Memandang Makna Kartinisasi di Kalangan Kelas Menengah

 Memandang Makna Kartinisasi di Kalangan Kelas Menengah

Ilustrasi tentang Kartini di masa kini

Kartini adalah simbol perempuan masa depan. Begitulah imajinasi kita membaca Kartini. Tanpa memunggungi pemikir perempuan “radikal” lainnya. Pemikiran Kartini hingga saat ini bisa dikatakan melampaui zamannya.

Diakui tokoh perempuan kelahiran 1879 asal Jepara ini mempunyai pengaruh cukup besar dalam mendongkel hegemoni watak primordial bangsawan Jawa. Kepeduliannya mengangkat derajat perempuan melalui sekolah yang didirikannya tidak diragukan. Barangkali karena usahanya itu pula ia diganjar sebagai tokoh emansipasi.

Menjadi wajar jika hari kelahiran Kartini diperingati secara nasional. Selebrasi yang mengusung tema Kartini semarak digelar; mulai dari Istana Negara, kampus, sampai panggung budaya ikut merayakannya. Di media sosial tak kalah riuhnya, mulai dari poster, flyer, puisi, hingga mural bertebaran merayakan Kartini.

Namun, dari situ juga pemaknaan Kartini tampak begitu sempit. Sebab, yang dilembagakan dari Kartini hanya tanggal kelahiran, nama, kebaya yang dipakainya, dan sanggul rambutnya yang menggambarkan kekhasan entitas tertentu. Pendeknya, ketubuhannya.

Padahal, Kartini sebagai sosok yang fenomenal bertindak secara aktif tidak hanya meninggalkan “kesan”, tetapi juga “pesan”. Bagian kedua inilah yang tidak menjejak dalam kebudayaan kita yang masih feodal. Pemikiran Kartini yang revolusioner absen dari diskursus kebudayaan kita setidaknya akhir-akhir ini.

Keberanian Kartini yang memperjuangkan kaumnya kering dalam pembicaraan di ruang publik. Sebaliknya, yang tampak menonjol hanya adu slogan kosong yang murah, dangkal, dan banal. Lebih menyedihkan lagi, pemikiran Kartini juga tidak luput dari pemaknaan “ideologis-politis” yang dinarasikan dalam posisi biner, skripturalis dan pragmatis.

Terlepas dari itu semua, Kartini adalah seorang pemikir kritis, rasional, dan radikal yang tak segan mengkritik kultur bangsawan Jawa yang feodalistis sekaligus patriarkis. Ia hidup di antara puncak feodalisme Jawa dan gerbang modernisme. Saat usianya menginjak 16 tahun, Kartini sudah memasuki masa pingitan. Tidak sebentar, enam tahun Kartini muda menjalani masa pingitan.

 

  Baca Juga: Ini 5 Sifat R.A Kartini yang Patut Dicontoh Wanita Masa Kini

 

Dalam suasana “keterkungkungan” itulah Kartini mempertajam pikirannya dan mengasah kepekaannya. Kartini “memberontak” terhadap tatanan hidup bangsawan Jawa yang kolot. Ia menolak tunduk pada kehendak aturan agama dan kultural di saat yang lainnya membungkuk.

Semisal soal pernikahan. Baginya menikah hanya akan menghambat semangat belajarnya yang sedang menggebu. Atas desakan keluarga terutama ayahnya yang seorang bangsawan, Adipati Ario Sosroningrat, akhirnya Kartini bersedia menikah di usia 24 tahun. Usianya yang tidak lagi muda di masa itu.

Sebagai anak bangsawan, Kartini mempunyai nyali untuk mengutarakan hati nuraninya. Ringkasnya, mengajukan syarat sebelum menjadi istri Bupati Rembang Raden Adipati Djodjodiningrat, seorang duda dengan tujuh anak dan tiga orang selir.

 

 

Post-Kartinian

Kini di abad 21, emansipasi yang selama ini dilekatkan dengan sosok Kartini, sepertinya hanya dipahami oleh perempuan dari kelas sosial menengah atas. Mereka yang mempunyai privilege, baik dari posisi orang tuanya atau status sosial dirinya yang lahir dari kalangan pebisnis, politisi, akademisi, hingga selebriti.

Ambil contoh seorang artis, Raline Shah, aktris yang kini berusia 37 tahun masih melajang. Ketika ditanya perihal pernikahan, bintang film 5 CM itu menjawab tegas jika pernikahan bukan soal usia. Ada kematangan mental, material, dan pencapaian karier yang juga tak kalah pentingnya untuk diperjuangkan.

Sementara hal yang sama juga diakui artis Cinta Laura dan Prilly Latuconsina. Keduanya meyakini jika di dalam keluarga dan teman pergaulannya tidak ada yang menyatakan pernikahan sebagai pencapaian prestisius. Sebaliknya, sebagai perempuan yang di alam modern karier, pencapaian “non-spiritual” tak kalah sakralnya untuk dicapai. Jadi dapat disimpulkan, sebagai aktris yang lahir dan besar dari keluarga kelas sosial menengah atas, mereka telah mendapatkan segalanya, baik dari segi pendidikan, kesehatan, relasi, kemudahan akses dan kesetaraan (access and equity).

Baik Raline Shah, Cinta Laura, maupun Prilly Latuconsina mempunyai kesamaan dengan Kartini yang besar di lingkungan kelas sosial menengah atas. Hal yang sama juga terjadi dalam dunia rekaan—fiksi—yang dikisahkan dengan epik oleh Sultan Takdir Alisjahbana (STA) melalui tokoh imajinasinya, Tuti, dalam roman Layar Terkembang. Melalui penokohan Tuti, STA hendak menitipkan suaranya yang lantang.

 

Baca Juga: Sejarah Perempuan adalah Sejarah Ketidakadilan

 

Pernikahan bukanlah pelarian untuk melepas tanggung jawab orang tua. Bukan pelarian dari kemiskinan, juga bukan pelarian dari kesepian untuk memperoleh status sosial-budaya di tengah masyarakatnya. Penggambaran tokoh Tuti sebagai seorang perempuan terdidik mempunyai watak yang rasional dan kritis, sebagaimana Kartini dan perempuan lintas generasi kosmopolitan lainnya.

Dengan bahasa sederhana saya ingin mengatakan, produksi kesadaran kritis lahir dari kalangan kelas menengah atas. Begitu pun dengan gerakan nasionalisme yang dipelopori oleh kelas sosial menengah: Soekarno, Hatta, Sjahrir, Tan Malaka, dan kebanyakan tokoh revolusioner lainnya ialah orang terdidik yang mengenyam pendidikan.

Pertanyaan penting yang harus diajukan adalah, apakah pikiran-pikiran Kartini bisa dipahami dan diwujudkan dalam laku hidup oleh perempuan yang lahir dari kelas sosial bawah? Meminjam Arif Akhyat-Post-Kartinian, masih banyak “Kartini-Kartini” yang tidak disentuh pikiran modernitas, yang terkungkung dalam cengkeraman kapitalisasi, birokrasi, patriarki, LSM, media, dan konservatif budaya-agama. Mereka tersebar di pelosok desa, di gang-gang sempit Jakarta, di pojok-pojok industrialisasi kota.

Ada juga Kartini yang bekerja sebagai buruh, babu-babu sampai petani menggantungkan hidupnya hanya untuk mencari makan. Sedari kecil mereka terbiasa terasing dari pendidikan tinggi, terasing dari pekerjaan hingga tidak dapat membedakan batas ruang publik dan domestik. Mereka tak menyentuh teks akademik yang kaku.

Pada titik ini, sampai kapan perayaan hari Kartini hanya diperingati sebagai selebrasi “infotainment” yang hanya sekadar “demagogi” bukan “pedagogi”. Menarasikan keberhasilan “Kartini-Kartini” dari kelas menengah atas, lalu abai mengampanyekan perjuangan

“Kartini-Kartini” dari kelas yang tertindas, yang dibiarkan rapuh dan telanjang oleh negara. Singkatnya, harus ada kontra narasi. Dengan cara itu kita memperjuangkan Kartini-Kartini yang tidak disorot mata kamera, yang terhalang tembok modernitas, dan yang tidak dilibatkan dalam perumusan kebijakan negara.

 

Ade Mulyono, Feminis dan pemerhati pendidikan, tulisannya tersiar di sejumlah media.

 

 

Digiqole ad