Pengalaman Menjadi Pendamping Penyintas Kekerasan Seksual di Organisasi Pers Mahasiswa
oleh: Wahyu Agung Prasetyo
Saya ingin berbagi pengalaman menjadi pendamping penyintas kekerasan seksual di organisasi Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI). Saya dan teman-teman di PPMI sudah melakukan upaya advokasi selama dua tahun untuk dua kasus kekerasan seksual. Saya akan bercerita pengalaman menjadi pendamping penyintas kekerasan seksual dari salah satu kasus yang pelakunya adalah Sekjend PPMI Dewan Kota Semarang.
Rasanya cukup bingung dan tidak siap, sih. Saya rasa hal ini juga dirasakan oleh teman-teman lainnya yang mendampingi kasus kekerasan seksual di organisasinya. Bingung dan tidak siap menerima kenyataan ketika teman sendiri menjadi penyintas kekerasan seksual dan pelakunya juga teman sendiri. Apalagi kalau organisasi itu nggak ada pedoman yang jelas untuk menangani kekerasan seksual.
Tapi perasaan bingung dan tidak siap ini tidak bisa bertahan lama. Saya dan teman-teman di organisasi harus tegas dan bersikap untuk mendukung penyintas untuk pulih dan mendapatkan keadilan.
Posisi saya waktu itu adalah bagian Advokasi di PPMI. Jadi, saya berusaha sebaik mungkin untuk menjadi pendengar bagi penyintas, yang juga teman saya sendiri. Selain itu, saya menyusun kronologi, mengumpulkan bukti, menjadi penghubung antara penyintas dengan teman-teman yang membantu advokasi, serta menyusun strategi advokasi.
Awalnya, penyintas sudah bercerita ke teman perempuan saya di bagian Advokasi. Namun, teman perempuan saya merasa butuh bantuan untuk menjadi pendengar. Kemudian, teman perempuan saya itu mengarahkan penyintas untuk bercerita ke saya juga.
Ketika mendengarkan cerita dari penyintas, saya berusaha sebaik mungkin untuk tidak mengatakan sesuatu yang bisa memicu traumanya. Waktu itu cerita yang disampaikan penyintas begitu panjang dan kurang runtut. Saya pun mendengar cerita itu sampai selesai. Sangat sulit untuk menahan emosi, tidak menyela, dan berkomentar. Jadi saya mendengar semua ceritanya sambil mengingat detail-detailnya.
Setelah ceritanya selesai, saya berusaha memvalidasi pengalamannya, bahwa dia selama ini memendam pengalaman menyakitkan dan melalui masa-masa yang sulit. Lalu saya menanyakan sedikit demi sedikit tentang detail yang kurang runtut.
Memang benar bahwa penyintas yang berani bersuara itu hebat. Waktu itu saya menyiapkan tisu sebagai antisipasi kalau teman saya menangis. Tapi setelah dia cerita semua pengalaman menyakitkannya dan kondisi keluarga yang menekannya, malah saya yang menangis.
Apalagi teman saya waktu itu punya kecenderungan untuk menyakiti diri sendiri karena perasaan bersalah dan membenci diri sendiri. Saya dan teman-teman pun berusaha mencegahnya dan menenangkannya. Tapi teman saya yang menjadi penyintas ini tetap bisa bertahan dan terus bersuara melawan kekerasan seksual sampai saat ini. Sungguh, penyintas yang berani bersuara itu hebat! Serius, nggak pake canda-candaan!
Penyintas yang berani bercerita tentang kekerasan seksual yang dialaminya itu juga menunjukkan bahwa dia berusaha mempercayai kita. Tidak mudah bagi penyintas untuk mempercayai seseorang. Apalagi dengan kondisi masyarakat yang patriarki dan suka menyalahkan korban. Jadi, pendamping harus bisa menjaga kepercayaan itu dengan cara selalu meminta ijin dan mendapatkan persetujuan dari penyintas untuk melakukan langkah advokasi.
Kalau kita merasa sok jadi jagoan dengan melakukan sesuatu tanpa ijin dan kesepakatan serta tanpa memperhatikan kondisi penyintas, ya apa bedanya kita dengan pelaku kekerasan seksual? Sama-sama nggak consent dong.
Maka dari itu, setiap langkah strategi advokasi yang saya susun selalu atas persetujuan penyintas. Saya berusaha memberikan pertimbangan serta resiko yang akan dihadapi bersama dari strategi advokasi tersebut. Setelah mendengarkan cerita dari penyintas, saya membantu penyintas untuk mengumpulkan bukti-bukti yang berkaitan dengan kasus, lalu menyusun kronologi dengan penyintas.
Ketika bukti dan kronologi awal sudah disusun, langkah berikutnya saya menemui pelaku untuk mengonfirmasi tuduhan kekerasan seksual yang dilakukannya. Waktu itu pelaku mengakui kekerasan seksual yang dilakukannya. Dia juga mengakui kalau melakukan hal itu kepada penyintas tanpa consent. Kemudian, saya dan teman-teman mendiskusikan hasil konfirmasi kepada pelaku, lalu memutuskan untuk memberi pelaku sanksi pemecatan serta penyampaian tuntutan penyintas kepada pelaku. Salah satu tuntutannya adalah mengakui dan meminta maaf ke publik atas kekerasan seksual yang sudah dilakukannya.
Namun, pelaku tidak mau memenuhi tuntutan penyintas. Setelah itu, saya dan teman saya mengantar penyintas ke lembaga profesional untuk mendapatkan bantuan pemulihan dan bantuan hukum. Lalu, kami membentuk tim advokasi bersama. Tujuan advokasi itu adalah untuk memberi sanksi tegas kepada pelaku melalui kampus dan jalur hukum. Tim advokasi juga melakukan pelaporan ke beberapa lembaga seperti Komnas Perempuan serta Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.
Salah satu tujuan advokasi itu berhasil. Pelaku diberi sanksi drop out dari kampus. Namun, tujuan memberi sanksi tegas melalui jalur hukum tidak berhasil. Hal ini dikarenakan penyintas merasa lelah dibuat menunggu dan bergantung kepada pendamping hukum. Pelaporan ke kepolisian lambat dan fokus pendamping hukum terpecah-pecah. Komunikasi terkait pelaporan ke kepolisian juga kurang intens, sehingga berdampak ke kegiatan sehari-hari penyintas. Lalu, penyintas memutuskan untuk berhenti di jalur hukum.
Melihat kondisi penyintas yang tertekan, saya tidak bisa memaksanya untuk tetap melanjutkan advokasi. Saya juga merasa bersalah karena belum bisa memberikan advokasi yang maksimal. Selain itu, ada kendala lain dalam proses advokasi yang saya dan teman-teman lakukan. Beberapa orang yang terlibat dalam tim advokasi itu mempunyai pandangan sendiri bagaimana kasus kekerasan bisa selesai tanpa benar-benar memperhatikan kondisi penyintas. Beberapa kali, ada beberapa orang yang melakukan langkah advokasi tanpa persetujuan penyintas. Kemudian, ketika pandangan mereka tidak diterima penyintas, mereka malah cenderung meragukan dan meyalahkan penyintas.
Hal tersebut membuat saya kaget dan kesal. Kejadian itu menjadikan pelajaran penting bagi saya dan teman-teman bahwa setiap orang yang terlibat dalam advokasi kekerasan seksual harus memiki pandangan yang benar-benar jelas untuk memihak penyintas. Jangan sampai penyintas tambah tertekan dengan tindakan-tindakan tanpa ijin dan persetujuan, ataupun tanpa memperhatikan kondisi penyintas.
Waktu itu, saya merasa bahwa cara untuk memulihkan kondisi penyintas yang tertekan dengan tindakan tanpa persetujuan dari tim advokasi adalah dengan meminta maaf kepada penyintas serta kepada publik. Selain itu, menurut saya, tidak etis ketika di satu sisi kita melawan ‘citra nama baik lembaga’ tapi di sisi lain kita sendiri malah menyembunyikan kesalahan yang kita lakukan kepada penyintas. Saya rasa, mempublikasikan proses advokasi dan permintaan maaf karena tidak memberikan advokasi yang maksimal, bisa menjadi pemicu supaya sebuah organisasi lebih serius lagi dalam menangani kasus kekerasan seksual.
Saya dan teman-teman melakukan banyak evaluasi supaya tidak terjadi kesalahan yang sama dalam advokasi. Kami membuat Standard Operating Procedure (SOP) penanganan kasus kekerasan seksual serta lebih gencar lagi menyuarakan perlawanan terhadap segala bentuk kekerasan seksual. Saya harap, pengalaman saya dan teman-teman bisa menjadi pembelajaran bagi siapapun untuk melakukan pendampingan dan advokasi kasus kekerasan seksual yang terjadi di sekitarnya.
__________
Penulis artikel dan karya jurnalistik, bisa dihubungi di facebook (Wahyu AO), twitter (@wahyu_mnyblkn) dan instagram (@wah_ao).