Mengenalkan Ekofeminisme dalam Keluarga

 Mengenalkan Ekofeminisme dalam Keluarga

Oleh: Nurhadianty Rahayu

 

Memulihkan relasi manusia dengan alam lewat pola asuh berbasis ekofeminisme.

Gerak industrialisasi dan perjumpaannya dengan alam tidak sedikit yang kemudian berujung konflik. “Perselisihan” itu terjadi bukan karena dibuat-buat. Ada yang berada pada posisi paling rentan di dalam perseteruan itu.

Perjuangan ibu-ibu petani Kendeng yang menolak beroperasinya pabrik semen di Rembang, Jawa Tengah, adalah salah satu contohnya. Para ibu ini, secara sadar, meyakini posisinya yang semakin rentan dengan kehadiran pabrik itu.

Sebab dalam konflik sumber daya alam, pihak yang paling berdampak secara langsung adalah perempuan. Tulisan lain di Jalastoria (Dampak Investasi dan Hak Hidup Perempuan di Papua) menegaskan tesis tersebut.

Atas dasar itu, diperlukan sebuah upaya penyadaran sejak dini akan pentingnya menjaga alam bagi keberlangsungan hidup manusia. Tentu saja upaya itu tidak disampaikan dengan penjelasan yang klise.

Upaya memulihkan relasi manusia dengan alam harus sudah mulai dilakukan sejak dalam keluarga. Pola asuh berbasis ekofeminisme perlu dijadikan model agar alam tidak semata dilihat dari fungsinya untuk manusia.

Namun ada syarat yang harus dipenuhi untuk mengoperasikan model tersebut. Pola asuh ini baru bisa dilakukan jika orang tua memiliki kesadaran akan pentingnya menjaga ekosistem.

Manusia dan Alam adalah Relasi Kemitraan

Relasi manusia dan alam tidak berbentuk hierarki, melainkan kemitraan. Alam tidak sekadar dilihat dari fungsinya bagi manusia.

Setiap individu harus memperlakukan alam dengan penuh empati karena di alam-lah ia mengumpulkan ingatan yang membentuk identitas diri.

Di sinilah kemudian pentingnya ekofeminisme. Paham ini dapat menyempurnakan kesadaran akan alam yang bukan melulu dipandang sebagai objek eksploitasi.

Sebab jika pandangan itu yang dipahami, maka pengerukan manfaat dari alam yang berlebihan akan terus terjadi. Akibatnya, kaum perempuan terkena dampak langsungnya.

Di tengah situasi yang megeksploitasi alam secara membabi buta itu, sebuah generasi mendatang harus diberikan pemahaman mendasar lewat sebuah pola asuh yang didasarkan pada prinsip melakukan gerakan pelestarian lingkungan.

Pengertian Ekofeminisme

Ekofeminisme yang diperkenalkan oleh feminis Francoise d’Eubonne pada 1974 hendak mempromosikan kesetaraan antara manusia dengan alam.

Berangkat dari kemiripan nasib antara perempuan dan alam yang diperlakukan secara tidak adil oleh budaya patriarki, gagasan ekofeminisme membangun tawaran peran perempuan yang dekat dengan alam sebagai agen pemulih keseimbangan ekosistem.

Semangat perempuan dan lelaki feminis dalam melawan ketidakadilan bagi alam mengacu pada sejarah perempuan dalam dominasi budaya patriarki yang menjadikan perempuan dan alam sebagai objek opresi.

Sifat melindungi perempuan terhadap alam dapat diturunkan melalui pola pengasuhan berbasis ekofeminisme. Dengan catatan, jika sang ibu dan ayah telah memanifestasikan pemahaman ekofenomenologi atau ketika alam tidak dilihat sebagai ‘the other’ melainkan fenomena yang memungkinkan manusia eksis secara fisik dan mental.

Pola Asuh Ekofeminisme

Pola asuh berbasis ekofeminisme dimulai dari contoh sikap orang tua yang saling berbagi pekerjaan rumah tangga tanpa sekat-sekat gender. Ayah selain bekerja di luar juga aktif dalam pengasuhan dan pekerjaan domestik. Begitu juga dengan sang ibu.

Namun, pola asuh ini dihadapkan pada sebuah tantangan. Pengasuhan anak di era modern, terutama di wilayah perkotaan, membuat contoh kedekatan manusia dengan alam terasa semakin berjarak.

Jarang sekali ditemukan jalan raya tak berbeton/aspal. Selain atas dasar kemudahan akses transportasi, jalnan beraspal merupakan solusi atas jalan bertanah yang sering dianggap menghambat gerak “kemajuan”. Akibatnya eksistensi pepohonan berkurang.

Padahal tanah adalah pori-pori bumi. Tanah juga yang memungkinkan air terserap dan tersimpan di dalamnya dengan bantuan pepohonan dan bebatuan sehingga banjir dapat dihindarkan.

Pembangunan, terutama di wilayah perkotaan, mempersempit ruang interaksi anak dengan alam. Oleh karena itu penting bagi orang tua untuk menyediakan sebagian lahan di pekarangan untuk menanam berbagai tanaman atau apotik hidup.

Selain berguna untuk mengurangi dampak distribusi rempah untuk keperluan memasak, yang pengangkutannya menggunakan kendaraan tak ramah lingkungan, kebun kecil di pekarangan juga dapat berfungsi sebagai ruang interaksi anak dengan ekosistem di sekitarnya.

Peran ayah dan ibu dalam ruang interaksi ini sangat diperlukan, karena if one thing is certain, it is that women alone cannot ‘save the earth’ – we need the efforts of men as well.

Pembagian Peran Ayah dan Ibu

Pembagian peran orang tua juga sangat penting untuk menumbuhkan persepsi bahwa ayah dan ibu sama-sama berhak bekerja di luar rumah, mencuci piring, membereskan tempat tidur, dan menemani bermain.

Suami dan ayah yang terbuka pada kesetaraan gender memungkinkan pola asuh yang lebih baik karena kedekatan anak pada ibu dan ayah membuatnya lebih dapat menghargai peran laki-laki dan perempuan yang tidak berbeda.

Saat akhir pekan, anak diajak untuk menanam bumbu dapur, menaruh piring atau gelas kotor ke tempat cuci piring, atau bercerita dengan ayah. Kegiatan sederhana tersebut dapat menanamkan tanggung jawab bebas stereotip gender kepada anak sejak dini.

Pentingnya Kesadaran akan Alam

Orang tua dapat memaksimalkan perannya dengan memberi contoh langsung pada anak. Dari orang tua, anak belajar melihat proses sebelum menjadi hasil, misalnya memasak dan mencuci.

Makanan yang ada di meja tersedia jika orang tua memasaknya. Begitu juga dengan baju bersih, hanya dapat menjadi bersih jika sudah dicuci.

Secara tidak langsung, orang tua sudah menyampaikan pemahaman lingkungan kepada anak-anaknya lewat laku kesehariannya. Hasil yang ingin dicapai semata-mata adalah kesadaran pada diri anak.

Sejak dini, anak sudah diajak untuk menyadari asal muasal dari makanan yang dkonsumsinya. Lebih jauh, orang tua juga bisa menyinggung soal apakah produk yang dikonsumsi itu diproduksi secara adil bagi perempuan dan alam?

Sejak kecil, anak lelaki saya telah diperkenalkan dengan kerjasama.

Ketika saya memasak, ia saya libatkan dalam mengolah makanan. Misalnya ketika saya mengulek bawang merah, anak lelaki saya mengulek juga dengan ulekan berukuran lebih kecil.

Dari kegiatan mengulek, anak menjadi tahu bahwa untuk bisa makan, kita mesti memasak dahulu. Untuk dapat memasak mesti punya bumbu dan lauk dahulu.

Dari mana bumbu dan lauk didapat? Alam lah yang menyediakannya dengan murah hati. Jika keseimbangan alam diganggu, alam tak akan mampu membantu manusia menyediakan bahan makanan.

Kesetaraan mesti diperlakukan karena sebetulnya manusia mengada dan bertumbuh di alam, hidup dari alam, dan akan kembali ke alam.

Dari kegiatan memasak juga, orang tua dapat memperkenalkan bagaimana cara menjaga ketersediaan bahan makanan.

Misalnya jika menemukan cabai yang terlalu matang, bijinya dapat ditanam kembali, begitu pun dengan kunyit atau lengkuas dan kencur yang sudah kering.

Pelestarian alam dapat diteruskan melalui contoh sederhana dalam proses memasak.

Anak diajak menanam kembali dan memanen hasil tanamannya. Dari situ diharapkan anak belajar mengenai pentingnya merawat alam. Sehingga perempuan yang sering kena dampak secara langsung dari kerusakan alam bisa dihindarkan.[]

Teaching English at a local college is her option to trigger her curiosity. She believes in intervening patriarchy and fighting bigotry by doing research on pop culture. She has strong faith that change must start from home and from the open arms to treasure difference.

sumber gambar: Systemic Alternatives

Digiqole ad