Marsinah: Kekerasan terhadap Perempuan dan Pelanggaran HAM Pekerja

 Marsinah: Kekerasan terhadap Perempuan dan Pelanggaran HAM Pekerja

Marsinah (Wikipedia.org)

Oleh: Sahat Tarida Berlian

 

Marsinah, seorang buruh perempuan. Hari ini, 8 Mei 2020, adalah peringatan 27 tahun kematiannya. Marsinah hilang, diculik sekelompok orang, ketika ditemukan beberapa hari kemudian nyawanya sudah melayang dan jasadnya penuh tanda kekerasan.

Marsinah perempuan biasa lahir dan besar di desa. Masa kecilnya tak bersama orangtua, ia diasuh neneknya. Ibunya mati muda, mati ketika melahirkan adiknya, anak ketiga. Marsinah bercita-cita sekolah hukum, namun karena miskin tak ada biaya ia hanya menamatkan pendidikannya pada jenjang SLTA. Marsinah perempuan pekerja, sebagai buruh pabrik ia menggunakan waktu luangnya untuk kursus komputer dan Bahasa Inggris.

8 Mei 1993, jasad Marsinah ditemukan di hutan Wilangan, Nganjuk, Jawa Timur. Hasil autopsi menyebutkan pada tubuh Marsinah terdapat luka-luka pada pipi, siku, lengan, perut, luka-luka robek di bagian perut, tulang punggung bagian depan hancur, memar pada kandung kemih, usus, dan pendarahan pada rongga perut.

Kematian Marsinah tidak dapat dilepaskan dari rangkaian pemogokan dan unjuk rasa tempatnya bekerja. Marsinah bekerja di PT Catur Putera Surya (CPS), pabrik arloji di Siring, Porong, Jawa Timur. Sebelumnya ia hadir dalam aksi-aksi buruh PT CPS dalam memperjuangkan keadilan, menuntut upah layak, upah lembur, cuti hamil bagi perempuan.

Awal Mei 1993, Marsinah terlibat aksi unjuk rasa menuntut kenaikan upah sebesar 550 rupiah. Kenaikan upah ini berdasarkan  KepMen 50/1992, diatur bahwa UMR Jawa Timur ialah Rp2.250, saat itu Marsinah dan kawan-kawannya menerima upah Rp1.700. Kenaikan upah ini juga sesuai dengan Surat Edaran Gubernur KDH Tingkat I, Jawa Timur, 50/1992, isinya meminta agar para pengusaha menaikkan gaji buruh 20 persen.

 

Aparat dan Korporat

Era Orde Baru, dalam perselisihan antara buruh dengan pengusaha, maka pihak militerlah yang berhak memediasi. Hal ini berdasarkan Surat Keputusan Bakorstanas No.02/Satnas/XII/1990 dan Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. 342/Men/1986. Kekuasaan tentara merajalela, tak hanya para pekerja,  di era ini semua warga yang kritis menyampaikan pendapatnya mendapatkan sangsi, intimidasi dan penangkapan.

Dalam buku Marsinah Campur Tangan Militer dan Politik Perburuhan (YLBHI:1999)  disampaikan; campur tangan militer dalam setiap perkara perselisihan perburuhan menjadi hal yang wajar di Indonesia. Aparat militer memiliki kewenangan yang besar mengatur hajat hidup orang banyak.  Dalam kasus Marsinah sendiri, ada tiga tahapan pengusutan kasus. Tahun 1993, tahun 1995 dan tahun 1998.

27 tahun berlalu, belum ada tanda-tanda pengungkapan fakta pembunuhan. Yang terang adalah, Marsinah dibunuh karena berjuang melawan ketidakadilan. Marsinah adalah pengalaman di masa lalu yang menjadi pembuka jalan hingga di masa sekarang. Namun begitu, belum ada titik terang kejelasan kasusnya dan juga kesejahteraan buruh di masa depan.[]

 

Penulis adalah seorang pegiat hak asasi manusia

 

 

 

 

Digiqole ad