Oleh : Risa Maulegi

 

Dedi Mulyadi, Gubernur Jawa Barat kerap disapa dengan panggilan Kang Dedi, mengusulkan agar kegiatan belajar mengajar di Jawa Barat dimulai pukul 06.00 WIB untuk seluruh jenjang pendidikan, mulai dari PAUD hingga SMA. Usulan ini menuai berbagai tanggapan dari pengamat pendidikan hingga Ketua Komisi X DPR RI. Mereka menyoroti banyak aspek, seperti kebutuhan tumbuh kembang anak, kesiapan transportasi, dan keselarasan kebijakan tersebut dengan praktik pendidikan internasional.

Namun, ada satu hal penting yang belum banyak dibahas. Yakni beban peran domestik yang masih banyak dipikul anak perempuan sebelum mereka sampai di sekolah. Ini merupakan aspek sosial-kultural yang tidak bisa diabaikan dalam merumuskan kebijakan pendidikan.

 

Kisah Dian: Anak Perempuan dalam Beban Domestik

Dian adalah seorang siswi kelas 5 SD, berusia 11 tahun, dan merupakan anak sulung dari empat bersaudara. Ia memiliki tiga adik berusia 9 tahun, 7 tahun, dan satu balita. Setiap pagi sebelum sekolah, Dian harus menimba air dari sumur di belakang rumah sebagai persediaan mandi bagi adik-adiknya. Sementara itu, sang ibu fokus merawat si bungsu, dan ayahnya bekerja sebagai buruh angkut di pasar.

Jam masuk sekolah Dian adalah pukul 07.15 WIB, dan ia bangun sekitar pukul 06.00 WIB untuk memulai semua rutinitas domestik. Setelah menimba air, Dian mandi dan kadang masih sempat memasak nasi goreng. Ia juga membantu merapikan pakaian dua adiknya yang juga akan berangkat sekolah. Pukul 07.00, Dian dan adik-adiknya berangkat bersama ke sekolah yang berjarak sekitar 10 menit dari rumah.

Tak banyak yang tahu beratnya beban yang dipikul Dian setiap pagi. Ia sering tiba di sekolah dalam kondisi lelah. Ibu guru/wali kelasnya, Ibu Bety, mulai memperhatikan hal ini. Melalui observasi dan diskusi dengan Kepala Sekolah, Ibu Bety menemukan bahwa 5 dari 15 siswa di kelasnya mengalami kondisi seperti Dian dan hampir semuanya adalah anak perempuan sulung.

Dian adalah potret nyata dari anak-anak perempuan yang sejak kecil mewarisi budaya patriarki. Di Umur Dian yang ke 11 tahun, Dian sudah bisa memasak, mencuci, menimba air, dan pekerjaan domestik lainnya. Sayangnya, semua itu mengorbankan energi, waktu belajar dan bermain yang seharusnya menjadi haknya sebagai anak.

 

Upaya Guru dan Harapan Perubahan

Ibu Bety akhirnya memutuskan untuk melakukan kunjungan rumah ke keluarga Dian. Dengan hati-hati, ia memulai percakapan dengan melaporkan nilai akademik Dian yang perlu diperhatikan. Ia juga mengajak orang tua Dian berdiskusi tentang rutinitas harian Dian dan mendorong ayah Dian agar lebih terlibat dalam pengasuhan dan membantu tugas-tugas di rumah, terutama pada pagi hari sebelum sekolah. Langkah kecil ini adalah bentuk kepedulian bahwa anak perempuan pun berhak menjalani masa kecil yang adil.

Ibu Bety memulai dengan pengetahuan yang minim tentang pendidikan kesetaraan gender, menganalisa realitas hidup  murid-muridnya serta mulai memperkenalkan sekolah ramah gender. Peran Ibu Bety dan guru lainnya di sekolah sangatlah penting untuk mengintegrasikan nilai kesetaraan gender di kelas/ sekolah. Guru bisa menjadi agen perubahan yang membongkar ketimpangan gender secara perlahan tapi pasti, melalui kebijakan kelas, praktik pengajaran, dan juga teladan.

 

Pendidikan Kesetaraan Gender di Sekolah

Situasi seperti ini seringkali luput dari perhatian pembuat kebijakan. Padahal, mempercepat jam masuk sekolah tanpa memperhitungkan beban domestik yang dibebankan kepada anak perempuan dapat berdampak negatif pada proses belajar mereka. Anak laki-laki atau anak bungsu cenderung tidak mengalami beban seperti ini dalam jumlah yang sama.

Belajar dari kisah Ibu Bety dan muridnya Dian, kebijakan pendidikan tidak boleh hanya berorientasi pada jadwal saja. Ia harus berpihak pada realitas hidup anak-anak. Usulan masuk sekolah pukul 06.00 WIB perlu ditinjau ulang dengan mempertimbangkan beban yang dihadapi anak-anak perempuan di rumah. Jika pembuat kebijakan tidak mau dan mampu menganalisa dapat berisiko memperlebar permasalahan ketidaksetaraan gender yang justru ingin ditutup melalui pendidikan.

Kebijakan KDM, selain harus berorientasi pada realitas kehidupan juga harus menjunjung tinggi nilai kesetaraan gender atau netral gender. Kebijakan responsif gender adalah kebijakan yang memiliki perspektif gender dalam merencanakan, melaksanakan dan mengawasi penerapan kebijakan tersebut. Dibandingkan mengatur jadwal sekolah yang semakin memberatkan beban ganda pada murid perempuan, kebijakan KDM baiknya mengupayakan sekolah yang aman dan bebas dari segala bentuk kekerasan dan diskriminasi. Misalnya, merancang Standar Operasional (SOP) di sekolah apabila terjadi kasus kekerasan dan diskriminasi yang selama ini memang sudah banyak terjadi, dengan korban yang beragam mulai dari murid, staff, guru hingga kepala sekolah.

Share.

Comments are closed.