Feminis dan Maskulinitas

 Feminis dan Maskulinitas

Ilustrasi (JalaStoria.id)

Oleh: Siti Aminah Tardi

 

Minggu lalu di akun twitter saya berlintasan cuitan tentang feminisme. Intinya curahan hati seorang feminis yang direndahkan oleh salah satu feminis lainnya. Yang intinya membandingkan. Cuitan ini kemudian berbalas saling curah pengalaman mendapatkan perlakuan serupa. Misalkan: “gw dari lahir udah feminis ga kaya kamu yang baru belajar feminisme”, “gw belajar feminisme tuh kuliah ga kaya kamu cuman baca artikel”, atau “emang kamu dari LSM mana? Bukan LSM perempuan kan?” Cuitan cuitan tersebut menimbulkan pertanyaan, mengapa hal itu terjadi? Bukankah seharusnya para feminis bersatu, saling menguatkan di bawah nilai persaudarian (sisterhood)?

 

Untuk membahasnya, kita harus membedakan terlebih dahulu female, feminine dan feminisme. Female secara harfiah artinya perempuan, lawan dari male atau laki-laki. Female dapat merujuk ke pengertian biologis maupun gender, bisa juga digunakan untuk binatang yaitu betina dan jantan.

 

Feminine atau feminitas dari bahasa Prancis, merujuk pada sifat yang menunjukkan sifat keperempuanan. Seperti: kelembutan, kesabaran, kebaikan, merawat, empati dll. Sedangkan maskulin berasal dari kata muscle atau otot yaitu sifat-sifat yang hanya mendasarkan pada kekuatan otot (fisik). Karakter maskulin ini dicirikan dengan kecenderungan kompetitif, aktualisasi diri, dan unjuk kekuatan. Sifat feminin dan maskulin ini dimiliki semua orang, laki laki maupun perempuan. Seseorang yang hanya berkembang sifat maskulinnya saja akan melihat orang lain bukan sebagai partner melainkan pesaing bagi kepentingannya ataupun dianggap akan melunturkan rasa “harga diri” nya ketika orang lain memiliki pandangan yang berbeda dengannya.

 

Terakhir, feminisme adalah gerakan sosialgerakan politik, dan ideologi yang bertujuan untuk mendefinisikan, membangun, dan mencapai kesetaraan dan keadilan gender di lingkup politik, ekonomi, pribadi, dan sosial. Perbedaan dalam melihat sumber atau akar ketidakadilan terhadap  perempuan yang menjadikan feminisme ini sangat kaya dan beragam. Orang yang memperjuangkannya disebut sebagai feminis. Memperjuangkan keadilan, termasuk mengubah citra baku tentang lelaki dan perempuan yang telah terbangun ribuan tahun pasti sulit, terjal, dan melelahkan. Seseorang dapat saja terpapar, belajar, dan mempraktikkan nilai-nilai feminisme, tetapi tidak ada artinya jika dukungan kolektif bagi dirinya untuk menjalaninya tidak ada. Oleh karena itu, kemudian dibangun persaudarian.

 

Kembali ke Nilai-Nilai Persaudarian

Kita dilahirkan, tumbuh dewasa, dan diajar dalam masyarakat yang masih patriarki. Salah satunya kita disosialisasikan menjadikan perempuan lain sebagai saingan atau pesaing khususnya untuk mendapatkan perhatian lelaki. Oleh karenanya, tidak jarang kita melihat perempuan saling mengkritik dengan keras bahkan saling menjatuhkan, yang berakhir dengan permusuhan yang sia-sia.

Pada tahun 1970 penulis Kate Millett, di bawah moto, “Perempuan Di Dunia Bersatu!”, menciptakan kata “persaudarian” yang sampai sekarang digunakan dan menjadi etika, politik, dan praktis feminis. Persaudarian adalah persahabatan antarperempuan untuk saling bekerja bersama, dengan komitmen untuk sukses dengan menjadi bebas dan kuat bersama, yang mampu mendorong terjadinya perubahan sosial. Maka, yang harus dibangun adalah keseimbangan sifat-sifat feminin dan maskulin.

Jika kualitas maskulin tidak diimbangi dengan tumbuhnya kualitas feminin maka akan rentan menimbulkan sisi negatif dari perilaku maskulin yang tidak terkontrol, misalnya dominasi, eksploitasi, keinginan untuk menguasai, intimidasi, ancaman, dan penguasaan sistem dan instrumen kepentingan umum. Dampak yang paling buruk adalah kecenderungan untuk melakukan kekerasan serta menghalalkan segala cara dalam mewujudkan kepentingannya. Hal ini kita saksikan digunakan dalam pendekatan pembangunan yang maskulin. Sedangkan pada tingkat individu, perempuan yang mengadopsi atau memiliki sifat maskulin yang dominan menjadikannya penguasa terhadap individu lain, termasuk merasa menjadi paling feminis dibandingkan yang lain.

Kembali kepada cuitan di atas, hal yang harus disadari bahwa di antara perempuan-perempuan feminis memiliki titik awal, latar belakang, dan pengalaman masa lalu yang berbeda-beda. Pengalaman setiap perempuan berharga, tidak dapat diperbandingkan, dan justru memperkaya feminisme sendiri. Dengan menghormati dan memahami bahwa pengalaman perempuan sama berharganya dengan kuliah, maka cuitan di atas seharusnya tidak terjadi.

Jika ruang dialog yang setara, nyaman, dan terbuka sudah tidak dirasakan lagi di kalangan para feminis, lalu dengan cara apakah kita menjelaskan ke masyarakat tentang perdamaian, kasih sayang, antidiskriminasi dan antikekerasan terhadap perempuan? Dampaknya ketika ruang dialog tertutup, maka tertutup pula peluang terjadinya sebuah perubahan dalam diri individu. Pada akhirnya individu atau organisasi tertentu yang merasa menguasai referensi, lebih cakap bicara, dan berani (baca: maskulin) yang akan menguasai berbagai forum. Simpulannya, sifat maskulin yang dominan belum bisa dilepaskan, sehingga kemudian merusak nilai-nilai persaudarian sebagai etika feminis sendiri.

Sebagai seorang feminis otodidak dalam artian tidak memiliki pendidikan formal terkait isu gender, dan dididik dalam budaya patriarki, sayapun mengalami hambatan untuk menginternalisasi dan melaksanakan persaudarian. Tidak mudah. Namun, saya mempercayai bahwa menjadi feminis itu perjalanan sepanjang kita hidup. Menerapkan persaudarian adalah proses dialog terus menerus, baik dialog sebagai individu maupun dengan sesama feminis sendiri. Dengan terus berdialog dan menanam benih kasih sayang, kita bersama-sama menjadi lebih berharga setiap harinya. Dengan persaudarian kita akan lebih kuat sebagai ibu, sebagai saudara perempuan dan perempuan, juga membangun persaudarian untuk perubahan sosial. []

 

Komisioner Komnas Perempuan 2020-2024

*Tulisan ini merupakan pendapat pribadi dan tidak mewakili lembaga

Digiqole ad