Permenaker JHT Tidak Pro PRT

 Permenaker JHT Tidak Pro PRT

Ida Fauziyah, Menteri Ketenagakerjaan memberi penjelasan mengenai Jaminan Hari Tua (Sumber: Instagram.com/kemnaker)

Oleh: Ernawati

 

Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) belum lama ini menerbitkan aturan terbaru mengenai Jaminan Hari Tua (JHT). Aturan tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat JHT. Permenaker direncanakan berlaku setelah 3 bulan terhitung sejak tanggal diundangkan yaitu mulai 4 Mei 2022.

Isi Permenaker menyatakan bahwa JHT baru bisa dicairkan pada usia 56 tahun. Dengan syarat, hanya bagi peserta yang terdaftar dalam BPJS Ketenagakerjaan yang telah memasuki usia pensiun, meninggal dunia, atau mengalami cacat total tetap. Hal ini tertuang dalam aturan baru yang dirilis Kemenaker, Jumat, 11 Februari 2022.

Aturan baru tersebut mengagetkan. Apalagi bagi para pekerja, khususnya pekerja rumah tangga. Permenaker No. 2 Tahun 2022 ini jelas merupakan bentuk ‘penyelundupan’ hukum yang mencoba mengakali Putusan Mahkamah Konstitusi Tahun 2021 yang berbunyi melarang dikeluarkannya kebijakan strategis yang berdampak luas. Permenaker ini seolah menjadi kepanjangan tangan UU Cipta Kerja khususnya soal Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) dan menjadi opsi karena JHT dibayar pada usia 56 tahun. Sementara PP 37/2021 tentang JKP dalam keadaan beku akibat Putusan MK.

Baca Juga: Bagaimana Nasib RUU PPRT Setelah Perjuangan 17 Tahun?

Permenaker juga bertentangan dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), yaitu Tujuan kedelapan yang menyatakan bahwa SDGs bertujuan “mendorong pertumbuhan ekonomi inklusif dan berkelanjutan, kesempatan kerja produktif serta kerja layak untuk semua”. Kerja layak menjadi bagian komitmen Pemerintah Indonesia untuk menyediakan pekerjaan layak untuk warganya, termasuk pekerjaan domestik yang dikerjakan sekitar lima juta pekerja rumah tangga (PRT).

Sejatinya Pemerintah dalam hal ini Kemenaker yang menjadi bagian pemerintah seharusnya mengeluarkan peraturan yang berpihak kepada masyarakat luas, khususnya PRT. Dan semua peraturan seharusnya terintegrasi dengan UU lainnya seperti UU Sistem Jaminan Sosial Nasional.

UU SJSN hadir untuk memberikan kepastian perlindungan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Melalui program ini, setiap penduduk diharapkan dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak apabila terjadi hal-hal yang dapat mengakibatkan hilang atau berkurangnya pendapatan, karena menderita sakit, mengalami kecelakaan, kehilangan pekerjaan, memasuki usia lanjut, atau pensiun.

Baca Juga: Menaker: PRT Wajib Diikutsertakan dalam Program Jaminan Sosial

Penyelenggaraan jaminan sosial bagi seluruh rakyat, telah diamanatkan dalam Pasal 28H ayat (3) mengenai hak terhadap jaminan sosial dan Pasal 34 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Jaminan sosial juga ada dalam Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak Asasi Manusia Tahun 1948 dan ditegaskan dalam Konvensi ILO Nomor 102 Tahun 1952, yang menganjurkan semua negara untuk memberikan perlindungan minimum kepada setiap tenaga kerja. Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia dalam TAP Nomor X/MPR/2001 menugaskan Presiden untuk membentuk Sistem Jaminan Sosial Nasional dalam rangka memberikan perlindungan sosial yang menyeluruh dan terpadu.

Sebagai unsur dari kerja layak, program jaminan kematian, jaminan kecelakaan kerja, JHT, jaminan pensiun merupakan upaya bagi perlindungan tenaga kerja. Permenaker menjadi tidak relevan bagi pekerja terlebih bagi pekerja informal seperti pekerja rumahan, buruh gendong dan pekerja rumah tangga (PRT).

Konvensi ILO 189 dan Rekomendasi 201 tentang Pekerjaan yang Layak bagi PRT diadopsi oleh Organisasi Perburuhan Internasional (International Labour Organization) pada 2011. Hal ini berarti terdapat pengakuan atas PRT sebagai pekerja yang berhak atas hak-hak dan perlindungan tenaga kerja yang setara dengan semua pekerja lainnya. Konvensi ILO 189 memberikan perlindungan khusus bagi PRT dan menetapkan hak-hak dan prinsip-prinsip dasar perlindungan seperti jam kerja, hak libur dan hak-hak normatif PRT sebagai pekerja. Konvensi ILO 189 juga mengharuskan negara mengambil langkah untuk mewujudkan pekerjaan yang layak bagi PRT.

Bagaimana Nasib PRT?

Data ILO menyebutkan terdapat kurang lebih lima juta PRT di Indonesia. Faktanya PRT telah memberikan kontribusi penting pada berfungsinya rumah tangga dan pasar tenaga kerja di Indonesia. Namun demikian, nilai penting dari peran PRT belum diakui secara nyata. Secara faktual, peminggiran peran PRT dengan belum adanya pengakuan sebagai pekerja, sehingga PRT tidak masuk dalam program perlindungan sosial dan ketenagakerjaan serta jauh dari standar kerja layak.

Bagi PRT serta pekerja informal lain yang tidak masuk dalam sistem pengupahan nasional tentu saja menghadapi risiko pekerjaan dengan lebih berat seperti upah, jam kerja, cuti dan terlebih jaminan pensiun serta Jaminan Hari Tua. Tentu saja perjuangan PRT menjadi berlipat, tuntutan untuk mendapat pengakuan sebagai pekerja dan pemenuhan unsur kerja layak.

Baca Juga: Ditunggu, Jaring Pengaman Sosial bagi PRT

Terbitnya Permenaker No. 2 Tahun 2022 semakin memperburuk situasi PRT. Tidak ada batasan usia bekerja bagi PRT namun kepesertaannya dalam BPJS bukan pada status sebagai pekerja. Empat tipe kepesertaan BPJS Ketenagakerjaann adalah kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan untuk penerima upah, bukan penerima upah, pekerja jasa konstruksi, dan pekerja migran.

Penerima upah adalah orang yang bekerja dengan menerima gaji, upah, atau imbalan dalam bentuk lain dari pemberi kerja. Contoh kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan untuk penerima upah adalah penyelenggara negara atau Aparatur Sipil Negara (ASN) dan karyawan swasta ataupun BUMN.

PRT tidak termasuk dalam empat tipe tersebut. Jadi jelas, baik dalam aturan ketenagakerjaan maupun perlindungan kerja, PRT dikecualikan kalau tidak dapat disebut sebagai dilupakan. Bagi PRT perlindungan kerja membutuhkan kekhususan undang-undang. Situasi kerja terlebih di masa pandemi ini, situasi ekonomi PRT semakin memburuk. Di luar aturan Permenaker No. 2 tahun 2002 tersebut, PRT tetap mendesakkan pengesahan RUU PPRT dan ratifikasi konvensi ILO 189. Semoga pemerintah membuka hati terhadap perjuangan PRT beserta berbagai pihak yang mendukungnya

 

Pegiat di Suluh Perempuan

 

Digiqole ad