap sebagai obyek. Anak selalu dikorbankan oleh kepentingan orang tuanya sebagai orang dewasa yang mengambil keputusan tanpa mendengarkan suara anak.

“Perkawinan anak tidak ada dampak positifnya. Justru perkawinan anak sebagai ancaman dan berdampak negatif,” ujar Alya dalam webinar yang diselenggarakan Koalisi Perempuan Indonesia bertajuk “Memperkuat peran remaja dalam mencegah perkawinan anak melalui Peraturan Bupati tentang Pencegahan Perkawinan Anak” beberapa waktu lalu.

  Baca Juga: Melapor demi Melindungi Anak

Dalam webinar yang diikuti hampir sekitar delapan puluh remaja itu, Alya sebagai salah satu pembicara menyerukan supaya pemerintah dan berbagai pihak melibatkan anak-anak dan remaja dalam berbagai kegiatan dan pengambilan keputusan. Hal ini agar anak memiliki kesempatan menyuarakan pendapatnya.

“Anak-anak jangan hanya dilibatkan sebagai dekorasi, pajangan. Berilah kami kesempatan untuk berbicara dan berpendapat,” ujar remaja 17 tahun ini.

Dadan Sukandar, Ketua Forum Umat Beragama yang juga sebagai salah satu pembicara mengatakan, pemerintah daerah Sukabumi sebenarnya telah memiliki Peraturan Daerah No 1 Tahun 2018 tentang Perlindungan Anak. Hanya saja, ia menilai sosialisasi terhadap Perda tersebut belum maksimal.

“Kebijakan Perda sudah ada. Tinggal kita kawal bersama bagaimana impelementasinya,” ujarnya.

 

Prinsip Pemenuhan Hak Anak

Konvensi hukum anak (KHA) memuat empat prinsip umum yang menjadi acuan bagi setiap penyelenggaraan perlindungan dan pemenuhan hak anak. Empat prinsip tersebut adalah pertama, non diskriminasi. Artinya semua hak yang diakui dan terkandung dalam KHA perlu diterapkan dalam setiap penyelenggaraan perlindungan dan pemenuhan hak anak. Selain itu, keseluruhan hak anak itu juga harus diberlakukan kepada setiap anak tanpa pembedaan apa pun.

Baca Juga: Mengetahui Hak-hak Anak adalah Hak Anak

Prinsip ini tertuang dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) KHA yang selengkapnya berbunyi: “Negara-negara Peserta akan menghormati dan menjamin hak-hak yang ditetapkan dalam konvensi ini bagi setiap anak yang berada dalam wilayah hukum mereka tanpa diskriminasi dalam bentuk apa pun, tanpa memandang ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pandangan politik atau pandangan-pandangan lain, asal-usul kebangsaan, etnik atau sosial, status kepemilikan, cacat atau tidak, kelahiran atau status lainnya baik dari si anak sendiri atau dari orangtua atau walinya yang sah”.

“Negara-negara Peserta akan mengambil semua langkah yang perlu untuk menjamin agar anak dilindungi dari semua bentuk diskriminasi atau hukuman yang didasarkan pada status, kegiatan, pendapat yang dikemukakan atau keyakinan dari orangtua anak, walinya yang sah, atau anggota keluarganya”. 

Pasal 1 ayat (2) KHA memberikan kewajiban kepada semua penyelenggara perlindungan dan pemenuhan hak anak untuk selalu menggunakan prinsip nondiskriminasi tersebut dalam setiap bentuk penyelenggaraan perlindungan dan pemenuhan hak anak.

Kedua, yang terbaik bagi anak (the best interest of the child), yaitu bahwa “dalam semua tindakan yang menyangkut anak yang dilakukan oleh lembaga-lembaga kesejahteraan sosial pemerintah maupun swasta, lembaga peradilan, lembaga pemerintah atau badan legislatif, maka kepentingan yang terbaik bagi anak harus menjadi pertimbangan utama”. Rumusan tentang yang terbaik bagi anak tersebut ada di dalam Pasal 3 ayat (1) KHA yang memberikan dasar bagi setiap penyelenggara pembangunan sejak perencanaan, pelaksanaan, pembiayaan, dan evaluasi untuk selalu memperhatikan keterkaitan pembangunan dan kegiatan tersebut dengan kepentingan yang terbaik untuk anak.

Ketiga, hak hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan (the right to life, survival and deveploment), artinya “Negara-negara Peserta mengakui bahwa setiap anak memiliki hak yang melekat atas kehidupan” seperti dirumuskan dalam Pasal 6 ayat (1) KHA. Serta “Negara-negara Peserta akan menjamin sampai batas maksimal kelangsungan hidup dan perkembangan anak”, seperti dirumuskan dalam Pasal 6 ayat (2) KHA.

Prinsip ketiga ini juga merupakan prinsip yang mendasari setiap penyusunan dan perumusan norma yang dilakukan oleh Negara (pemerintah) terkait dengan penyelenggaraan perlindungan dan pemenuhan hak anak. Jaminan atas hak hidup dan kelangsungan hidup dan perkembangan anak harus menjadi salah satu tumpuan bagi penyelenggaraan perlindungan dan pemenuhan hak anak dengan perwujudannya yang dapat menyangkut pelbagai bidang seperti kesehatan, kesejahteraan, dan pendidikan.

Keempat, penghargaan terhadap pendapat anak (respect for the views of the child) yang berarti bahwa segala sesuatu yang dirumuskan dan direncanakan untuk dilakukan terkait dengan dan berpengaruh pada kehidupan anak, harus memperhatikan pendapat anak, termasuk dan tidak terkecuali pada setiap pengambilan keputusan. Prinsip ini tertuang dalam Pasal 12 ayat (1) KHA yaitu: “Negara-negara Peserta akan menjami agar anak-anak yang mempunyai pandangan sendiri akan memperoleh hak untuk menyatakan pandangan-pandangannya secara bebas dalam semua hal yang mempengaruhi anak, dan pandangan tersebut akan dihargai sesuai dengan tingkat usia dan kematangan anak”. 

Baca Juga: Pendidikan Seks untuk Anak Usia Dini

Keempat prinsip tersebut di atas, harus senantiasa menjadi acuan dan dasar dalam setiap penyusunan norma yang dilakukan oleh pemerintah (pusat maupun daerah) sehingga dapat mewujudkan komitmen Negara sebagai konsekuensi dari pengikatannya kepada Konvensi tersebut. []

 

Kustiah

 

 

Digiqole ad