Menyikapi Rekaman Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak
Oleh: Ema Mukarramah
Rekaman peristiwa kekerasan sebaiknya dikirimkan ke pihak berwenang.
Di era penggunaan ponsel pintar seperti saat ini, setiap orang dapat dengan mudah mendokumentasikan suatu peristiwa: tinggal angkat gawai, arahkan lensa kamera ke titik fokus, tahan tombol rekam, dan konten peristiwa sudah di tangan.
Kalau punya ruang penyimpanan yang cukup besar, handphone dapat menampung ratusan rekaman peristiwa yang dapat diputar kapan saja. Apalagi dengan bantuan penyimpanan awan (cloud storage), ribuan konten audio-visual bisa tersimpan dengan rapi.
Dan lewat pemanfaatan jaringan internet, rekaman itu juga bisa “dipindahtangankan”. Tentu jika peristiwa yang direkam itu merupakan momen bahagia atau monumental dan punya dampak langsung bagi penerimanya, siapapun tidak akan keberatan menerimanya.
Namun persoalannya menjadi lain bila objek rekaman itu adalah peristiwa kekerasan terhadap perempuan dan anak. Siapapun yang menerima kiriman video dan menyaksikannya, pasti akan menyayangkan kejadian itu. Malah barangkali akan menyesalkan pelaku yang telah merekamnya.
Ketika suatu peristiwa kekerasan terhadap perempuan dan anak diabadikan melalui kamera ponsel, dua kemungkinan bisa terjadi. Pertama, perekam kejadian membiarkan itu berlangsung. Kedua, perekam merupakan pelaku kekerasan itu sendiri.
Pertanyaannya, apakah ada orang yang membiarkan perekaman berlangsung di tengah peristiwa kekerasan terhadap perempuan dan anak terjadi? Sayangnya, bukti digital yang sudah beredar mengonfirmasi jawaban itu.
Belum lama ini, sebuah video yang memperlihatkan raut ketakutan dari seorang anak perempuan usia 12 tahun beredar. Ia mengalami kengerian yang luar biasa karena ayahnya menyorongkan senjata tajam sambil memuntahkan amarah ke arah balita yang tampaknya adik dari anak usia sekolah dasar itu.
Dan berkat kesigapan kepolisian, pelaku yang merekam sekaligus menganiaya dan mengancam balita itu kemudian ditangkap dan ditahan.
Selain video itu, tentu saja masih ada beragam rekaman lain yang dengan terang benderang memperlihatkan peristiwa kekerasan terhadap perempuan dan anak.
Misalnya, ada video yang menampakkan seorang bayi yang belum juga bisa tengkurap sendiri, tengah menangis di lantai tanpa selembar baju yang melekat di badannya. Bersamaan dengan itu, terlihat kaki seorang dewasa sedang mendorong-dorong si bayi agar mau membalikkan badan.
Saya sendiri baru mengetahui video itu ketika ditunjukkan oleh seorang anggota lembaga negara yang menangani masalah perlindungan anak.
Bagi saya, video itu menyiratkan kenyataan pahit akan keberadaan anak-anak Indonesia di rumahnya sendiri yang ternyata hidup jauh dari keamanan dan kedamaian karena terancam oleh perbuatan orang dekatnya sendiri. Tidak sedikit di antaranya adalah orang tuanya sendiri.
Orangtua yang seharusnya menjadi pelindung dan pemberi kasih sayang justru menjadi orang pertama yang mengancam keberlangsungan masa depan mereka.
Tanpa kemunculan video itu dan tanpa kesigapan petugas berwenang yang segera mengamankan pelaku, barangkali, sampai hari ini dan esok, anak-anak dalam rekaman video tersebut akan terus hidup dan tumbuh dalam ketakutan. Dan ini tentunya tidak sehat bagi kualitas kesehatan mental anak-anak.
Melalui intervensi penegakan hukum, lewat penangkapan dan penahanan pelaku, setidaknya, anak-anak yang menjadi objek rekaman itu kini bisa terselamatkan.
Namun selaiknya tidak berhenti sampai di situ. Pemulihan terhadap anak-anak tersebut harus segera dilakukan. Dan pada tahap ini, negara perlu memgambil peran lewat penyediaan psikolog dan pendamping yang bekerja memulihkan dan mendampingi korban agar mereka dapat mengatasi traumanya.
Namun demikian, di sisi lain, saya membayangkan, tidak tertutup kemungkinan akan adanya anak-anak lain di luar sana, yang mengalami peristiwa serupa.
Bahkan, mungkin, bukan hanya menerima gertakan atau penganiayaan fisik tetapi juga mengalami kekerasan seksual atas ancaman pelaku sehingga korban hanya bisa menuruti perintah pelaku.
Mereka yang ada di luar sana mungkin belum mampu bercerita atau tidak ada yang merekam saat peristiwa terjadi. Sehingga belum ada yang mengetahui betapa mereka sangat membutuhkan pertolongan dengan segera.
Selain itu, peristiwa yang dialami perempuan dan anak korban kekerasan — yang terekam ataupun tidak terekam berkat bantuan teknologi digital — bagaimanapun tetap akan menimbulkan trauma terhadap korban.
Apalagi jika peristiwa tersebut terkait dengan tubuh dan seksualitas perempuan dan anak. Misalnya, korban mengalami kekerasan seksual seperti pelecehan berupa penelanjangan, dipaksa menjadi objek pornografi, atau jenis kekerasan seksual lainnya.
Oleh karenanya, jika kita mendapati rekaman seperti itu, sudah seharusnya kita menghindari untuk menyebarluaskannya.
Mengapa? Karena kita tidak dapat mengendalikan hati dan mata yang melahap peristiwa itu: apakah akan membuat orang lain meniru menjadi pelaku atau menonton rekaman itu seperti hiburan semata.
Untuk itu, kita semua perlu membangun diri kita sebagai pihak yang menghentikan sebaran konten yang mengandung peristiwa kekerasan terhadap perempuan dan anak.
Kecuali jika kita tahu jalur yang tepat untuk melaporkan langsung ke pihak yang berwajib atau pendamping korban yang sudah teruji kapabilitasnya, silakan lakukan sharing konten.
Namun jika kita tidak tahu siapa pihak yang berwajib atau pendamping korban yang dapat dimintakan pertolongan, tindakan yang bijak adalah menghentikan sebaran konten itu. Biarkan ia berhenti sampai di tangan kita sendiri.
Oleh karena itu, saya mengajak kita semua untuk mencatat kontak pihak berwajib atau lembaga pengada layanan dan pendamping korban.
Dengan begitu, jika kita mendapati video yang mengandung konten kekerasan terhadap perempuan dan anak, langsung kirimkan kepada pihak-pihak yang otorotatif menindak pelaku dan melindungi korban.[]
Staf Ahli Anggota DPD RI