Memulihkan Kondisi dan Fungsi Keluarga
Oleh: Triantono, S.H., M.H.
Studi tentang keluarga sampai saat ini masih didominasi pandangan bahwa keluarga merupakan suatu unit terkecil dalam masyarakat. Hal tersebut tidak lepas dari sifat dan pendekatan struktural yang digunakan untuk memahami relasi antara keluarga dan masyarakat itu sendiri.
Pada gilirannya pendekatan ini memunculkan suatu narasi tentang atribut pembakuan peran pemimpin keluarga (family leader) lengkap dengan hak dan kewenangan dan siapa anggota keluarga yang harus dipimpin. Muncul dan eksisnya pemimpin keluarga (family leader) tidak lepas dari seberapa besar dominasi peran-peran sosial yang dimiliki oleh laki-laki dan perempuan. Jika demikian halnya maka sudah bisa ditebak, dalam sruktur masyarakat patriarkhi maka laki-lakilah yang dipastikan akan menempati posisi tersebut.
Selain itu, pendekatan struktural pada keluarga memiliki konsekuensi logis terbentuknya relasi vertikal yang rentan terhadap dominasi dan kuasa yang timpang. Pola dan proses relasi vertikal keluarga akan memunculkan norma terkait pembedaan peran secara signifikan di antara individu-individu dalam keluarga didasarkan pada jenis kelamin (peran gender). Ada laki-laki sebagai subyek diri yang bertindak (subject of acting self) yang memiliki lebih banyak keistimewaan dan ada perempuan sebagai objek diri (object self) yang lebih banyak pembatasan.
Dalam struktur keluarga yang vertikal di mana laki-laki memiliki peran dominan, maka peran sosial dan produktif lebih banyak dijalankan oleh laki-laki sedangkan perempuan hanya menempati peran domestik dan reproduktif.
Relasi yang timpang pada pendekatan struktural keluarga pada akhirnya memunculkan ketidakadilan juga rentan terhadap perilaku kekerasan, di mana perempuan dan anak perempuan akan lebih beresiko menjadi korban.
Dalam kondisi keluarga seperti itu maka akan sulit menghadirkan pemberdayaan terhadap perempuan dan perlindungan anak. Konsep tentang ketahanan maupun kesejahteraan keluarga yang digagas pemerintah juga tidak akan berperan optimal jika masih mengondisikan keluarga sebagai suatu unit dengan peran dan relasi yang timpang. Setiap individu pada keluarga jenis ini berpotensi tidak akan memiliki akses, kesempatan dan pengakuan yang setara. Keputusan penting dalam keluarga dan kemana arah keluarga itu akan dibangun ditentukan oleh laki-laki sebagai pemimpin keluarga (family leader).
Tanpa adanya ruang kompromi dan negosiasi maka komunikasi yang terjadi akan lebih bersifat instruktif satu arah, tanpa adanya ruang verifikasi maupun keberanian untuk klarifikasi. Singkat kata, dalam wadah keluarga yang dikondisikan sebagai unit, maka keluarga hanya akan difungsikan secara mekanis dan statis, yang beresiko meghilangkan potensi alamiah dari setiap individu-individu dalam keluarga itu.
Belum lagi jika kita mencermati perkembangan akhir-akhir ini yang menunjukkan menguatnya konservatisme dalam keluarga. Sudah banyak pemberitaan baik di media cetak dan elektronik maupun online yang begitu lugas menggambarkan geliat penguatan konservatisme dalam keluarga yang berdampak pada perilaku intoleran dan rentan terhadap perilaku kekerasan. Hal ini tentu menambah kerisauan dan kegelisahan, di tengah upaya yang terus menerus dilakukan untuk menghapuskan kekerasan terutama terhadap perempuan dan anak di negeri ini.
Bagaimanapun juga keluarga merupakan suatu hal yang penting dan urgen serta berpengaruh signifikan dalam proses dan perubahan sosial. Sebagai sebuah wadah paling alamiah dari individu-individu, maka kondisi keluarga harus dipulihkan dari narasi-narasi diskriminatif gender.
Relasi vertikal yang selama ini dibangun harus diubah menjadi relasi horisontal yang bersifat kolegial. Ruang-ruang kompromi dan negosiasi dalam keluarga harus ditumbuhkan melalui proses komunikasi yang asertif. Dalam kondisi seperti inilah, setiap individu akan memiliki tempat, pengakuan, akses, dan kesempatan untuk tumbuh, berkembang dan berdaya. Keluarga tidak lagi menjadi dikondisikan sebagai suatu unit dengan fungsi mekanis dan statis tetapi menjadi sebuah “entital kolegial yang dinamis dan responsif”.
Terlepas dari perdebatan publik terkait pernyataan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan anak yang mewacanakan perubahan nama kementeriannya menjadi Kementerian Ketahanan Keluarga, harus dilihat bahwa pandangan tentang keluarga yang selama ini ada harus dipulihkan kembali pada hakekat yang sebenarnya. Pernyataan menteri tersebut memberikan gambaran bahwa narasi-narasi keluarga selama ini tidak pada kondisi dan fungsi keluarga sebagaimana mestinya, dan justru kontra produktif dalam rangka menghapuskan kekerasan baik terhadap perempuan maupun anak.
Memulihkan kondisi dan fungsi keluarga sebagai entitas kolegial yang dinamis dan responsif akan berkorelasi positif dalam pengembangan, pemberdayaan, dan perlindungan terhadap individu-individu di dalamnya. Hal tersebut dapat menjadi alternatif dalam mempertemukan konsep soal perlindungan anak, pemberdayaan perempuan, dan penghapusan kekerasan. Dengan begitu maka keluarga dapat menjadi basis dalam upaya mewujudkan transformasi sosial yang adil gender dan nir kekerasan.[]
Pengajar pada Universitas Tidar Magelang dan Peneliti pada Rifka Annisa WCC