Permen PPKS: Respons terhadap Fakta Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi

 Permen PPKS: Respons terhadap Fakta Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi

Ilustrasi (Sumber: Jaringan Muda Setara)

 

JAKARTA, JALASTORIA.ID – Halo, sobat JalaStoria! Tahukah kamu bahwa Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) menerbitkan Peraturan Menteri mengenai Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Permen PPKS)?

Permen PPKS yang diundangkan sejak 3 September 2021 ini merupakan payung hukum bagi perlindungan korban kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi. Permen PPKS tidak hanya berlaku untuk perguruan tinggi yang berada di bawah naungan Kemendikbudristek. Permen PPKS juga berlaku untuk seluruh instansi yang menyelenggarakan pendidikan tinggi.

Bella, mahasiswi Universitas Negeri Jakarta menyambut baik Permen PPKS Nomor 30 Tahun 2021 ini. Menurutnya, “Ini merupakan angin segar bagi warga kampus, terutama mahasiswi,” ungkapnya kepada JalaStoria (28/10/2021). Hal ini karena pada umumnya, korban kekerasan seksual di kampus merupakan perempuan.

Terbitnya Permen PPKS merupakan respons konkret Pemerintah terhadap fakta kekerasan seksual di lingkungan kampus. Nah, sebenarnya bagaimana fakta mengenai kekerasan seksual sebelum terbitnya Permen PPKS ini? Berikut ini, JalaStoria merangkum 7 informasi mengenai fakta kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi.

  1. Survei di UNESA (2014)

Pada 2014, Nindhi Meilia Seba Ardi dan M. Tamsil Muis melakukan survei mengenai Perilaku Seksual Remaja Mahasiswa Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Surabaya (FBS UNESA).

Dalam survei tersebut, diungkapkan bahwa 40% dari 304 mahasiswi FBS UNESA pernah mengalami kekerasan seksual. Hal ini berdampak pada segi psikologis mahasiswa tersebut. Selain itu, 32% dari 304 responden mengaku, terjadinya kekerasan seksual berlatar di kampus.

  1. Survei Jaringan Muda Setara (2019)

Jaringan Muda Setara, melakukan survei kekerasan seksual di Samarinda pada 2019. Organisasi akar rumput beranggotakan mahasiswa pemerhati isu kekerasan seksual tersebut mencatat bahwa 54 dari 70 mahasiswi di Samarinda pernah mengalami kekerasan seksual.

Baca Juga: Tak Lagi Sunyi: Kekerasan Seksual di Kampus

  1. Survei #NamaBaikKampus (2019)

Survei #NamaBaikKampus merupakan kolaborasi tiga media jurnalistik yaitu Tirto, Vice Indonesia, dan The Jakarta Post. Survei ini dilakukan pada 13 Februari – 28 Maret 2019.

Berdasarkan survei #NamaBaikKampus, terdapat 179 anggota sivitas akademika dari 79 perguruan tinggi yang tersebar di 29 kota di Indonesia mengaku pernah mengalami kekerasan seksual di kampusnya. Sekitar 88 persen dari total penyintas berasal dari kampus-kampus di Pulau Jawa.

Mayoritas korban merupakan mahasiswa perempuan. Namun juga ada 7 penyintas laki-laki yang bersuara. Sedangkan latar belakang pelaku kekerasan seksual di kampus beragam, mulai dari dosen, mahasiswa, staf, pastor, warga di lokasi KKN, hingga dokter di klinik kampus.

  1. Fakta Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi yang dihimpun Komnas Perempuan 2015-2020

Dalam rilis yang diterbitkan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) (27/10/20), terdapat 27% aduan kasus kekerasan seksual yang terjadi di perguruan tinggi dalam rentang waktu 2015-2020. Adapun seluruh pengaduan yang masuk berjumlah 51 kasus.

Menurut Komnas Perempuan, kasus kekerasan seksual yang tercatat tersebut merupakan puncak gunung es.

Pada umumnya, kasus-kasus kekerasan seksual di lingkungan pendidikan cenderung tidak diadukan/dilaporkan. “Karena korban merasa malu dan tidak tersedianya mekanisme pengaduan, penanganan dan pemulihan korban,” tegas Komnas Perempuan dalam rilisnya.

Sementara itu, Komnas Perempuan juga menyebutkan adanya relasi kuasa antara korban dan pelaku kekerasan seksual. Hal ini ditemukan pada beberapa laporan aduan yang menyebutkan bahwa pelaku merupakan seorang dosen sedangkan korban merupakan mahasiswa. Modus yang dilakukan pelaku adalah mengajak korban untuk keluar kota, serta melakukan pelecehan seksual fisik dan non fisik di tengah bimbingan skripsi yang terjadi, baik di dalam maupun di luar kampus.

  1. Survei Direktorat Jenderal Kemendikbudristek (2020)

Berdasarkan data Pusat Penguatan Karakter (Puspeka) Kemendikbud dalam tercatat bahwa 77% dosen menyatakan kekerasan seksual pernah terjadi di kampus. Namun, 63% dari mereka tidak melaporkan kasus kekerasan seksual tersebut (survei Dirjen Kemendikbudristek: 2020).

Terdapat berbagai faktor yang menyebabkan keengganan korban atau saksi untuk melaporkan kasus kekerasan seksual. Pada umumnya, korban merasa takut dan malu. Selain itu, juga karena belum adanya mekanisme yang jelas mengenai pelaporan, penanganan, pendampingan dan jaminan atas hak-hak korban.

  1. Tuntutan Aksi Aliansi Gerak Perempuan

Pada 10 Februari 2020, Aliansi Gerak Perempuan melakukan aksi diam di depan kantor Kemendikbud. Aksi ini merupakan bentuk solidaritas terhadap kasus kekerasan seksual yang marak terjadi di kampus, khususnya kasus kekerasan seksual yang terjadi pada salah satu mahasiswi di Universitas Negeri Padang. Selain itu, aksi diam tersebut diselenggarakan untuk memperjuangkan tuntutan bersama.

Gerak Perempuan meminta agar Mendikbud Nadiem Makarim memecat dosen terduga pelaku kekerasan seksual di Universitas Negeri Padang. Mereka juga menuntut agar Nadiem merumuskan aturan yang mewajibkan kampus memiliki sistem pencegahan dan penanganan kekerasan seksual.

Tuntutan lainnya adalah agar Kemendikbudristek mendirikan lembaga independen yang khusus menindak kasus kekerasan seksual di kampus.

  1. Riset Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)

YLBHI melakukan riset bersama 17 LBH di Indonesia yang dirilis pada 1 Agustus 2021.

Dalam riset tersebut terdapat sejumlah fakta yang menegaskan bahwa kampus merupakan tempat terjadinya kekerasan seksual. Berdasarkan riset tersebut, Bali menjadi kota dengan jumlah kasus kekerasan seksual terbanyak di perguruan tinggi (43 kasus).

Pelaku kekerasan seksual terbanyak dilakukan oleh dosen, birokrat kampus, atau mahasiswa yang relasinya adalah pertemanan atau mantan pacar korban.

 

Baca Juga: Pelecehan Seksual oleh Kakak Tingkat di UKM

Sedangkan korban, tidak memiliki keberanian untuk melaporkan kasusnya karena terikat dengan relasi kuasa dengan pelaku. Sebanyak 51,4% korban tidak mau memproses kasus kekerasan seksualnya secara hukum karena takut dan berbelit-belit penyelesaiannya.

Selain itu, laporan kekerasan seksual dari korban juga seringkali ditolak aparat karena kekerasan seksual dianggap sebagai perilaku suka sama suka. Terkadang, aparat tidak mau menerima laporan karena tidak adanya visum. Acapkali aparat meminta korban untuk berdamai dan melakukan mediasi. Selain itu, penanganan kasus kekerasan seksual menjadi semakin sulit akibat banyaknya jaksa dan hakim yang tidak mempunyai perspektif korban.

Nah, itulah 7 informasi tentang fakta kekerasan seksual di perguruan tinggi sebelum terbitnya Permen PPKS. Namun, walaupun Permen PPKS telah terbit, perjuangan untuk menghapuskan kekerasan seksual di kampus belum berakhir. “Permen PPKS ini bukanlah sebuah akhir dari perjuangan penghapusan kekerasan seksual di kampus,” jelas Bella kepada JalaStoria.  Menurutnya, pengimplementasian Permen PPKS ini patut dikawal agar pada praktiknya dapat sesuai dengan tujuan pembentukan Permen PPKS itu sendiri. [ANHS]

Digiqole ad