Menaker: PRT Wajib Diikutsertakan dalam Program Jaminan Sosial

 Menaker: PRT Wajib Diikutsertakan dalam Program Jaminan Sosial

Tangkapan layar Menteri Ketenagakerjaan RI menyampaikan keynote speech dalam Webinar Gerakan Nasional Kemanusiaan Ibu Bangsa untuk Perlindungan Jaminan Sosial bagi Perempuan Pekerja Rumah Tangga pada Rabu (3/11/2021) (JalaStoria.id)

JAKARTA, JALASTORIA.ID – Sejumlah regulasi di tanah air mengisyaratkan Pekerja Rumah Tangga (PRT) wajib diikutsertakan dalam program jaminan sosial. Antara lain, UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional dan Peraturan Presiden Nomor 109 Tahun 2013 tentang Penahapan Peserta Jaminan Sosial. Demikian pula Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 2 Tahun 2015 tentang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga.

Hal itu disampaikan oleh Ida Fauziyah, Menteri Ketenagakerjaan RI (Menaker) saat menyampaikan keynote speech dalam Webinar bertajuk “Gerakan Nasional Kemanusiaan Ibu Bangsa untuk Perlindungan Jaminan Sosial bagi Perempuan Pekerja Rumah Tangga”. Kegiatan yang diselenggarakan melalui aplikasi rapat virtual Zoom itu diselenggarakan oleh Kongres Wanita Indonesia (Kowani) bekerja sama dengan Institut Sarinah, JALA PRT, JalaStoria, Komnas Perempuan, dan Kosgoro 1957 pada Rabu (3/10/2021).

Kontribusi Perekonomian Nasional

Menurut Menaker, keberadaan PRT sangat penting untuk mendukung membantu urusan rumah tangga dan kebutuhan sehari-hari. “Keberadaan PRT melapangkan dan menopang perempuan lainnya, yaitu perempuan pemberi kerja untuk masuk ke pasar kerja dan bekerja di ruang publik,” jelasnya. Ditambahkannya, kehadiran PRT adalah bentuk konkret dari women support women (perempuan dukung perempuan) dalam perekonomian.

Baca Juga: Pekerja Rumah Tangga: Profesi Sektor Jasa

Menaker menegaskan, selain berkontribusi pada kesejahteraan keluarganya, PRT juga berkontribusi pada perekonomian nasional secara umum. Profesi sebagai PRT menjadi salah satu alterhatif pekerjaan yan banyak menyerap pekerja perempuan, terutama dari kalangan muda, migran, dan masyarakat yang keterampilan dan pendidikan kategori rendah.

Mengutip data ILO 2015, Menaker menyebutkan jumlah PRT di Indonesia diperkirakan 4,2 juta orang, “Yang jumlahnya mungkin saat ini sudah meningkat,” tuturnya. Dari jumlah PRT, diperkirakan lebih banyak didominasi oleh perempuan dengan rasio 292 perempuan PRT untuk setiap 100 PRT laki-laki.

Data yang sama menyebutkan, ILO memperkirakan PRT di seluruh dunia sekitar 67.1juta orang dan 11,5juta orang atau 17,2% di antaranya adalah PRT migran. “Untuk Indonesia sendiri diperkirakan 60-70% dari total 9 juta Pekerja Migran Indonesia adalah perempuan yang bekerja sebagai PRT di luar negeri,” papar Menaker.

Pekerja Informal

Menaker menyebutkan, PRT termasuk salah satu sektor pekerja informal yang berjumlah separuh dari angkatan kerja nasional. Dalam sektor ini, pada umumnya dilakoni oleh perempuan.

Padahal, Menaker mengingatkan, salah satu kelemahan utama dari sektor informal adalah masih lemahnya perlindungan pekerja dari berbagai aspek. Oleh karena itu, pekerjaan sebagai PRT masih penuh dengan kerentanan dan resiko sebagai pekerja.

Wilayah kerja PRT berada di ruang domestik dan privat sehingga sulit dikontrol dan dilakukan pengawasan. Posisi itu juga rentan terhadap diskriminasi.  Antara lain, pelecehan profesi, eskploitasi, dan kekerasan seperti fisik, psikis, dan isolasi.

“Saat ini kita masih menemukan berbagai masalah, seperti jam kerja di atas rata-rata, atau rata-rata lebih lama dari pekerjaan pada umumnya,” tutur Ida. Ia menambahkan, 63% PRT bekerja 7 hari seminggu, jumlah PRT yang tidak memiliki pekerjaan yang jelas atau kontrak kerja, dan kurangnya jaminan sosial dan pelindungan asuransi bagi PRT.

Ida menegaskan, berbagai tantangan dalam upaya mewujudkan perlindungan PRT itu harus terus diperbaiki ke depan.

Regulasi

Menurut Ida, mengingat jasa PRT sangat diperlukan dalam rumah tangga, maka selayaknya profesi PRT tidak dipandang rendah dan hina. “PRT merupakan mitra dan seharusnya medapatkan hubungan kerja yang saling menguntungkan antara tenaga kerja dengan pemberi kerja, dengan memperhatikan hak dan kewajiban,” tegasnya.

Oleh karena itu, Ida mendukung payung hukum berupa regulasi yang kuat untuk mendukung penerapan hal tersebut. Saat ini RUU Perlindungan PRT sudah selesai dibicarakan di Baleg. “Tentu kita berharap akan segera menjadi usul inisiatif DPR dan pastinya pemerintah akan menyambut baik pada saatnya UU ini dibahas bersama dengan pemerintah,” ungkapnya.

Menurut Ida, pengesahan RUU Perlindungan PRT ini akan menjadi arah baru dalam penghapusan kekerasan dan diskriminasi di Indonesia, khususnya terhadap PRT.  Selain itu, RUU ini bertujuan  menciptakan hubungan industrial yang positif tanpa diskriminasi antara PRT dan pemberi kerja. “Sehingga hal yang tidak boleh dilewatkan dalam RUU PRT adalah pentingnya perjanjian kerja antara PRT dan pemberi kerja,” urai Ida. Ketentuan tersebut dimaksudkan untuk menjamin hak dan kewajiban kedua belah pihak dan penegakan kebijakan norma kerja.

Sementara itu, sebagai bentuk kepedulian pemerintah terhadap PRT, pemerintah telah berusaha menerbitkan regulasi yang bertujuan memberikan perlindungan terhadap PRT. Yaitu, melalui penerbitan Peraturan Menteri Nomor 2 Tahun 2015 tentang Perlindungan PRT. Dalam regulasi ini, Pemerintah telah mengatur tentang perjanjian kerja, kewajiban PRT dan pemberi kerja, jam libur, libur seminggu sekali, hak cuti 12 hari per tahun, Tunjangan Hari Raya (THR), jaminan sosial dan kesehatan, kondisi kerja yang layak, dan batas usia minimum PRT.

Selain itu, Permenaker ini juga melakukan pengaturan terhadap lembaga penyalur PRT. Antara lain terkait ijin usaha dan pembinaan serta pengawasan yang menjadi wewenang pemerintahan daerah. “Pemerintah melalui Permenaker ini mengisi kekosongan hukum perlindungan kepada PRT,” tegas Ida.

Sinergi Semua Pihak

Ida menegaskan, Perlindungan PRT tidak akan terwujud tanpa sinergi dari semua pihak. “Perlindungan PRT tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah. Namun, menjadi tanggung jawab kita semua, termasuk tanggung jawab lingkungan di mana PRT tersebut bekerja,” ungkap Ida.

Oleh karena itu, Menaker menyatakan apresiasi atas penyelenggaraan Webinar yang diselenggarakan oleh Kowani ini. Menaker menilai, Kowani menunjukkan konsistensinya secara terus menerus dalam memperjuangkan perlindungan dan peningkatan kesejahteraan bagi PRT yang mayoritas adalah perempuan.

“Acara ini adalah bentuk konkrit solidaritas kita sebagai perempuan untuk mensejahterakan sesama sekaligus untuk menunjukkan perempuan mendukung perempuan,” tegasnya.

Selain itu, Menaker juga mengapresiasi launching perlindungan jaminan sosial ketenagakerjaan (jamsostek) bagi PRT dalam acara ini. Melalui jamsostek bagi PRT, Ida meyakini manfaat yang dapat diperoleh oleh PRT dan pemberi kerja sangatlah besar.

Baca Juga: Ditunggu, Jaring Pengaman Sosial bagi PRT

Ida berharap, aksi konkret melalui acara ini dapat memperluas cakupan jaminan sosial PRT di Indonesia. Selain itu, juga dapat mendorong percepatan regulasi yang memberikan perlindungan dan kesejahteraan pada PRT.

Jamsostek untuk PRT

Sementara itu, Giwo Rubianto Ketua Umum Kowani, dalam sambutannya menyatakan, Gerakan Ibu Bangsa untuk Perlindungan Jamsostek bagi PRT merupakan wujud konkret komitmen organisasi ini dalam memperjuangkan perempuan Indonesia, termasuk PRT. Anggota Kowani adalah Perempuan yang sebagian besar menjadi pemberi kerja dan juga menjadi pekerja. “Maka Kowani concern dan komitmen mengawal RUU PPRT sehingga tercetuslah Gerakan Ibu Bangsa untuk Perlindungan Jaminan Sosial bagi PRT,” jelas Giwo.

Gerakan ini dilakukan melalui sosialisasi dan pemberian jamsostek kepada PRT dimulai dari jajaran pengurus dan anggota organisasi Kowani kepada PRT yang bekerja di rumahnya. Selaini tu, Kowani juga menjadi kantor penggerak jaminan sosial untuk menjangkau para pekerja informal dan PRT.

Baca Juga: Dukungan untuk Perempuan Korban KDRT

Giwo menguraikan, hak untuk bekerja dan memperoleh penghidupan yang layak adalah hak asasi manusia yang harus dihormati dan dijunjung tinggi sebagaimana dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945.  Oleh karena itu, “Perlu ada pihak yang berkewajiban menjamin perlindungan dan pemenuhan hak-haknya, yaitu negara,” tutur Giwo. Sayangnya, menurut Giwo, PRT belum diakomodasi dalam UU Ketenagakerjaan. Wilayah kerjanya yang berada di ruang privat dan domestik menjadikannya luput dari perhatian pemerintah.

RUU PPRT

Oleh karena itu, Giwo mendukung RUU PPRT untuk disahkan. “Pengesahan RUU PPRT mendesak dan menjadi sejarah baru untuk penghapusan kekerasan dan diskriminasi terhadap PRT,” tegasnya.

Menurut Giwo, RUU PPRT mengakomodasi hak dan kewajiban PRT dan pemberi kerja. Ketentuan ini dimaksudkan untuk menjamin hak warga negara atas kerja dan penghidupan yang layak. Selain itu, RUU PPRT juga mengatur ketentuan mengenai pengupahan, jam kerja, batasan usia minimun, dan jaminan sosial.

Berbagai ketentuan dalam RUU PPRT diharapkan mampu menunjang kualitas hidup PRT dan memberi perlindungan bagi pemberi kerja. “UU PPRT mewujudkan gotong royong dan inklusivitas perlindungan terhadap PRT dan sekaligus membangun solidaritas dan gotong royong terhadap PRT,” pungkasnya. [DN]

Digiqole ad