Perlindungan Perempuan dan Anak Korban KDRT

 Perlindungan Perempuan dan Anak Korban KDRT

Ilustrasi (Sumber: Succo/Pixabay.com)

Sebelum membincangkan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), terlebih dahulu perlu diketahui apa yang dimaksud dengan kekerasan terhadap perempuan. Berdasarkan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women – CEDAW), kekerasan terhadap perempuan adalah kekerasan yang ditujukan kepada perempuan karena dia perempuan. Ini memengaruhi perempuan, dilakukan secara tidak proporsional, dengan kekerasan, ancaman tindakan serupa itu, dan bentuk pengekangan kemerdekaan lainnya. Selain itu, juga menimbulkan kerugian fisik, mental, seksual, dan kerugian dalam berbagai bentuk lainnya.

Salah satu Rekomendasi Umum Komite CEDAW, yaitu Rekomendasi Nomor 19 tentang Kekerasan terhadap Perempuan, menjelaskan bahwa kekerasan terhadap perempuan dapat berupa kekerasan fisik, psikis, dan dapat terjadi di ranah rumah tangga, publik, baik di ruang tertutup maupun terbuka.

Adapun lokus kekerasan dapat terjadi di tempat kerja dan rumah, yang selama ini dianggap tempat yang aman. Selain itu, juga dapat terjadi di pondok pesantren, asrama, boarding school, dan lain-lain.  Dari sisi pelaku juga beragam. Mulai dari yang sangat dekat, memiliki hubungan kedekatan personal, atau dari sisi kelembagaan.

Definisi KDRT

Definisi KDRT berdasarkan UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT), adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan fisik, seksual, psikis, dan/atau penelantaran rumah tangga, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.

Definisi ini menegaskan bahwa dampak yang ditimbulkan fakultatif, bukan komulatif. Artinya, KDRT dapat terjadi kekerasan fisik saja, atau kekerasan psikis saja, atau penelantaran rumah tangga saja.

Baca Juga: Apa Itu KDRT?

Selain itu, dalam definisi ini juga ditegaskan bahwa perbuatan ini terutama dilakukan terhadap perempuan, karena memang korban KDRT lebih banyak perempuan. Hal ini disebabkan perempuan seringkali diposisikan berbeda, baik di ruang privat maupun di ruang publik. Ini yang menyebabkan perempuan mengalami diskriminasi.

Diskriminasi yang dialami perempuan dapat terjadi secara berlapis. Misalnya, perempuan dalam rumah tangga ini tidak memiliki pendidikan yang cukup, atau misalnya berasal dari kelompok agama minoritas, atau disabilitas. Dia dapat mengalami diskriminasi berlapis selain mengalami diskriminasi karena dia perempuan.

Urgensi UU PKDRT

Mengapa diperlukan UU PKDRT? Karena perempuan yang paling banyak menjadi korban. Bahkan banyak kasus yang tidak ada datanya. Banyak kasus KDRT yang terjadi di rumah tangga tidak dilaporkan, karena lingkupnya rumah tangga. Yang mengetahui terjadinya KDRT pun terbatas. Mungkin yang mengetahui hanya korban dan pelaku.

Baca Juga: Dari Kekerasan dalam Pacaran ke KDRT

Selain itu, sistem hukum kita masih banyak yang menyudutkan perempuan. Dalam hal ini, ketika bicara sistem hukum, itu artinya bukan hanya UU. Misalnya, aparatur penegak hukum belum memiliki perspektif. Ketika bicara sistem, itu termasuk budaya.  Masyarakat yang justru sering kali menyalahkan korban.

Aturan sistem hukum yang hanya mengakui kekerasan fisik di KUHP. Dalam praktik, seringkali aparatur penegak hukum masih menggunakan KUHP dan tidak menggunakan UU KDRT, sekalipun yang terjadi adalah KDRT. Ini menunjukkan lemahnya perlindungan pada korban.

KDRT dalam Fakta

Berdasarkan Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2020, kekerasan terhadap perempuan yang terjadi antara 2008—2020 menunjukkan kenaikan jumlah kasus. Jikapun ada penurunan, itu tidak terlampau signifikan.

Sementara itu, berdasarkan data tahun 2005, setelah UU PKDRT disahkan, ada kenaikan pelaporan sampai 100% dibandingkan dengan sebelum disahkannya UU PKDRT.

Dalam pelaporan data kekerasan terhadap perempuan, Komnas Perempuan membaginya dalam tiga ranah: ranah privat, ranah komunitas, dan ranah negara. Dalam hal ini, KDRT selalu dilaporkan sebagai kasus kekerasan yang paling tertinggi jumlahnya di ranah privat. Bertahun-tahun, KDRT tidak pernah turun di urutan kedua. Setiap tahun, KDRT selalu menjadi kasus kekerasan yang paling banyak terjadi.

Adapun dilihat dari bentuk kekerasan dalam KDRT, yang terbanyak adalah kekerasan fisik. Catahu Komnas Perempuan mencatat, dari total 6.480 kasus di ranah privat, terdiri dari kekerasan fisik 31%, kekerasan seksual 30%, kekerasan psikis 28%, dan 10% adalah penelantaran rumah tangga.

Data ini perlu diberi atensi, bahwa angka yang sebanyak ini, adalah kasus kekerasan yang dialami perempuan yang dilaporkan dan ditangani. Hal ini mengingat cukup banyak kasus yang tidak dilaporkan, atau dilaporkan tapi tidak ditangani, sehingga tidak diregistrasi.

Adapun berdasarkan sebaran provinsi, DKI Jakarta selalu tercatat sebagai provinsi paling banyak dilaporkan terjadi KDRT. Disusul Jawa Barat, Jawa Timur, Bali, dan Jawa Tengah. Ini tentu perlu menjadi perhatian bersama.

Pengemban Mandat

Berdasarkan UU PKDRT, terdapat pihak-pihak yang diberikan mandat untuk mengimplementasikan UU PKDRT. Antara lain, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA). Kementerian ini memiliki lingkup tugas dan tanggung jawab untuk melakukan koordinasi dengan instansi pemerintah lembaga/institusi nonpemerintah terkait untuk implementasi UU PKDRT.

Baca Juga: 7 Cara Mendukung Korban Berani Bersuara 

Adapun pihak yang terkait dengan mandat pencegahan adalah Kementrian/Lembaga terkait dan organisasi masyarakat sipil. Sementara itu, mandat  untuk melakukan penanganan dan perlindungan terhadap peristiwa KDRT (pelaporan, perlindungan, serta proses penyelidikan dan penyidikan dan pendataan) merupakan tanggung jawab dari kepolisian. Di tingkat penuntutan, kejaksaan bertanggung jawab melakukan tuntutan terhadap peristiwa KDRT, perlindungan korban, proses dakwaan dan tuntutan, pengajuan hak restitusi korban, dan eksekusi putusan pengadilan.

Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi (tingkat banding), dan Mahkamah Agung (tingkat kasasi dan peninjauan kembali) bertanggung jawab mengadili dan mengeluarkan perintah perlindungan terhadap peristiwa KDRT.

Mandat perlindungan terhadap korban pada peristiwa tindak pidana (termasuk KDRT) diemban oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), yang dalam hal ini merupakan amanat langsung dari UU Perlindungan Saksi dan Korban.

Selain itu, ada mandat bantuan hukum yang merupakan tanggung jawab lembaga pemberi bantuan hukum antara lain: Pusat Pelayanan Terpadu/P2TP2A, organisasi advokat, dan lembaga swadaya masyarakat pemberi bantuan hukum, termasuk melakukan pendampingan hukum bagi korban peristiwa KDRT.[]

 

Dr. Ninik Rahayu, S.H., M.S. (Tenaga Profesional Lemhannas RI, Purna Pimpinan Ombudsman RI 2016-2021, Purna Komisioner Komnas Perempuan 2007-2009 dan 2010-2014)

* Tulisan ini bagian pertama dari 3 tulisan yang disarikan dari pemaparan Dr. Ninik Rahayu, S.H., M.S. dalam dialog melalui aplikasi rapat virtual bertema “Perlindungan Perempuan dan Anak dalam Keluarga” pada 28 Juli 2021, di mana JalaStoria.id turut mendukung acara ini.

Digiqole ad