Miskonsepsi tentang Feminisme dalam Pendidikan

 Miskonsepsi tentang Feminisme dalam Pendidikan

Siswa bersama guru kerja bakti di lingkungan sekolah.

“Ini Ibu Budi. Ini Bapak Budi”

Ada penggalan kata dalam buku belajar membaca dan menulis judul legendaris karya Siti Rahmani Rauf yang berbunyi “Ini Ibu Budi, Ini Bapak Budi”. Buku ini semakin mudah dipahami dengan disisipkan ilustrasi yang menceritakan keseharian Budi dan keluarganya.

Ilustrasi itu menggambarkan Budi berjalan ke luar rumah, bapak Budi membaca koran, ibu Budi menjahit, dan kakak perempuan Budi mengelap jendela. Ilustrasi lainnya menggambarkan Budi dan bapak Budi membawa ember dan sekop, sementara ibu dan kakak perempuan Budi memetik bunga.

Lewat ilustrasi ini seolah tergambar perbedaan antara perempuan dan lelaki. Digambarkan lelaki yakni Budi bisa berjalan keluar rumah, sementara kakaknya yang perempuan melakukan pekerjaan rumah.

Perbedaan perlakuan antara perempuan dan lelaki sebenarnya sudah terjadi sejak zaman dahulu. Tidak hanya di Indonesia, di beberapa negara Eropa dan Amerika Serikat juga kesetaraan gender masih terus diperjuangkan.

 

Feminist Movement

Sebenarnya pergerakan feminisme bermula di Eropa dan Amerika Serikat. Namun bukan berarti isu kesetaraan gender hanya menjadi masalah di belahan bumi barat. Gejolak perempuan untuk mendapatkan kesetaraan sudah ada sejak lama di Indonesia. R.A. Kartini dan Dewi Sartika merupakan dua pelopor feminisme di Indonesia. Dua tokoh wanita tersebut sudah lama memperjuangkan kedudukan kaumnya.

Sayangnya hingga sekarang masih bisa terlihat ketidakmerataan yang dialami sebagian perempuan. Perlu digaris bawahi bahwa feminisme tidak pernah meminta perempuan untuk bebas atau mendominasi siapapun. Sebaliknya, feminisme mendukung kesejahteraan yang adil bagi perempuan maupun pria.

 

Baca Juga: Memandang Makna Kartinisasi di Kalangan Kelas Menengah

 

Salah satu hal yang masih terlihat belum setara antara lelaki dan perempuan dalam hal pendidikan. Di zaman sekarang ini masih kita temui ketidakmerataan pendidikan yang mengarah pada permasalahan gender. Ada banyak faktor yang turut menyebabkan tidak meratanya pendidikan di Indonesia, di antaranya adalah faktor ekonomi dan sosial.

Kondisi ekonomi sering kali memaksa anak perempuan untuk berhenti sekolah dan membantu keluarganya mencari uang. Sementara dari segi sosial, tidak sedikit keluarga yang mendukung anak laki-lakinya untuk bersekolah lebih tinggi daripada anak perempuan.

Fenomena ini juga dipengaruhi adanya stereotipe bahwa anak perempuan tidak harus bersekolah tinggi, karena kodratnya menjadi istri dan ibu yang akan mendedikasikan hidupnya untuk mengurus suami dan anak di rumah.

 

Paradoks Feminisme dalam Ranah Pendidikan

Menurut Mia selaku Ketua Program Studi Kajian Gender Universitas Indonesia, ada tiga ranah terkait masalah diskriminasi gender dalam dunia pendidikan yaitu dari segi struktural, kultural dan individual.

Pertama yakni dari segi struktural. Ambil contoh masih ada beberapa sekolah yang menggabung kamar mandi siswa perempuan dan lelaki. Padahal ada perbedaan kebutuhan antara perempuan dan laki-laki.

Sebenarnya pernyataan ini bisa saja bersifat bias karena perempuan dianggap lebih pemilih daripada laki-laki. Namun sebaliknya, hal ini lebih mengungkap keadaan nyata bahwa fasilitas jamban atau toilet terpisah di sekolah merupakan hal yang sangat penting bagi anak perempuan. Terlebih saat momen di mana tiga hari pertama siswa perempuan menstruasi, mereka ingin fasilitas kamar mandi yang aman dan nyaman.

 

 

Baca Juga: Ini 5 Sifat R.A Kartini yang Patut Dicontoh Wanita Masa Kini

 

Kedua yakni segi kultural. Hal ini dapat terlihat dalam kehidupan sehari-hari, di mana masyarakat secara tidak sengaja sering mengkotak-kotakkan beberapa pekerjaan tertentu yang identik dengan pekerjaan laki-laki dan perempuan.

Contohnya ketika di sekolah ada kegiatan kerja bakti, biasanya siswa laki-laki lebih memilih untuk mengerjakan tugas yang dianggapnya maskulin seperti mengangkat meja kursi dan memasang atau memaku dinding untuk memasang mading. Sementara siswa perempuan biasanya menyapu, mengelap, dan misal ada lomba mading maka perempuan lebih dominan dalam mengisi konten dan menghias mading tersebut.

Berdasarkan kasus tersebut, dapat dilihat bahwa kenyataannya kebanyakan budaya masih mengadopsi prinsip bahwa kebersihan merupakan tanggung jawab perempuan saja. Padahal di balik itu, paradoks feminisme ingin meluruskan bahwa segala hal yang dilakukan secara kerja sama akan terasa lebih mudah dan bermakna, hendaklah menjadi tanggung jawab bersama karena sama-sama menggunakan fasilitas tersebut.

Ketiga yakni dari segi individual, di mana segi struktural dan kultural akan kembali lagi pada individu masing-masing. Permasalahan diskriminasi gender di dunia pendidikan harus dituntaskan karena merupakan komponen penting dalam menciptakan kemajuan bangsa. Terlebih di zaman sekarang, kesenjangan berbasis gender lebih susah dihadapi karena telah dinormalisasi dengan budaya. Untuk mengatasi permasalahan diskriminasi maka diperlukan kerja sama dan kesadaran pada setiap individu. Pola pikir yang maju penting untuk menciptakan lingkungan sekolah yang menyenangkan tanpa merasa dibedakan antar gender.

 

Penulis: Wulan Probo Bintari, S.M., S.S.

Digiqole ad