Pengaruh Diskriminasi Gender terhadap Kesehatan Mental Perempuan

 Pengaruh Diskriminasi Gender terhadap Kesehatan Mental Perempuan

Ilustrasi (Sumber: Canva.com)

 

JAKARTA, JALASTORIA.ID – Menurut Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa, kesehatan jiwa atau kesehatan mental, adalah “Kondisi di mana seorang individu dapat berkembang secara fisik, mental, spiritual, dan sosial sehingga individu tersebut menyadari kemampuan sendiri, dapat mengatasi tekanan, dapat bekerja secara produktif, dan mampu memberikan kontribusi untuk komunitasnya.” Undang-Undang tersebut menjamin bahwa setiap orang berhak atas pelayanan kesehatan mental.

Dilansir dari Bem.eng.ui, permasalahan kesehatan mental di Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan. Salah satunya, isu kesehatan mental masih menjadi hal tabu.

Orang yang mengakses pelayanan kesehatan mental acapkali dianggap aneh atau gila. Berdasarkan pemaparan Nous.id, lembaga yang menyediakan pelayanan konseling oleh psikolog, anggapan tersebut tidak benar.

Hal ini karena bentuk pelayanan kesehatan mental sangat beragam, salah satunya adalah konseling. Dalam konseling, isu yang dibahas tidak hanya seputar gangguan kesehatan mental, melainkan juga permasalahan dengan pasangan, keluarga, pekerjaan, bahkan permasalahan yang menyangkut akademik.

Selain tabu, isu kesehatan mental di Indonesia menghadapi beberapa tantangan lainnya. Pertama, adanya stigma terhadap pengidap gangguan kesehatan mental. Kedua, rendahnya pemahaman mengenai kesehatan mental. Ketiga, adanya diskriminasi terhadap orang dengan gangguan kesehatan mental. Keempat, akses terhadap kesehatan mental belum merata (bem.eng.ui: 24/5/21).

 

Baca Juga: Menyikapi Rekaman Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak

 

Perempuan Rentan

Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan, perempuan dua kali lebih rentan mengalami permasalahan kesehatan mental dibanding dengan laki-laki. Hal yang serupa juga diungkapkan oleh penelitian Homewood Health United Kingdom, di mana 47% perempuan beresiko tinggi mengalami gangguan mental, dibanding 36% pria. Perempuan hampir 2x berpotensi mendapat diagnosis mengidap depresi.

Beberapa fakta lainnya mengenai gangguan kesehatan mental pada perempuan di antaranya: perempuan memiliki kemungkinan 3 sampai 4x mengalami depresi saat dewasa akibat trauma masa kecil seperti kekerasan seksual dan kekerasan fisik. Selain itu, perempuan cenderung mengalami beberapa gangguan kesehatan mental secara bersamaan; depresi dapat disertai dengan kecemasan, agorafobia (perasaan tidak aman), gangguan panik, gangguan somatoform (gejala penyakit fisik atau nyeri yang tidak dapat didiagnosis sepenuhnya), dan gangguan stres pascatrauma (PTSD).

 

Beberapa Penyebab

Dilansir dari berbagai sumber, berikut ini uraian penyebab perempuan rentan mengalami gangguan kesehatan mental.

Mengutip news.unair, Dr. Ike Herdiana, M.Psi, seorang pakar psikologi Universitas Airlangga menjelaskan beberapa hal yang menjadikan perempuan lebih rentan mengalami gangguan kesehatan mental. Antara lain:

Pertama, menurut Ike, perempuan cenderung dikondisikan untuk terlibat lebih intens dalam kerja-kerja pengasuhan dibanding laki-laki.

Sementara itu, penelitian oleh Homewood Health United Kingdom menyatakan peran pengasuhan ini berakibat pada gangguan kesehatan mental perempuan. Artinya, perempuan menjadi semakin rentan karena peran gender yang dipaksakan, dan ketergantungan.

Homewood Health United Kingdom menyebutkan, selain dibebankan dengan kewajiban untuk mengasuh orang lain secara intens, perempuan biasanya juga diharapkan untuk mengurus seluruh pekerjaan yang tidak dibayar dengan dalih memelihara keutuhan rumah tangga.

 

Baca Juga: Perbedaan Dampak Kekerasan Seksual Antara Laki-laki dan Perempuan

 

Kedua, Ike menilai, perempuan cenderung hidup dalam kemiskinan dibandingkan dengan laki-laki. Menurut Ike, hal tersebut mengakibatkan munculnya rasa tidak aman serta terisolasi.

Sementara itu, Homewood Health United Kingdom menyebutkan, perempuan kerap mendapatkan gaji lebih rendah dibanding laki-laki. Hal ini dapat memicu stres pada perempuan karena mengalami beban ganda dan kesenjangan ekonomi.

Penyebab ketiga, menurut Ike, perempuan rentan mengalami kekerasan seksual. Hal ini mengakibatkan perempuan rentan mengalami depresi dan PTSD.

Dilansir dari laman Halodoc, pengalaman traumatis di masa kecil atau kekerasan seksual turut memengaruhi kesehatan mental perempuan.

Perempuan dalam usia anak yang menjadi penyintas kekerasan seksual dapat mengalami beberapa gangguan mental, di antaranya: gangguan kecemasan, ketakutan berlebihan, ketidakpercayaan terhadap orang lain, peningkatan amarah dan agresif saat berada di lingkungan sebaya, serta mengisolasikan diri.

Sedangkan, perempuan remaja yang merupakan penyintas kekerasan seksual cenderung mengalami beberapa gangguan kesehatan mental berikut, antara lain: gejala depresi, gangguan kecemasan, ketakutan, ketidakpercayaan terhadap orang lain, perilaku menyakiti diri (self-harm), mengalami gangguan makan (anoreksia atau bulimia), hubungan yang tegang dengan keluarga, serta mengalami masalah perilaku.

Faktor keempat, menurut Ike, lingkungan yang diskriminatif dan tidak ramah terhadap perempuan turut memengaruhi kesehatan mental perempuan.

Faktor terakhir, perempuan dalam masyarakat dituntut untuk dapat memenuhi standar kecantikan yang cenderung merugikan perempuan. Penelitian Homewood Health United Kingdom menunjukkan, hampir 80% perempuan pernah mengalami gangguan makan akibat stress dan diet. Dilansir dari laman Homewood Health United Kingdom, kasus gangguan makan atau eating disorder ini memiliki angka kematian keseluruhan tertinggi dibanding gangguan mental lainnya. [NTZ]

 

Referensi:

BEM Eng UI, Nous.id, Kemkes.go.id, Homewoodhealth.com, News.unair.ac.id

 

Digiqole ad