Dukungan untuk Perempuan Korban KDRT

 Dukungan untuk Perempuan Korban KDRT

Ilustrasi (Sumber: Myriams-Fotos/Pixabay.com)

JAKARTA, JALASTORIA.ID – Di balik pandemi Covid-19, terungkap fakta terjadinya peningkatan kasus kekerasan terhadap perempuan. Komnas Perempuan dalam Catahu 2020 yang diterbitkan Maret 2021 mencatat peningkatan pengaduan ke lembaga ini sebanyak 40% dibandingkan tahun sebelumnya. Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) adalah bentuk kekerasan yang paling banyak terjadi. Tak jarang peristiwa KDRT itu kemudian berujung dengan perceraian.

Situasi ini, menurut Diah Pitaloka, Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI, merupakan suatu persoalan yang tidak dapat dikesampingkan di tengah pandemi Covid-19. Apabila persoalan ini dibiarkan, maka akan berdampak luas terhadap hak anak, permasalahan ekonomi keluarga, dan berbagai persoalan sosial lainnya.

Baca Juga: Pengaruh Mental pada Perempuan dan Anak Akibat KDRT 

Hal itu disampaikan Diah dalam talkshow bertajuk “Perlindungan Perempuan dan Anak dalam Keluarga” yang diselenggarakan melalui platform rapat daring Zoom (28/07/2021). Ketua Presidium Kaukus Perempuan Parlemen RI ini juga mengingatkan bahwa tidak mudah bagi korban untuk mencapai keadilan.  Apalagi, ungkap Diah, “Secara kultur, ini dianggap bukan persoalan publik, (hanya) menyangkut ranah keluarga.”

Program dan Kebijakan

Oleh karena itu, menurut Diah, perkembangan situasi di masyarakat khususnya terkait peningkatan kekerasan terhadap perempuan di tengah pandemi perlu disikapi oleh pengambil kebijakan. Hal ini terutama dimaksudkan agar persoalan ini tercakup dalam program yang diperjuangkan oleh pemerintah.

Anggota Badan Legislasi DPR RI ini juga menyatakan, selain fungsi legislasi, DPR RI memiliki fungsi pengawasan dan anggaran. Fungsi pengawasan dan anggaran dapat menjadi ruang bagi masyarakat untuk menyampaikan masukan dan mendorong pembentukan kebijakan pemerintah yang responsif terhadap kebutuhan perempuan korban kekerasan.

Kebijakan yang perlu dibentuk antara lain, menurut Diah, melalui fasilitasi pendampingan perempuan korban kekerasan oleh Kementerian/Lembaga. Selain itu, juga melalui berbagai inisiatif yang dilakukan berbagai pihak, baik di ruang publik dan pemerintahan maupun penegakan hukum di tengah tren kekerasan yang meningkat di tengah pandemi.

Baca Juga: Kebijakan Tetap di Rumah dan KDRT

Demikian pula halnya optimalisasi program perlindungan sosial yang dikelola oleh Kementerian Sosial melalui penyediaan shelter di berbagai Balai Rehabilitasi, dan penyediaan pendampingan psikologis bagi korban. Anggota DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan ini menyatakan, berbagai usulan optimalisasi perlindungan perempuan korban kekerasan itu akan ia sampaikan kepada pihak pemerintah agar dapat direalisasikan.

 Legislasi untuk Perlindungan Perempuan

UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga merupakan salah satu produk legislasi untuk memberikan perlindungan bagi perempuan korban KDRT.  Adapun saat ini, produk legislasi yang masih berproses pembahasannya adalah rancangan undang-undang yang ditujukan khusus untuk melindungi korban kekerasan seksual, yaitu RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.

Menurut Diah, menghadirkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dalam ruang legislasi atau ruang norma diperlukan mengingat kekerasan tidak selalu berupa fisik atau psikis. Selain itu, sekalipun ada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), terdapat sejumlah problematika dalam pelaksanaan KUHP. “Terutama terkait masalah pelecehan (seksual), atau tekanan yang bersifat psikologis bagi perempuan korban kekerasan seksual,” ungkap Diah.  Hal ini sekaligus menunjukkan masih ada tantangan dalam penegakan hukum di Indonesia terkait kekerasan seksual.

Berbagai tantangan itu, menurut Diah, perlu diatasi di tengah proses legislasi yang masih berjalan. Antara lain melalui kebijakan anggaran. “Itu adalah salah satu fungsi yang bisa diisi oleh DPR,” jelas Diah. Melalui dukungan kebijakan anggaran, pemerintah diharapkan  mengoptimalisasikan program untuk mengatasi berbagai tantangan yang dialami korban.

Perlindungan Korban KDRT

Dalam acara yang sama (28/07/2021) Ninik Rahayu, Anggota Ombudsman RI 2016-2021 menjelaskan, korban KDRT berhak atas berbagai layanan untuk perlindungan dan pemulihan korban. Hal ini sebagaimana diatur dalam UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT).  Antara lain, layanan pengaduan, medis, konseling psikologis, bantuan hukum, dan pemberdayaan ekonomi. Layanan lainnya yang juga dibutuhkan oleh perempuan korban KDRT adalah tempat tinggal sementara dan/atau rumah aman,

Namun, sekalipun berbagai layanan itu tersedia, Ninik mengingatkan, tidak mudah bagi perempuan korban untuk berani melapor. Mengapa demikian?  “Kadang-kadang korban dipersalahkan, atau (dinasehati) harus nurut suami, atau (diingatkan) masuk neraka, atau disuruh diam saja,” ungkapnya.

Baca Juga: Melaporkan KDRT

Umumnya, korban sebelum mengakses layanan pengaduan terlebih dahulu bercerita kepada keluarga, tokoh agama, orang yang dipercaya, dan lainnya. Namun sayangnya, orang-orang pertama yang dijumpai korban justru seringkali tampil sebagai pihak yang menyalahkan korban.

Oleh karena itu, menurut Ninik, orang-orang yang potensial menyalahkan korban ini perlu diintervensi melalui satu tahapan pendidikan yang memberikan pengetahuan kepada mereka. “Agar tidak menyalahkan korban, tidak meminta korban untuk menempatkan ini sebagai persoalan tidak penting, dan lainnya,” tegasnya.

Selain itu, menurut purna Komisioner Komnas Perempuan ini, UU menegaskan bahwa masyarakat berkewajiban memberikan pertolongan kepada korban yang mengalami KDRT. Antara lain, dengan tidak mendiamkan jika mendengar atau mengetahui ada tetangga yang sedang mengalami kekerasan. Hal ini sekaligus menegaskan bentuk perlindungan UU PKDRT terhadap korban, di mana KDRT adalah peristiwa pidana yang harus dicegah dan ditangani, bukan sebagai isu privat.

Di sisi lain, ada anggapan di masyarakat bahwa keluarga selalu dianggap norma ideal yaitu tidak mungkin ada kekerasan. Hal ini diakui Ninik merupakan tantangan paling berat untuk diatasi dalam pencegahan dan penanganan KDRT.

Berdasarkan refleksi atas pendampingan korban, diketahui bahwa tidak setiap korban KDRT memilih penyelesaian melalui jalur hukum pidana. “Korban KDRT (justru) lebih banyak bercerai. Lebih banyak yang memilih tidak melaporkan, yang penting berpisah,” jelas Ninik. Dalam hal korban KDRT memilih jalur perceraian, diperlukan dukungan terhadap korban untuk menyelesaikan jalan yang diambilnya.

Dalam acara yang digagas oleh Pelita MICE dan didukung oleh JalaStoria ini, Ninik juga memberikan tanggapan terhadap testimoni yang disampaikan seorang korban KDRT yang sedang memproses perkara perceraian. Menurut Ninik, dalam penanganan KDRT tidak semata terkait norma aturan dalam UU PKDRT. Melainkan ada semangat yang harus dibangun bersama antara keluarga, masyarakat dan penegak hukum untuk memberikan dukungan kepada korban. [MUK]

 

 

 

Digiqole ad