4 Langkah Pemberdayaan Ekonomi Survivor

 4 Langkah Pemberdayaan Ekonomi Survivor

Ilustrasi: Freepik

Oleh: Ema Mukarramah

 

Tak dipungkiri bahwa ada banyak perempuan yang tetap bertahan dalam perkawinan yang abusive. Salah satu alasannya, apalagi kalau bukan masalah ekonomi? Tidak setiap perempuan dididik dan dibekali untuk menjadi seseorang yang mandiri. Perkawinan kadang kala menjadi salah satu pintu yang dianggap akan menyelamatkan perempuan dari kemiskinan yang sebelumnya dialami. Dengan kata lain, kewajiban luhur yang diletakkan kepada suami untuk menafkahi istri dan anak-anaknya tak pelak dijadikan tumpuan oleh orang tua tertentu untuk memberikan kehidupan yang lebih baik bagi perempuan.

Oleh karena itu, mereka yang kemudian memutuskan untuk mengakhiri perkawinan demi terhindari dari perlakuan penuh kekerasan dari pasangan umumnya berada dalam kondisi ambang batas kekerasan yang sudah tidak dapat lagi ditoleransi. Mungkin, apabila pelaku masih mau meminta maaf, atau menunjukkan sikap penyesalan dan komitmen untuk tidak mengulangi, perempuan tersebut masih bersedia menunda keputusannya. Ada aspek emosional yang membuat perempuan masih mencoba merasionalisasi pilihannya untuk tetap bertahan.

Pada akhirnya, aspek emosional itu tetap akan runtuh ketika perempuan tersebut dihadapkan pada kenyataan berikutnya: pelaku masih saja melakukan kembali kekerasan terhadapnya, atau terhadap anak-anaknya, bahkan dalam intensitas yang lebih tinggi atau bahkan lebih buruk lagi. Namun bagaimanapun, sungguh tidaklah mudah bagi seorang perempuan untuk mengambil keputusan akhir agar terbebas dari kekerasan dalam relasi perkawinan. Kalkulasi tentang kemampuan bertahan hidup tanpa adanya tumpuan yang menjadi penopang merupakan hal krusial yang harus diselesaikan.

 

Urgensi Pemberdayaan Ekonomi

Lantas, apa yang dapat dilakukan oleh seorang perempuan yang memutuskan mengakhiri perkawinan untuk tetap survive dari sisi ekonomi? Pekerjaan tetap tentu merupakan hal penting yang harus dimiliki. Namun, hal itu belum memberikan jawaban, terutama bagi perempuan yang tidak bekerja tetap atau tidak mempunyai penghasilan tetap.

Mencari pekerjaan yang dapat memberikannya penghasilan selanjutnya menjadi kebutuhan. Namun tentu saja hal ini juga bukan persoalan yang mudah dipecahkan. Ketersediaan pekerjaan seringkali terkait dengan keahlian atau kemampuan yang harus dimiliki sesuai bidang tersebut. Akses terhadap informasi dan kesempatan untuk bekerja juga merupakan persoalan lainnya yang harus diatasi.

Pada akhirnya, ketimbang mencoba memasuki dunia kerja formal, perempuan tersebut dengan segala keterbatasan yang melingkupinya akan mencoba survive dengan bekerja di sektor informal. Misalnya, menjadi buruh cuci gosok, atau pekerja rumah tangga, menjadi penjaga toko, atau pekerjaan lainnya.

Sekalipun demikian, mencari pekerjaan di sektor informal tersebut juga belum tentu mudah. Saat perempuan tersebut sedang membutuhkan penghasilan, belum tentu di sekitar lingkungannya sedang terdapat keluarga yang membutuhkan jasa cuci gosok atau pekerja rumah tangga. Mungkin saja peluang kerja itu tersedia namun berada di wilayah lain, yang membuatnya harus berpikir ulang agar tidak meninggalkan anak-anaknya sendirian.

Lantas, apakah ada pilihan untuk tetap beraktivitas dan menghasilkan pendapatan tanpa harus meninggalkan anak-anak di rumah? Salah satu pilihan yang mungkin diambil adalah menjadi wiraswasta, seperti memproduksi pangan secara mandiri dan mendistribusikannya untuk dijual. Misalnya, memproduksi makanan atau minuman, dan termasuk juga mendirikan usaha penjualan makanan atau minuman, atau berjualan sambil memanfaatkan lahan rumah yang tersedia.

Pada saat awal mencoba berdikari, perempuan survivor tersebut mungkin akan merasakan kesulitan pendanaan. Padahal, dalam financial literacy, unsur dana atau modal bukanlah hal utama yang harus tersedia. Prioritas pertama yang harus tersedia justru keinginan dan semangat yang kuat untuk memulai usaha agar dapat mandiri. Selanjutnya, kemampuan dan pengetahuan dalam memproduksi produk yang akan dipasarkan. Misalnya, seorang survivor hendak membuka usaha kue kering, tentu keahlian dalam membuat kue kering itu sangatlah diperlukan.  Di sisi lain, apabila ia ingin mencoba suatu bidang usaha yang belum dikuasainya, tentu saja ia perlu mempelajarinya terlebih dahulu agar bidang usaha yang akan digelutinya dapat menghantarkannya pada kesuksesan meraih penghasilan yang akan menopang kehidupannya.

Selain itu, aspek distribusi dan pemasaran juga perlu mendapatkan perhatian. Aspek ini menjadi penting agar produk yang dihasilkan survivor diketahui oleh calon konsumen dan menarik perhatian untuk dikonsumsi. Volume penjualan produk juga akan sangat dipengaruhi oleh tingkat pemasaran yang dapat dilakukan. Tentu saja apabila produk yang dihasilkan semakin banyak  terserap oleh pasar, survivor akan mendapatkan penghasilan yang dibutuhkan.

 

Membantu Survivor

Sampai di sini, lantas apa yang dapat kita lakukan untuk turut membantu para survivor yang membangun usaha mandiri?

Pertama, belilah produk yang mereka hasilkan. Misalnya, kita mengetahui ada seorang survivor yang membuat kue, sempatkan untuk membeli produknya. Jika tidak memungkinkan membeli setiap hari, siasatilah dengan membeli dalam jumlah banyak dalam event tertentu misalnya ketika acara syukuran wisuda, ulang tahun, atau sekedar memenuhi kebutuhan mager di rumah. Atau bisa juga membeli dalam jumlah banyak untuk dibagikan kepada pihak yang membutuhkan. Dengan langkah ini, selain membantu survivor dengan membeli produknya, kita juga sekaligus membantu pihak lain yang juga membutuhkan bantuan.

Kedua, bantu mereka mempromosikan produknya melalui lingkaran pertemanan yang kita miliki. Sesekali postinglah jepretan produk survivor tersebut ke media sosial. Boleh juga cantumkan nomor kontak yang tersedia, atau bantu jembatani komunikasinya jika ada kawan yang tertarik dengan produknya. Ceritakan juga siapa dan kenapa produk itu dibuat, agar aspek emosional dari produk ini dikenali oleh jejaring perkawanan kita.

Ketiga, selain bantuan mempromosikan secara online, nggak ada salahnya juga untuk bantu mempromosikan secara offline. Terutama untuk produk makanan ya, kadang-kadang  kan perlu banget untuk dicicipi dulu, atau dibuatkan paket sample, sehingga semakin banyak orang yang merasakan langsung produk ini.

Keempat, jika memungkinkan, bantu survivor untuk terhubung dengan komunitas produsen atau pegiat bidang usaha serupa. Bahkan kalau ada jejaring survivor yang bergerak untuk upaya kemandirian ekonomi, penting banget nih untuk diperkenalkan. Perluasan jejaring bagi survivor selain akan meningkatkan kepercayaan diri dalam berdikari, juga akan memberikan kesempatan untuk terus mengasah kemampuan dan mengeksplorasi kesempatan yang mungkin tersedia.

Nah, di masa pandemi ini, survivor yang membuka usaha makanan minuman atau produk konsumsi lainnya juga pastinya merasakan dampak. Mereka tergolong dalam kelompok yang berpenghasilan harian, sehingga kalau produk yang mereka hasilkan tidak terjual, mungkin pada hari itu mereka tidak bisa membeli bahan kebutuhan pokok dan akan kesulitan untuk memutar modal di hari berikutnya. Kalau ada survivor di lingkunganmu, yuk dukung mereka untuk tetap berdaya![]

 

Penulis punya hobi menulis seputar topik pemberdayaan perempuan dan penghapusan kekerasan terhadap perempuan.

 

Digiqole ad