Perbedaan Dampak Kekerasan Seksual Antara Laki-laki dan Perempuan

 Perbedaan Dampak Kekerasan Seksual Antara Laki-laki dan Perempuan

Ilustrasi (JalaStoria.id)

Oleh: Siti Aminah Tardi

“Mengapa yang dicontohkan korban kekerasan seksual itu selalu perempuan? Bagaimana dengan korban lelaki?” Begitu pertanyaan yang kerap dilontarkan ketika saya menyampaikan pentingnya satu payung hukum yang akan melindungi perempuan korban kekerasan seksual. Dari pertanyaan itu, saya menangkap  gugatan mengapa perempuan diutamakan, padahal kekerasan seksual dapat terjadi pada laki-laki dan perempuan, begitupun dampaknya.

Selama ini, masyarakat memahami bentuk kekerasan seksual terbatas yang dilakukan dengan serangan kekuatan fisik. Padahal, kekerasan seksual tidak harus menyertakan penggunaan kekuatan fisik. Kekerasan seksual juga bisa melibatkan ancaman kekerasan, pemaksaan, pemerasan, penipuan, atau bujuk rayu. Kekerasan seksual adalah kejahatan kekuasaan (crime of power) yang dimotivasi oleh keinginan untuk mengendalikan, mendominasi, atau mempermalukan orang lain dan seks menjadi senjata yang digunakan.

Pelaku kekerasan seksual adalah seseorang yang memiliki kuasa dan kontrol atas orang lain, yang dalam sistem patriarki umumnya kuasa dan kontrol ada pada laki-laki.  Karenanya, korban kekerasan seksual terbanyak adalah perempuan dan anak perempuan. Hal ini nampak dari catatan Komnas Perempuan, bahwa sepanjang tahun 2011 hingga 2019, tercatat 46.698 kasus kekerasan seksual yang terjadi di ranah personal maupun publik terhadap perempuan. Dari jumlah itu, sebanyak 23.021 kasus terjadi di ranah publik, berupa perkosaan (9.039 kasus), pelecehan seksual (2.861 kasus), cyber crime bernuansa seksual (91 kasus). Nilai patriarkis yaitu ‘kejantanan’ pulalah yang menghambat laki-laki khususnya berusia dewasa untuk melaporkan kekerasan seksual yang dialaminya. Namun, tulisan ini akan lebih membahas dampak kekerasan seksual terhadap perempuan.

 

Dampak Kekerasan Seksual terhadap Perempuan

Kekerasan seksual dapat menimpa jenis kelamin apapun, namun dampak kekerasan seksual berbeda terhadap perempuan dibandingkan laki-laki. Hal ini disebabkan perbedaan biologis dan peran jender di antara keduanya. Anak perempuan dan perempuan akan menanggung beban cedera dan penyakit yang luar biasa akibat kekerasan seksual. Mereka rentan terhadap dampak kesehatan seksual dan reproduksi yang berbeda dengan laki-laki. Perempuan kemungkinan akan mengalami Infeksi Menular Seksual (IMS) dan HIV/AIDS yang lebih tinggi dan terlambat diketahui karena organ reproduksi yang tertutup, kehamilan yang tidak diinginkan, aborsi yang tidak sehat dan aman, komplikasi kehamilan, sampai kepada pembunuhan bayi yang dilahirkan akibat kekerasan seksual. Secara biologis hal ini tidak akan menimpa laki-laki korban kekerasan seksual.

Dampak kekerasan seksual, selain luka atau kerusakan pada organ seksual dan reproduksi yang memerlukan penanganan medis segera, juga dapat membawa pengaruh pada kondisi kejiwaan atau setidaknya pada kesehatan emosional seseorang. Terlebih, dampak psikologis tidak terlihat langsung, sehingga cenderung diabaikan. Padahal, dampak psikis yang ditimbulkan kekerasan seksual dapat memengaruhi kehidupan korban untuk jangka panjang, terutama jika tidak mendapatkan bantuan untuk pemulihannya.

Sebagaimana kita ketahui, dampak psikis jangka pendek misalnya dialami sesaat atau beberapa hari setelah kejadian, seperti, marah, terhina, malu, dan tidak berdaya. Di antaranya ditandai dengan gejala sulit tidur dan berkurangnya selera makan. Sementara dampak psikis jangka panjang diantarnya: (i) sikap atau persepsi negatif terhadap laki-laki karena trauma (ii) mengalami sindrom trauma perkosaan (iii) hasrat seksual rendah (iv) merasa nyeri yang dirasakan selama atau setelah berhubungan seksual  atau (v) otot-otot vaginanya meremas atau mengejang dengan sendirinya saat sesuatu memasuki dirinya. Dampak fisik dan psikis yang tidak tertangani, ditambah dengan kultur masyarakat yang masih menyalahkan korban, menyebabkan korban perempuan akan mengalami kesulitan membangun relasi sosial dan beraktivitas seperti semula. Korban dapat terhambat pemenuhan hak dasar lainnya seperti hak atas pendidikan, mobilitas, hak atas penghidupan yang layak, sampai hak untuk bebas dari rasa takut.

Kekerasan seksual juga mempunyai pengaruh terhadap ekonomi perempuan korban dan keluarganya. Korban/keluarganya harus mengeluarkan biaya untuk penanganan gawat darurat, rawat inap/jalan, pemulihan psikis, serta obat-obatan. Jika perempuan korban adalah perempuan pekerja, kekerasan seksual akan mengganggu rutinitas dan produktivitasnya di tempat kerja. Bahkan mungkin akan berakibat pada performa kinerja, penerimaan gaji maupun posisi kerjanya. Apabila penyelesaian kekerasan seksual dilakukan melalui jalur hukum, korban perlu mengeluarkan biaya selama proses penyidikan sampai di pengadilan. Ini akan sangat menyulitkan perempuan miskin dan akan menyebabkan perempuan/keluarga menjadi lebih miskin.

 

Hak-Hak Korban Kekerasan Seksual

Untuk meminimalisasi dampak kekerasan seksual,  RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (2017) menawarkan jaminan hak korban, keluarga korban, dan saksi. Terdapat tiga hak utama korban, yaitu: (1) Hak atas penanganan (2) Hak atas perlindungan (3) Hak atas pemulihan. Pemenuhan hak tersebut merupakan kewajiban negara dan dilaksanakan sesuai dengan kondisi dan kebutuhan Korban.

Hak korban atas penanganan di antaranya hak atas informasi, hak atas pendampingan dan bantuan hukum, hak atas penguatan psikologis, hak atas pelayanan kesehatan, dan hak atas layanan dan fasilitas sesuai dengan kebutuhan khusus Korban.

Hak korban atas perlindungan di antaranya meliputi penyediaan informasi mengenai hak dan fasilitas perlindungan, penyediaan akses terhadap informasi penyelenggaraan perlindungan, perlindungan dari ancaman atau kekerasan pelaku dan pihak lain serta berulangnya kekerasan, perlindungan atas kerahasiaan identitas, perlindungan dari sikap dan perilaku aparat penegak hukum yang merendahkan dan/atau menguatkan stigma terhadap korban, perlindungan dari kehilangan pekerjaan, mutasi pekerjaan, pendidikan, atau akses politik dan perlindungan korban dan/atau pelapor dari tuntutan pidana atau gugatan perdata atas peristiwa kekerasan seksual yang ia laporkan.

Terakhir adalah hak korban atas pemulihan yang meliputi pemulihan fisik, psikologis, ekonomi, sosial dan budaya; dan ganti kerugian dari pelaku (restitusi), yang dilakukan sebelum sampai selesainya proses persidangan.

Dari uraian di atas, nampak bahwa terdapat dampak kekerasan seksual yang berbeda antara laki-laki dan perempuan. Perempuan korban memiliki kerentanan lebih tinggi terkait dengan kesehatan reproduksi dan seksual yang berbeda dengan lelaki, juga karena dalam nilai-nilai patriarkhi dimana perempuan dinilai dari “kesucian” nya, menyebabkan perempuan dan anak perempuan malahh dinilai tidak bermoral. Pemberian payung hukum penghapusan kekerasan seksual hanyalah sebagian kecil dari upaya korban dan keluarga untuk pulih dari dampak kekerasan yang dialaminya.

Dengan penundaan pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, maka sampai saat ini tidak ada jaminan hukum untuk pemenuhan hak-hak korban kekerasan seksual. Penanganan, perlindungan dan pemulihan korban masih harus terus diperjuangkan. Apabila berhasil, tidak hanya korban perempuan, tapi korban laki-lakipun berhak mendapatkannya.[]

 

Penulis adalah Komisioner Komnas Perempuan 2020-2024, tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mewakili lembaga.

Digiqole ad