Masihkah Ada Ruang Aman Bagi Perempuan di Indonesia?

 Masihkah Ada Ruang Aman Bagi Perempuan di Indonesia?

Ilustrasi (Sumber: Pch.Vectpr/Freepik.com)

Oleh: Boy Achmad Sofyan, S.H.

Sejatinya, jaminan atas rasa aman merupakan hak konstitusional yang diatur dalam dasar Negara Republik Indonesia yakni Undang-undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 khususnya dalam Pasal 28 G Ayat (1) yang menyebutkan:

“Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuai yang merupakan hak asasi.”

Selain konstitusi negara yang memberikan jaminan rasa aman bagi setiap orang, Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia juga telah menegaskan terkait dengan hak atas rasa aman. Ketentuan tersebut tertuang di dalam Pasal 30 Undang-undang HAM yang berbunyi:

“Setiap orang berhak atas rasa aman dan tentram serta perlindungan terhadap ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu.”

Baca Juga: Pengalaman Menjadi Pendamping Penyintas Kekerasan Seksual di Organisasi Pers Mahasiswa

Aturan-aturan hukum di atas, telah memperlihatkan bahwa hukum positif di Indonesia telah mengatur dan memberikan jaminan atas rasa aman kepada seluruh orang terkhusus kepada seluruh Warga Negara Republik Indonesia. Frasa yang digunakan dalam kedua aturan hukum tersebut adalah frasa “setiap orang” hal ini mengartikan bahwa rasa aman bukan saja diberikan kepada sekelompok orang atau golongan melainkan diberikan kepada setiap orang tanpa terkecuali.

Dalam konteks ini, salah satu kelompok rentan dari adanya praktik penyelewengan dari jaminan rasa aman ini adalah kelompok perempuan. Padahal, perempuan memiliki hak yang sama dengan orang lain, perempuan berhak untuk menyampaikan ekspresi, berhak juga untuk hidup aman tanpa gangguan dari pihak mana pun, dan berhak untuk tidak didiskriminasi.

Rasa aman tersebut dapat tercipta dari adanya ruang aman bagi perempuan. Lalu, apa sebenarnya ruang aman tersebut? The Roestone Collective (dalam Hartal, 2017) memaparkan ruang aman sebagai konsep hidup yang memiliki beragam variasi disesuaikan dengan berbagai konteks yang ada. Ruang aman dapat berarti spasial ruang yang merujuk pada letak geografis atau berupa tempat yang dapat dihuni. Namun, ruang aman bisa pula merujuk pada proses laku hidup dan cara pandang. (Himas, 2021).

Dalam hal ini, ruang aman bagi perempuan masih belum tercipta secara merata untuk melindungi kaum perempuan. Hal tersebut diawali dari sebuah pola pikir primitif dari masyarakat itu sendiri yang menempatkan posisi perempuan berada di bawah laki-laki dan yang hanya menempatkan kaum perempuan sebagai objek semata. Negara seharusnya menciptakan ruang aman bagi perempuan dalam konteks melindungi dan menjaga keberadaan perempuan itu sendiri agar terhindar dari tindak kekerasan yang dilakukan oleh orang-orang yang berpikiran primitif.

Catatan Akhir Tahun (CATAHU) tahun 2021 LBH APIK Jakarta mencatat, kasus kekerasan terhadap perempuan meningkat dalam tiga tahun terakhir. Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) dan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) merupakan jenis kekerasan tertinggi. Dari 1.321 Kasus Kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan ke LBH APIK Jakarta, sebanyak 489 kasus merupakan KBGO, 374 merupakan KDRT, Tindak Pidana Umum sebanyak 81 kasus, Kekerasan Dalam Pacaran (KDP) sebanyak 73 kasus, tindakan Kekerasan Seksual pada Perempuan Dewasa sebanyak 66 kasus.

Baca Juga: Kekerasan terhadap Perempuan, Ketahui Bentuknya

Catatan akhir tahun LBH APIK Jakarta tersebut, memperlihatkan bahwa meningkatnya kasus kekerasan yang menimpa kaum perempuan merupakan bukti dan peringatan, bahwa ruang aman bagi perempuan di Negara ini masih belum terbangun sepenuhnya. Tindak kekerasan yang menghilangkan ruang aman bagi perempuan tidak hanya dilakukan oleh orang biasa melainkan juga dilakukan oleh orang-orang yang seharusnya melindungi kaum perempuan itu sendiri.

Sebagai contoh, pada 18 Januari 2022, Kasat Reskrim Polres Boyolali, AKP Eko Marudin resmi dicopot dari jabatannya lantaran diduga melanggar kode etik dengan mengabaikan laporan aduan yang dibuat oleh seorang korban pelecehan seksual. Kejadian ini diawali dari adanya pengaduan seorang korban pelecehan seksual kepada Polres Boyolali pada tanggal 26 Desember 2021 yang lalu.

Korban semula ditelepon oleh orang yang mengaku sebagai anggota polisi untuk datang ke sebuah hotel di kawasan Bendungan, Jawa tengah. Singkat cerita, korban diduga mendapatkan pelecehan di dalam hotel tersebut oleh orang yang mengaku anggota polisi tersebut.

Atas hal tersebut, korban mengadu ke Polres Boyolali untuk mencari keadilan atas kasus yang menimpanya. Bukan perlindungan yang didapat, korban justru mendapatkan ucapan yang tidak pantas dari seorang Kasat Reskrim, yang seolah-olah mempertanyakan apakah korban menikmati pada saat pelecehan tersebut dilakukan oleh pelaku.

Kasus yang lain, merupakan kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh sorang Dosen di salah satu Universitas di Palembang, Sumatera Selatan. Kasus pelecehan tersebut bermula dari korban yang berinisial DR hendak meminta tanda tangan atas skripsi yang ia kerjakan kepada pelaku yang merupakan dosen pembimbingnya pada tanggal 25 September 2021. Namun, bukan tanda tangan yang ia dapatkan melainkan tindakan pelecehan yang dilakukan oleh Dosennya tersebut.

Baca Juga: Permen PPKS: Respons terhadap Fakta Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi

Dari beberapa uraian kasus yang telah digambarkan di atas, dapat terlihat bahwa tindak kekerasan yang dapat menyebabkan hilangnya ruang aman bagi perempuan di Negara ini masih saja terjadi. Tindakan yang seolah-olah menyalahkan pihak korban dengan dasar pakaian atau bentuk tubuhnya merupakan pemikiran-pemikiran primitif, yang pada akhirnya menjadi faktor utama dari ketidakberanian korban untuk melaporkan tindakan-tindakan kekerasan yang dialaminya.

Pemenuhan ruang aman bagi perempuan, sejatinya bukan saja merupakan tanggung jawab negara, namun menjadi tanggung jawab setiap orang. Hal ini dapat dimulai dari kesadaran masyarakat melalui edukasi-edukasi mengenai membangun ruang aman bagi semua orang khususnya bagi perempuan di lingkup keluarga hingga masyarakat luas. Edukasi yang dimaksud di atas juga perlu didorong dengan peran pemerintah dalam menetapkan regulasi-regulasi yang bertujuan untuk menciptakan ruang aman bagi perempuan yang harus dibangun bersama oleh bangsa ini. []

 

Alumni Fakultas Hukum Universitas YARSI

 

Referensi:

Indonesia, Undang-undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945.

Indonesia, Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

LBH APIK Jakarta, Catatan Akhir Tahun (CATAHU) LBH APIK Jakarta 2021, diakses pada 19 Januari 2022.

Merdeka.com, Kronologi Pelapor Pelecehan Seksual Diduga Dilecehkan Kasat Reskrim Boyolali, diakses pada 20 Januari 2022.

Cnnindonesia.com, Kronologi Kasat Reskrim Boyolali Dicopot Usai Lecehkan Warga Pelapor,  diakses pada 20 Januari 2022.

Jurnalmakassar.com, Ini Kronologi Lengkap Dosen Unsri saat Lecehkan Mahasiswi Bimbingannya,  diakses pada 20 Januari 2022.

Himas Nur Rahmawati, “Am I Man Enough?”: Diskriminasi Terhadap Identitas Transpria Muda (Studi Analisis Video YouTube Trans Men Talk Indonesia). Jurnal Studi Pemuda, Vol.10. No.1. Tahun 2021

Hartal, Gilly. Fragile Subjectivities: Constructing Queer Safe Spaces. Social & Cultural Geography. 2017.

Digiqole ad