Mala Tidak Ingin Terbang Lagi

 Mala Tidak Ingin Terbang Lagi

Ilustrasi

16 Juni adalah hari Pekerja Rumah Tangga (PRT) Internasional. PRT sendiri diartikan sebagai orang yang bekerja di dalam lingkup rumah tangga majikannya.

Kita mengenal beberapa istilah untuk ini seperti awalnya PRT adalah akronim dari Pembantu Rumah Tangga, atau ada juga yang menyebutnya sebagai Asisten Rumah Tangga. Untuk menegaskan bahwa PRT adalah pekerjaan yang selayaknya berbalas imbalan yang layak untuk meningkatkan kualitas hidup pekerjanya, akronim yang saat ini digunakan adalah Pekerja Rumah Tangga.

Pekerjaan domestik ini diidentikan dengan jenis kelamin perempuan. Kemiskinan menjadi salah satu faktor seseorang menjadi PRT, termasuk dengan menjadi PRT di negara lain. Mala adalah satu di antaranya.

Mala bertubuh mungil dan gempal. Ia bekerja sebagai PRT di Bahrain, di keluarga seorang dokter gigi (perempuan) dengan dua anak. Anak pertamanya, laki-laki sudah dewasa, sedang anak perempuannya berusia 15 tahun dan menjadi teman sehari-harinya di rumah. Mala memilih menjadi PRT di luar negeri setelah bercerai dengan suaminya. Ia mengakui, suaminya tidak memberinya nafkah karena malas bekerja. Anak satu-satunya ia biarkan bersama keluarga suaminya. Jika pulang, ia mampir dan memberikan bantuan biaya. Baginya menjadi PRT dan menjanda memberikan kebahagiaan dan kebebasan untuk mencari nafkah.

Aku berjumpa dengan Mala saat sedang transit di Abu Dhabi dalam perjalananku dari Berlin. Aku bertemu dengan Mala dan puluhan PRT lain yang akan pulang atau cuti, juga rombongan jamaah umrah. Situasi ini menjadikan rasanya sudah di Indonesia, walau aku mendapati rombongan jamaah umrah tidak mau ngobrol dengan mereka atau seorang isteri mendeliki suaminya yang menyapa para pahlawan devisa ini. Aku lebih merasa menjadi bagian dari mereka, maka obrolan, berbagi camilan dan obat sampai bagaimana mengakses wifi kami lakukan bersama. Termasuk dengan Mala.

Menurut Mala, selama menjadi PRT di Bahrain tidak ada pekerjaan berat yang harus dilakukannya. Namun karena si ibu kadang pulang larut dan kadang bertengkar dengan sang suami yang ada di rumah isteri kedua, yang sering kali pertengkaran itu terjadi via telepon, membuat Mala bingung untuk bersikap.

Selain itu, Mala bercerita bahwa anak pertama majikannya itu seringkali membawa teman-temannya dan juga pacarnya ke rumah. Tak jarang, anak pertama itu berserta teman-temannya minum-minum. “Tapi Mala kan ngga boleh ngadu, jadi dibiarin aja,” katanya.

Namun ia tidak mampu menutupi rasa jijiknya ketika menceritakan pekerjaannya membersihkan kamar anak pertama itu. “Geuleuh Teh, loba buluna…” ungkapnya dalam Bahasa Sunda. Teteh adalah panggilan kepada perempuan yang dianggap berusia lebih tua.

“Terus, kenapa berhenti ?” tanyaku.

“Si kakak, pas ibu sudah berangkat kerja, Mala lagi cuci piring, si kakak baru bangun tidur, terus meluk dari belakang, nyium. Mala teriak, mukul. Terus sudah lepas, Mala guyur pakai bekas cucian piring, adiknya juga ikut nyiram.” Sambil berdiri, tangannya mencontohkan bagaimana ia bolak balik mengguyur anak majikannya.

Saya tercenung dan memegang tangannya. Pasti sangat menakutkan dan ia berhasil lolos dari upaya perkosaan. Dalam banyak kasus, PRT yang melawan untuk membela diri dan menyebabkan pelaku tewas, justru terancam pidana mati. Belum lagi soal materi hukum di beberapa negara Timur Tengah yang tidak mengenali perkosaan sebagai kejahatan terhadap perempuan.

“Setelah itu, apa yang kamu lakukan?”

“Mala tunggu ibu pulang, ketika Mala ngadu, ibu ngga percaya. Mala tantang ibu untuk buka CCTV yang ada di rumah, dan pas dilihat, benar. Ibu majikan pun memarahi anaknya habis-habisan,” jawabnya.

Ada siratan nada kemenangan dalam suaranya. Ya, ia menang memperjuangkan haknya untuk dihormati tubuhnya.

Mala memilih berhenti. Ibu majikan dan anak perempuannya mengantarkan Mala ke KBRI. Di KBRI, ia sempat tinggal dengan staff yang diakunya sebagai saudara yang mengurus hak-hak dan kepulangannya.

Mala juga bercerita, sebelum bekerja di Bahrain, ia pernah bekerja di Malaysia. Majikannya etnis Tionghoa, sepasang suami isteri dengan satu anak. Tugas utamanya adalah mengantar dan menjemput si anak.

“Mala dikasih motor untuk antar jemput Teh. Pokoknya enak, bebas ka mana-mana. Kalau Nyonya ke salon, Mala ikut. Nanti Mala ikut dilulur, di-facial, kulit Mala bersih Teh,” kenangnya.

“Kalau makan?”

“Si nyonya kan nonmuslim, dia takut kalau ada makanan yang ngga boleh dimakan. Di rumah juga ada PRT dari Filipina, yang bertugas untuk memasak. Kalau Mala kadang dibelikan makanan atau dikasih uang untuk beli makan,” ia menjelaskan bagaimana si nyonya memperlakukannya. Pengalaman bekerja dengan etnis tionghoa itu mengeser stigma yang sebelumnya ia percayai.

Walaupun mendapatkan perlakukan yang terhormat, Mala ternyata memilih berhenti setelah dua kali perpanjangan kontrak kerja.

“Kalau enak, kunaon (kenapa) berhenti?”

“Bosen, pengen suasana baru. Ayeuna mah hanjakal (sekarang menyesal)” sesalnya.

Pesawat yang kami tumpangi dari Abu Dhabi menuju Jakarta tiba-tiba harus mendarat di Singapura. Pasalnya, ada salah satu penumpang dari jamaah umrah yang wafat saat pesawat berada di atas udara Singapura. Kami harus mengikuti prosedur pemeriksaan kesehatan di imigrasi Singapura dan diinapkan semalam di hotel.

Dalam prosedur ini, saya menyaksikan betapa ketidakmengertian dan saling “mengolok” menjadi pertengkaran tersendiri. Para Tenaga Kerja Indonesa (TKI) yang tidak menyelesaikan kontraknya dianggap tidak sukses, dan di-bully sebagai “kaburan”.

Di rombongan kami, (kebetulan ada yang bersebelahan denganku) ada TKI yang dipulangkan difasilitasi oleh KBRI dengan menggunakan dokumen laksana pasport. Tentu mereka melarikan diri karena berbagai sebab. Mala muntab, memarahi seorang TKI yang dinilainya sombong. Aku pun melerai.
“Sudah, sudah. Semua capek. Kamu jangan panggil mereka kaburan, karena mereka kabur memiliki alasan dan mereka itu saudara kita,” ujarku.

Teteh memang siapa?”

“Saya pengacara..!” akhirnya aku menyebut identitas, yang enggan aku sebutkan, karena rasanya menjadi sombong.

Seusai menjalani prosedur pemeriksaan imigrasi, tak kusangka ternyata Mala menungguku di luar. Kami lalu tidur sekamar, dan menikmati Singapura walau di sekitaran hotel. Mala bercerita ia tidak ingin terbang lagi untuk bekerja menjadi TKI, ia akan bekerja di rumah makan. Tentu aku dukung, termasuk saran untuk melanjutkan sekolah. Dengan pengalaman, kecerdasan dan keberaniannya, ia akan menjadi perempuan tangguh.

Selamat Hari PRT Internasional.

Sumber foto: freepik.com


Siti Aminah
Penulis adalah Advokat publik.

===
Kisah ini diceritakan penulis di laman Facebooknya, dan dituliskan kembali untuk JalaStoria.id

Digiqole ad