Perkosaan dalam Perkawinan
Oleh: RA Gayatri WM
Saya percaya bahwa seseorang yang sungguh-sungguh mencintai istrinya dan anak perempuannya tidak akan membicarakan perkosaan dalam perkawinan (marital rape) sebagai gurauan. Mereka tidak akan menertawakan hal itu yang dapat membuat istri atau anak perempuannya menderita dan mati karenanya.
Dalam hal relasi antara perempuan dengan laki-laki, jika perempuan memaksa laki-laki berhubungan seks, maka secara organ tubuh, laki-laki tidak akan mengalami konsekuensi seperti perempuan. Secara kejiwaan, dia mungkin akan marah, depresi, stress, atau membenci perempuan tersebut.
Kasus perempuan memperkosa laki-laki memang ada, dan bukannya saya membenarkan hal ini, tetapi saya tidak akan membuat perbandingannya apple to apple. Karena, ini berbeda jika yang terjadi adalah sebaliknya. Perempuan berpotensi hamil dari hubungan badan tersebut.
Jika korban perkosaan laki-laki cukup melalui terapi atau pemulihan secara kejiwaan, bagi korban perempuan yang mengandung ia mesti melalui lebih dari bagaimana menghadapi trauma dan kenangan buruknya. Belum lagi jika ia akhirnya melahirkan anak itu.
Apa rasanya mengandung seorang janin dari hasil hubungan badan yang tak diinginkan? Orang-orang pro-life akan menentang aborsi. Beberapa orang membagikan kisah mereka yang hampir diaborsi oleh ibunya akibat perkosaan, dan ia bersyukur tidak diaborsi. Tetapi, ini tidak bisa berlaku untuk semua kasus.
Dalam kasus perkosaan secara umum, apakah kalian pernah berpikir rasanya berbagi anak dengan pemerkosamu? Ada kasus perkosaan dalam perkawinan, gang rape, perkosaan oleh orang dekat, perkosaan oleh orang asing dan perkosaan secara massal atau terstruktur, sistematis dan massif seperti dalam perang, dan kerusuhan.
Untuk kasus perkosaan dalam perkawinan, ini biasanya berlangsung dalam suatu rumah tangga yang telah bermasalah (sebab jika rumah tangganya baik-baik saja tak mungkin ada pemaksaan), dan sebelumnya telah lahir anak atau beberapa anak dari hubungan seks yang wajar (dan mungkin masih amat harmonis), kemudian sang istri mengandung seorang anak dari hubungan yang menimbulkan luka-luka batin pada ibunya.
Tidak pernahkah kalian memikirkan konsekuensinya pada pertumbuhan jiwa janin itu jika kelak lahir ke dunia? Beberapa perempuan yang mengalami kawin paksa, sebagaimana dulu banyak terjadi dan saat ini masih terjadi, mungkin akhirnya dapat mengatasinya dengan kompensasi yang cukup mahal. Para ibu ini akan menumpahkan kebenciannya pada anak-anaknya, baik terlihat maupun tak terlihat secara langsung.
Sebagai seorang penyintas dari perkosaan dalam perkawinan, saya mengerti pergumulan yang dialami setiap perempuan ketika mengandung janin dari hubungan seks yang tak ia inginkan. Bagi sebagian perempuan mungkin dapat mengatasinya, tetapi kondisi kejiwaan setiap orang berbeda karena latar belakangnya berbeda-beda, dan bergantung pula pada kasus perkosaannya.
Saya pernah bertemu langsung perempuan yang mampu melahirkan bayi hasil gang rape yang ia alami saat masih SMP dan ia dengan penuh kasih membesarkan anaknya itu. Siapa ayah dari anak tersebut tidak ia ketahui, karena belum dilakukan tes DNA – dan para pemerkosanya melengang bebas.
Dalam hal hamil akibat perkosaan, saya seorang pro-choice. Pengalaman pribadi telah membuktikan bahwa saya tak mampu menjalaninya. Saya mengalami depresi, dan akhirnya lebih banyak berada di rumah, tidak terpapar cukup matahari, sehingga memperparah depresi saya. Kemudian, saya mulai mengalami gejala autoimun saya – yang saat itu saya belum mengerti. Tetapi, jika mengingat bagaimana kulit dan mulut saya bereaksi sepanjang saya hamil dan akhirnya keguguran: saya telah mulai mengalami gejala autoimun sejak itu.
Pada sebagian perempuan, systemic lupus erythematosus (SLE) juga dapat dipicu pada waktu kehamilan. Jadi, berhentilah bergurau soal seperti ini.[]
Penulis adalah mentor dan darwis Daudiyah-Sibghah, menekuni sejarah, perbandingan agama, filsafat, dan humanitarian.
Ilustrasi: Pixabay.com
====
Tulisan ini dituliskan kembali untuk JalaStoria.id dengan editing seperlunya dari redaksi.