Sembako Melangit di Pedalaman Kalimantan

 Sembako Melangit di Pedalaman Kalimantan

Ilustrasi pedalaman Kalimantan (Sumber: Pixabay/DarwisAlwan)

Saya tinggal di ibukota Kalimantan Tengah, Kota Palangkaraya. Bersama sejumlah kawan, saya  bekerja untuk penguatan gerakan sosial bagi perempuan yang tinggal di sejumlah desa di pedalaman Kalimantan. Tepatnya di Desa Mantangai, Desa Kalumpang, dan Desa Sei Ahas. Ketiganya terletak di Kabupaten Kapuas, sekitar 7-9 jam dari ibukota provinsi.

Letaknya sungguh di pelosok nun jauh di sana, bahkan jauh untuk dijangkau dari ibukota kabupaten. Jika berangkat jam 6 pagi, kami akan tiba di Desa Mantangai jam 1 siang. Untuk mencapai desa-desa itu, kami berganti kendaraan beberapa kali. Setelah naik mobil, kami lanjut naik perahu agak besar untuk mencapai Desa Mantangai. Sementara untuk menuju Desa Sei Ahas, kami harus melanjutkan perjalanan menggunakan perahu kecil kurang lebih 2 jam. Adapun Desa Kalumpang, berjarak sekitar 15 menit dari Desa Mantangai.

Belum lama ini, kami mendapatkan informasi dari perempuan yang ada di Desa Mantangai, Desa Kalumpang dan Desa Sei Ahas terkait dampak pandemik Covid-19. Di Desa Mantangai, kini para perempuan harus mengeluarkan dana lebih banyak untuk memenuhi kebutuhan keluarga.  Apabila sebelum pandemik, bahan pokok dapat dibeli dengan harga yang wajar, saat ini harga bahan pokok berkali lipat dari biasanya.

Sementara itu, kondisi lebih sulit diceritakan oleh para perempuan dari Desa Kalumpang dan Sei Ahas. Para perempuan di kedua desa itu bukan hanya mengeluarkan dana yang lebih tinggi untuk membeli sembako, tapi juga kesulitan memperoleh uang tunai untuk dibelikan kebutuhan bahan pokok.

Biasanya, mereka dapat membeli bahan pokok dari uang hasil penjualan karet. Namun, saat ini mereka tidak lagi dapat menjual karet karena tidak ada tengkulak yang turun membeli. Pembatasan mobilitas manusia sebagai cara untuk mencegah penularan Covid-19 turut membuat tengkulak membatasi kedatangannya ke desa untuk membeli hasil alam. Apalagi, saat ini sudah mulai dilakukan pembatasan transportasi di perbatasan kota.

Sementara, apabila para perempuan itu harus menjualnya langsung ke kota, biaya transportasinya bukan tidak mungkin malah membuat mereka akan merugi.

Padahal, sebagaimana umumnya desa lain di pedalaman ini, pasar hanya buka seminggu sekali. Bisa dibayangkan, saat pasar buka namun para perempuan ini tidak memiliki uang yang cukup untuk membeli bahan pokok karena harga yang tidak terjangkau. Untuk 1 blek beras atau setara 13Kg, mereka harus merogoh kantong sampai Rp230ribu. Sementara gula berkisar Rp25ribu/kg.

Apabila bahan pokok tidak terbeli, mungkin masih ada jalan keluar bagi sebagian di antara mereka yang menanam padi. Di pedalaman ini, tidak semuanya mempunyai lahan yang ditanami padi karena adanya larangan pembakaran lahan. Sebagian akhirnya bergantung pada tanaman pangan dari kebun, seperti singkong, ubi, dan lain-lain. Namun, untuk kebutuhan yang tidak dihasilkan oleh kebun seperti garam, minyak, gula, dan lain-lain, mereka harus membeli ke pasar yang kini harganya sudah tidak terjangkau.

Dari hadirnya  wabah ini, kita melihat betapa perempuan semakin memiliki beban yang berlapis dan harus berfikir ekstra keras agar keluarganya tetap makan.[]

 

Margaretha Winda

Ketua Badan Eksekutif Komunitas Solidaritas Perempuan Mamut Menteng, Kalimantan Tengah

 

*Untuk meringankan beban para perempuan di ketiga desa tersebut,  Komunitas Solidaritas Perempuan Mamut Menteng Kalteng berinisiatif menggalang donasi yang ditujukan untuk membantu pembelian sembako dengan harga wajar bagi para perempuan di ketiga desa tersebut, serta pembelian masker dan handsanitizer untuk melindungi warga desa tersebut yang masih harus beraktivitas di luar rumah.

Informasi untuk donasi sebagai berikut:

(Sumber: Komunitas Solidaritas Perempuan Kalteng)
Digiqole ad