Kenali 3 Komponen Inti TPPO dalam Kasus PRT Cici

Oleh : Yuli Riswati
Belakangan ini, pemberitaan media banyak menyebutkan tentang peningkatan ancaman bahaya Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dan modusnya yang semakin berkembang dengan kelompok perempuan dan anak yang paling rentan menjadi korban. Meski demikian, kebanyakan narasi hanya fokus tentang jumlah banyak kasus dan melupakan aspek terpentingnya, yaitu bagaimana mencegah tindak kejahatan kemanusiaan tersebut agar tidak terus berlanjut dengan penguatan pencegahan berbasis masyarakat.
Pencegahan TPPO berbasis masyarakat dengan memberdayakan anggota masyarakat untuk memahami, menyadari dan melindungi diri mereka sendiri dan orang-orang terdekatnya dari jerat TPPO sangat penting dan merupakan strategi yang efektif. Sebab selama ini jika bicara tentang perdagangan orang, banyak orang yang berpotensi menjadi korban atau bahkan korbannya sendiri masih merasa berjarak dan tidak terhubung dengan kejahatan kemanusiaan yang ancamannya nyata dan banyak terjadi di kehidupan sehari-hari.
Sedekat dan sebesar apa bahaya TPPO terutama yang menargetkan perempuan dan anak?
Jika harus dibuktikan dengan data, bisa merujuk laporan dari Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI) yang menyebutkan 97% korban perdagangan orang di Indonesia pada tahun 2019-2023 adalah perempuan dan anak. Selain itu, laporan dari International Organization for Migration (IOM) tentang data perdagangan anak selama dua puluh tahun juga menunjukkan bahwa anak-anak berisiko lebih tinggi untuk diperdagangkan dibandingkan dengan orang dewasa, terutama jika mereka berasal dari daerah berpenghasilan rendah, terbatas lapangan pekerjaannya, kondisi geografis buruk akibat perubahan iklim dan lainnya. Di sisi lain, perempuan memang memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami kekerasan berbasis gender selama perjalanan migrasi mereka.
Bicara tentang perjalanan migrasi, mesti diakui bahwa sampai hari ini migrasi masih banyak disalahpahami oleh masyarakat, bahwa persoalan migrasi berarti menjadi persoalan pekerja migran dan bahayanya masih jauh berada di luar negeri sana. Padahal faktanya ada migrasi antar kota, misalnya perpindahan dari Karawang ke Tangerang seperti yang dialami Pekerja Rumah Tangga (PRT) bernama Cici (16 tahun) yang terindikasi perdagangan orang dan menyebabkan ia sampai kehilangan nyawa
PRT Cici adalah salah satu potret perempuan dan anak korban TPPO di Indonesia. Cici sebagai perempuan sekaligus anak perempuan merupakan contoh nyata dari bagaimana ketidaksetaraan gender terlihat jelas menyebabkan perempuan dan anak perempuan memiliki akses yang sangat terbatas ke sumber daya penting seperti informasi, pendidikan dan kesempatan kerja, sehingga membuat mereka lebih miskin dan atau dimiskinkan. Sementara kemiskinan itu sendiri merupakan salah satu risiko utama migrasi dan TPPO.
Dalam upaya pencegahan TPPO berbasis masyarakat, kasus PRT Cici tentunya bisa menjadi bahan edukasi bagaimana agar anggota masyarakat bisa memahami 3 komponen inti bagaimana dan kenapa sebuah kasus kejahatan bisa dinamakan sebagai kasus perdagangan orang. Tiga komponen tersebut meliputi proses, cara dan tujuan.
Pada kasus Cici, ada proses rekrutmen dan pemindahan yang dilakukan dari Karawang ke Tangerang atau dari tempat asal ke alamat majikan, dan ada cara ditipu dengan pemalsuan dokumentasi pribadi berupa usia yang sengaja dituakan sekaligus penyiksaan fisik dan psikis yang disertai penyekapan hingga korban tidak melihat jalan lain untuk membebaskan diri selain terpaksa melompat dari lantai 3 rumah majikan. Sedangkan untuk tujuan, jelas ada eksploitasi atau tindakan sewenang-wenang dari para pelaku kejahatan yang mengakibatkan korban tereksploitasi.
Polisi sudah menetapkan dan menangkap 4 orang sebagai tersangka kasus Cici. Keempat orang tersebut J berperan sebagai perekrut dan penyalur, L sebagai pelaku penganiayaan sekaligus majikan korban, H sebagai pembuat dokumen palsu, dan K yang berperan sebagai penghubung J dan H. Hal ini cukup untuk membuktikan bahwa TPPO tidak pernah berdiri sendiri dan terkesan sulit untuk diatasi karena berupa mata rantai kejahatan yang kerap kali melibatkan orang yang memiliki kuasa.
Untuk menjerat dan menghukum para tersangka pada kasus Cici sudah ada undang-undang yang berlaku yang bisa digunakan. Ada Pasal 263 KUHP Pasal 264 KUHP Pasal 333 KUHP dan UU undang-undang no 21 Tahun 2007 tentang Perdagangan Orang. Kemudian, Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 yang sudah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Lalu ada juga Undang-Undang nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, serta Pasal 263 KUHP dan Pasal 264 KUHP tentang pemalsuan dokumen.
Namun untuk menjamin dan mencegah agar kasus yang sama tidak akan terjadi lagi dan tidak akan dialami kembali oleh para pekerja rumah tangga, perempuan dan anak perempuan tentunya dibutuhkan lebih dari sekedar aturan tertulis yang kerap kali hanya menjadi macan kertas (baca formalitas) bagi para pelaku kejahatan. Selain dibutuhkan gerak bersama dan komitmen yang kuat dari para pemangku kebijakan dan pihak berwenang yang dalam hal ini aparat penegak hukum dalam penanganan kasus, tentunya dibutuhkan keterlibatan setiap anggota masyarakat dalam upaya pencegahan yang masif.
Sinergitas dan kolaborasi berbagai pihak untuk upaya pencegahaan TPPO bukan hanya bisa mencegah terjadinya tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak, lebih dari itu, upaya ini akan menjadi usaha melindungi hak asasi manusia semua anggota masyarakat di Indonesia. Karena seperti yang sudah kita ketahui bersama, modus TPPO dan korban juga terus berkembang seiring dengan perkembangan teknologi dan menargetkan semua orang dengan berbagai macam usia dan latar belakang pendidikan.
Korban perdagangan orang terus berjatuhan. Entah sampai kapan ribuan Cici menjadi korban yang meregang nyawa sekaligus menjadi alarm bahaya TPPO bagi masyarakat Indonesia. Setidaknya jika alarm tersebut belum bisa membangunkan kesadaran masyarakat luas, semoga cukup untuk menggugah kesadaran dan memicu refleksi diri dari pembaca tulisan ini.
Yuli Riswati, pecinta warna ungu dan boyband BTS yang memiliki hoby fotografi dan travelling.
