Kekerasan terhadap Perempuan dan Upaya Pemberdayaan Korban
Oleh: Masruchah
Kekerasan terhadap perempuan tidak lepas dari relasi kuasa yang timpang. Adapun definisi kekerasan terhadap perempuan adalah segala tindakan atau perbuatan yang dapat mengakibatkan penderitaan fisik, psikis, seksual, dan ancaman-ancaman tertentu. Ini adalah pandangan yang digunakan di Indonesia dan di dunia.
Kasus kekerasan terhadap perempuan dapat berupa kekerasan dalam rumah tangga atau keluarga, ataupun kekerasan seksual. Angka kekerasan terhadap perempuan ini luar biasa tingginya. Ketika muncul angka kekerasan terhadap perempuan, itupun sebenarnya hanya sekedar kasus yang dilaporkan. Faktanya justru jauh lebih besar.
Kekerasan seksual antara lain perkosaan, pemaksaan pelacuran atau perempuan yang dilacurkan, pelecehan seksual, perkawinan paksa. Perkawinan anak seringkali lekat dengan perkawinan paksa, di mana jika ditelusuri tidak ada anak yang sukarela menikah. Data menunjukkan, tingkat perkawinan anak di Indonesia menempati urutan ke-2 di Asean.
Baca Juga: 7 Cara Mendukung Korban Kekerasan Seksual Berani Bersuara
Selain itu, kekerasan seksual dapat berupa inses, di mana pelaku adalah yang memiliki hubungan darah dengan korban. Misalnya, kasus di Luwu Timur. Terjadinya inses luar biasa banyaknya. Penyebabnya antara lain, anak dipandang sebagai aset, hak milik yang dapat diperlakukan sekehendak orangtuanya, dan anak dalam pandangan budaya harus patuh kepada orangtuanya.
Di sisi lain, ada kasus kekerasan seksual terhadap anak di Aceh. Korban seharusnya mendapatkan pembelaan dari negara dan pemulihan dari masyarakat, tetapi justru korban dipenjara karena ada kebijakan qanun jinayat.
Dalam kasus lainnya, anak tidak bisa bersaksi di Mahkamah Syar’iyyah dan tidak dapat bersumpah di depan Mahkamah, sementara pelaku bersumpah tidak memperkosa, akhirnya anak ini dianggap bukan korban. Situasi ini mengabaikan kondisi anak yang belum punya kekuatan dan belum bisa mengambil keputusan. Ini persoalan penegakan hukum yang tidak menyediakan keadilan untuk korban.
Penyebab Kekerasan
Di satu sisi, ada permasalahan tingkat pengetahuan perempuan mengenai kekerasan. Saat ini masih merupakan pekerjaan rumah bagaimana membuat semua perempuan memahami bahwa peristiwa yang dialaminya merupakan kekerasan.
Sementara itu, di sisi lain ada konteks budaya patriarki yang luar biasa. Kekerasan terhadap perempuan terjadi lintas kelas, lintas pendidikan, dan lintas elemen. Berdasarkan pengalaman saya bertugas di Komnas Perempuan selama 10 tahun, saya melihat sendiri kekerasan terhadap perempuan itu dialami oleh berbagai lapisan masyarakat. Mulai dari mereka yang berpendidikan rendah sampai tinggi. Profesor juga ada. Mereka pintar tapi mengalami ekerasan.
Hal ini dikarenakan terjadinya kekerasan terhadap perempuan tidak lepas dari konteks kontruksi budaya, di mana budaya memposisikan dan mengarahkan perempuan tidak setara dengan laki-laki. Misalnya, perempuan harus mengunggulkan laki-laki, harus melayani, harus mengelola pemberian dari laki-laki sebagai suami agar mencukupi seberapapun yang diberikan.
Sekalipun korban berpendidikan tinggi, kadang-kadang mereka menerima terjadinya kekerasan karena meyakini ajaran dalam konteks budaya itu sebagai pemahaman agama. Padahal, dalam Islam misalnya, sama sekali tidak mengajarkan boleh dilakukan kekerasan. Justru, siapapun yang melakukan kekerasan, pasti ada sanksinya.
Tapi kadang-kadang muncul sejumlah penafsiran atas ajaran agama yang kembali melanggengkan konteks konstruksi budaya tadi. Misalnya, tafsir mengenai pemimpin, bahwa laki-laki dalam kondisi apapun adalah pemimpin, sehingga dalam kondisi apapun istri harus menurut. Padahal Islam mengenal konsep mu’asyawarh bil ma’ruf (. Dalam kasus lainnya, kadang-kadang perempuan itu dilemahkan, menjadi milik pihak lain, dan seterusnya.
Diskriminasi
Definisi perempuan korban kekerasan, dengan demikian, dapat merupakan korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), kekerasan seksual, atau bentuk kekerasan lainnya. Selain itu, korban dapat mengalami kekerasan dalam ranah domestik, publik, atau negara.
Ketika menjadi korban, setinggi apapun posisinya, seringkali disalahkan. Misalnya karena seringkali dia dianggap mengundang misalnya dalam kasus perkosaan dianggap dandanannya keliru. Yang menyalahkannya tidak hanya masyarakat, tapi keluarganya juga kerap menyalahkan. Ketika seorang perempuan menjadi korban, dampak berikutnya dia pun terdiskirminasi di rumah, di tempat kerja, atau di sekolah, padahal dia korban.
Baca Juga: Pengaruh Diskriminasi Gender terhadap Kesehatan Mental Perempuan
Ketika seorang korban yang bekerja mengalami pengucilan di tempat kerja, mungkin dia kemudian memilih tidak bekerja. Padahal, ini merupakan suatu proses pemiskinan terhadap perempuan. Atau misalnya korban yang masih bersekolah, malah dilarang bersekolah atas nama menjaga nama baik sekolah. Padahal, hak atas pendidikan itu 12 tahun tanpa terkecuali.
Sekalipun siswi korban kekerasan sekual mengalami kehamilan, tidak ada larangan bagi anak yang hamil untuk sekolah. Namun, sayangnya pengucilan ini juga telah meresap masuk ke dalam konstruksi pendidikan kita. Banyak pihak yang justru lebih khawatir nama baik sekolah tercoreng daripada mempertahankan hak pendidikan yang seharusnya dinikmati semua warga negara.
Pemberdayaan
Penting bagi setiap orang untuk berempati kepada korban, merasakan apa yang dirasakan oleh korban. Selain itu, juga memanusiakan dia sebagai manusia. Dalam hal ini, berarti setiap orang turut memulihkan korban dan mengarahkannya menjadi berdaya.
Ketika perempuan korban berdaya, artinya perempuan dan anak yang menjadi korban itu memiliki akses terhadap sumber penghidupan. Artinya yang bersekolah tetap punya kesempatan untuk sekolah. Bagi perempuan yang bekerja tetap punya akses untuk bekerja di tempat kerja dengan baik. Bukan malah dikeluarkan dari tempatnya bekerja.
Ketika korban punya akses, artinya dia dapat berperan serta untuk memutus kekerasan di lingkungannya, baik di sekolah, di ruang kerja, di rumah. Selain itu, korban juga dapat menyuarakan pentingnya pencegahan kekerasan di manapun ia berada, atau berpartisipasi dalam isu-isu tertentu dan terlibat dalam ruang-ruang lain.
Dengan adanya akses dan partisipasi, maka dia juga dapat memperoleh manfaat. Dia dapat merasakan manfaat hidup, bersekolah, atau bekerja.
Setelah mendapatkan akses dan manfaat dalam kehidupannya, dia akan punya kontrol untuk memutuskan. Bagaimana agar tidak menjadi korban lagi? Maka sebagai korban, dia akan merangkul sesama korban, dan menyuarakan serta melakukan pembelaan terhadap korban lainnya yang mengalami kekerasan.
Baca Juga: 4 Langkah Pemberdayaan Ekonomi Survivor
Dalam konteks kebijakan negara dan kesepakatan dunia Sustainable Development Goals Tujuan 5 dan Tujuan 17, langkah pemberdayaan korban adalah bagian dari upaya memperjuangkan hak atas hidup, hak atas rasa aman, dan upaya untuk menghilangkan kekerasan.
Penyaluran Zakat
Untuk memaksimalkan upaya pemberdayaan korban, dana zakat yang dihimpun untuk korban kekerasan terhadap perempuan dan anak perlu disalurkan kepada lembaga pengada layanan yang mendampingi korban. Ketika lembaga tersebut melakukan pendampingan artinya memberdayakan korban.
Dalam hal korban sudah pulih dan berdaya kemudian kepadanya disalurkan dana zakat untuk tujuan pemberdayaan ekonomi, perlu dilihat terlebih dahulu situasinya. Tujuan produktif yang diharapkan bisa jadi terhalang ketika ada kondisi yang membuat korban tidak dapat memaksimalkan dana yang disalurkan. Misalnya karena mengalami cacat fisik akibat kekerasan sehingga tidak dapat maksimal bergerak. Atau ada stigma masyarakat yang mengucilkannya dengan memengaruhi lingkungan untuk tidak membeli barang darinya. Dengan demikian, tujuan produktif dalam penyaluran dana zakat tetap perlu menghindarkan korban dari pengucilan di masyarakat. []
Sekretaris Majelis Musyawarah Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI)
*Tulisan ini dinarasikan dari paparan penulis dalam diskusi serial kedelapan Bedah Pemikiran Zakat bagi Korban Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak, yang diselenggarakan PSIPP ITB Ahmad Dahlan dan Lazismu, Jumat (15/10/2021), dengan sejumlah penyesuaian redaksional.