Oleh : Rofiatul Windariana

Sejak 14 Mei 2025 lalu jagat maya dihebohkan oleh kemunculan sebuah grup Facebook bernama “Fantasi Sedarah” yang memiliki ribuan anggota. Sebagaimana dilansir dari Liputan6.com, grup ini sudah dibuat sejak Agustus 2024 lalu dan ditemukan sebanyak 402 gambar dan 7 video yang bermuatan kekerasan seksual pada telepon genggam salah satu tersangka.

Grup ini menggemparkan publik karena menjadi ruang berbagi konten yang berisi ketertarikan seksual/ inses terhadap anggota keluarga seperti anak, ibu, dan keponakan, serta narasi erotik yang dipertontonkan dan dinikmati bersama para anggotanya. Dalam kasus ini telah ditetapkan 6 tersangka pada 21 Mei 2025, dan masih ada kemungkinan akan ada tersangka baru.

Lebih dari sekadar ruang fantasi, grup ini adalah wajah nyata dari kekerasan seksual yang telah menjalar ke ranah domestik. Beberapa korban yang disebut dalam unggahan bahkan merupakan anggota keluarga pelaku sendiri, bahkan beberapa masih di bawah umur. Fenomena inses ini juga banyak disertai dengan ancaman, manipulasi yang menyebabkan banyak korban tidak berani bersuara.

Fenomena ini membuka mata kita pada kenyataan bahwa ruang yang seharusnya menjadi tempat paling aman bagi perempuan dan anak—keluarga—telah berubah menjadi ladang kekerasan. Indonesia sedang mengalami krisis ruang aman, bahkan dari titik terkecil: rumah itu sendiri.

Kondisi ini diperkuat oleh data Komnas Perempuan yang dilansir Kompas, mencatat ada 1.765 kasus inses dalam kurun waktu 2019–2024. Ketua Komnas Perempuan, Maria Ulfah Anshor, menyatakan bahwa keberadaan grup-grup daring seperti ini menandakan bahwa kemajuan digital tengah dimanfaatkan predator seksual untuk memperluas jejaring, menormalisasi kekerasan, serta membahayakan perempuan dan anak-anak.

Dalam wawancaranya dengan Kompas, Maria menegaskan bahwa inses bukanlah isu pinggiran. Ia adalah bentuk kekerasan seksual paling sunyi dan terselubung. Dan ketika ia muncul ke permukaan, itu adalah puncak dari gunung es yang mengendap lama bahkan dibungkam oleh norma keluarga yang patriarkis.

Murdiyanto dan Tri Gutomo dalam jurnalnya Penyebab, Dampak, dan Pencegahan Inses Causes, Impact, And Prevention Of Inses yang dikutip Espos News,  inses secara etimologis berasal dari kata Latin cestus (murni), dan insesus berarti tidak murni. Dalam praktiknya, inses adalah hubungan seksual antara dua orang yang memiliki pertalian darah dekat—ayah dan anak, kakak dan adik, paman dan keponakan—yang sejatinya merupakan pelanggaran berat terhadap moral dan hukum. Dalam banyak kasus, hubungan inses sarat diwarnai kekerasan dan manipulasi. pelaku memanfaatkan relasi kuasanya dalam keluarga untun melakukan kekerasan seksual kepada korban.

Romantisasi Kekerasan Seksual dalam Relasi Sedarah

Fenomena “fantasi sedarah”  memperlihatkan bagaimana kekerasan seksual bisa dibungkus dan dijual dalam bentuk yang tampaknya tak berbahaya: sebagai fantasi. Pelaku dengan bangga memamerkan perilakunya dan berbagi pengalaman. Bahkan membagikan foto dan video korban (anggota keluarga).

Penggunaan kata “fantasi” dalam konteks ini adalah bentuk paling terang dari romantisasi kekerasan seksual berbasis relasi kuasa yang dikaburkan antara imajinasi dan kekerasan. Dalam banyak kasus inses, pelaku adalah orang dewasa yang memiliki kedudukan dominan; ayah terhadap anaknya, paman terhadap keponakannya, kakek terhadap cucunya. Ketimpangan usia dan kuasa ini menjadikan korban tidak berdaya, terperangkap dalam ruang yang dianggap aman namun justru menjadi ruang kekuasaan yang menindas korban yang subordinat.

Menurut Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2019, dari 2.341 kasus kekerasan terhadap anak perempuan, sebanyak 770 kasus merupakan inses. Artinya, hampir sepertiga kekerasan seksual terhadap anak perempuan dilakukan oleh orang terdekat dalam lingkungan keluarganya sendiri.

Lebih mengkhawatirkan lagi, konten semacam ini mulai dianggap wajar dan dinikmati sebagai hiburan. “Fantasi sedarah” kerap digambarkan seolah-olah terjadi secara suka sama suka—padahal yang nyatanya adalah pemaksaan, manipulasi psikologis, dan trauma berkepanjangan bagi korban. Menurut Maria Ulfah Anshor, rendahnya pelaporan inses disebabkan pelaku adalah orang terdekat, sehingga korban takut, terintimidasi, bahkan merasa tak punya tempat berlindung.

Terutama dengan adanya budaya populer hari ini yang dipenuhi narasi yang memaklumi, bahkan meromantisasi kekerasan seksual. Terutama semakin melonjaknya berbagai fitur platform digital dan canggihnya algoritma. Fenomena ini tentunya perlu mendapatkann perhatian serius. Tidak hanya sebagai kasus kekerasan melainkan pengawasann terhadap konten-konten kekerasan seksual agar para predator seksual tidak semakin membabi buta.

Melalui adanya fenomena ini, negara perlu hadir untuk tidak hanya sigap menangani kasus serupa, tetapi juga mencegah hadirnya grup atau platform yang bermuatan negatif, khususnya kekerasan seksual. Dengan viralnya grup fantasi sedarah, juga menunjukkan bahwa semua elemen baik masyarakat, anak muda, terutama netizen punya andil besar untuk membantu. Bisa dengan melaporkan (report) melalui aplikasi dan melaporkan ke pihak yang berwajib.

Rofiatul Windariana, penulis lepas dan pendiri siniar.co

 

Share.

Comments are closed.