Bagaimana Nasib RUU PPRT Setelah Perjuangan 17 Tahun?

 Bagaimana Nasib RUU PPRT Setelah Perjuangan 17 Tahun?

Ilustrasi (Sumber: Stock.Adobe.com)

JAKARTA, JALASTORIA.ID – Deretan angka 17 tahun bagi Koordinator Jaringan Advokasi Nasional Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT) Lita Anggraini barangkali tak bermakna apa-apa. Ia tak menyalahkan panjangnya waktu untuk mengadvokasi, berkampanye, hingga melobi entah berapa banyak Anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang berganti keluar masuk DPR RI demi Rancangan Undang-Undang yang diharapkan dapat memberikan perlindungan bagi PRT: RUU Perlindungan untuk Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT). Juga usaha yang sama ia lakukan untuk menyatukan semangat para aktivis bersama-sama memperjuangkan RUU yang tak dikehendaki banyak anggota dewan karena dianggap ancaman.

“Hanya karena menuntut hak, kita (PRT) dikuatirkan ngelunjak. Itulah alasan sebenarnya mereka (anggota dewan yang menolak) alergi dengan RUU PPRT,” ujar Lita kepada JalaStoria, Rabu (12/2/2022).

RUU PPRT masih di ujung tanduk. Dalam Rapat Paripurna Pembukaan Masa Persidangan III Tahun 2021-2022 pada Selasa, (11/01/2021) pimpinan rapat tidak menunjukkan tanda-tanda akan mengesahkan RUU PPRT menjadi RUU Inisiatif DPR RI. Adapun RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) terlihat lebih maju dengan adanya dukungan dari presiden dan sebagian besar fraksi di DPR. Sementara RUU PPRT masih terkatung-katung.

 

Hanya Selangkah

Menurut Anggota dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (FPKB) yang juga Anggota Badan Legislasi DPR RI Luluk Nur Hamidah, jalan RUU PPRT sebenarnya tinggal selangkah lagi sebagaimana RUU TPKS. Yakni tinggal menunggu disahkan dalam sidang paripurna sebagai RUU Inisiatif DPR RI untuk selanjutnya dibahas dengan pemerintah.

Baca Juga: Gema RUU TPKS dan RUU PPRT dalam Paripurna DPR

Namun, satu langkah kecil menuju pengesahan tampaknya masih akan sulit untuk RUU PPRT. Alasannya, tak sedikit anggota dewan yang belum ‘selesai’ dalam memahami pekerjaan rumah tangga yang biasa dikerjakan oleh PRT yang sebagian besar berjenis kelamin perempuan.

“Seharusnya perdebatan (tentang penting atau tidaknya RUU PPRT – Red) sudah selesai. Tinggal selangkah masuk Sidpur (Sidang Paripurna – Red). Tetapi prasangka terhadap RUU di kepala anggota dewan [yang menolak] masih lebih banyak ternyata,” ujarnya kepada JalaStoria di Gedung DPR RI, Selasa (11/1/2022).

 

Penghapusan Diskriminasi

Pekerja rumah tangga, menurut Luluk, sangat rentan menjadi korban kekerasan seksual. PRT juga rentan menjadi korban kekerasan berlapis baik seksual maupun berupa eksploitasi ekonomi. Padahal kasus-kasus tentang kekerasan yang dialami PRT sering terjadi dan dekat dengan kehidupan sehari-hari.

“Mereka bisa tetangga, saudara, teman, atau ibu kita. Maka, pandangan merendahkan pekerjaan karena dianggap beda kelas harus dihilangkan. Karena, pekerjaan rumah tangga adalah sebuah pekerjaan, bukan pekerjaan yang tanpa skill,” tegasnya.

Baik Luluk maupun Lita setuju bahwa, pekerjaan rumah tangga bukan sekedar isu sektoral, tetapi merupakan isu kemanusiaan yang harus dihargai. Lita menagih Presiden RI Joko Widodo yang di awal kepemimpinannya berjanji akan melakukan revolusi mental. Menurut Lita, merupakan capaian besar jika Presiden mendorong RUU PPRT disahkan menjadi UU PPRT. “Bias kelas, ras, feodalisme, sikap merendahkan perempuan, merendahkan pekerjaan rumah tangga sebagai pekerjaan perempuan, akan selesai jika RUU PPRT disahkan sebagaimana janji revolusi mental. Presiden harus kita dukung,” ujarnya.

Baca Juga: Melawan Deraan Diskriminasi

Perlakuan Setara

Sikap tidak menghargai orang lain karena pekerjaannya dianggap rendah menurut Ketua Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) Badriyah Fayumi bukan mencerminkan umat Nabi Muhammad. Sejumlah hadist meriwayatkan Nabi Muhammad yang memperlakukan budak sahaya sebagai manusia yang setara dengan majikannya. Bahkan Nabi sering menasehati majikan yang berbuat dzalim kepada budaknya untuk memperlakukan budaknya sebagai saudara.

“Budak dan bangsawan di hadapan Allah sama dan mereka setara. Karena nilai manusia tidak ditentukan status sosial seseorang, melainkan oleh ketakwaannya,” ujar  Badriyah yang juga pemimpin pondok pesantren Raudlotul Ulum Mahasina, Bekasi, dalam webinar yang diselenggarakan Koalisi Sipil untuk Pengesahan RUU PPRT belum lama ini.

Baca Juga: Menaker: PRT Wajib Diikutsertakan dalam Program Jaminan Sosial

Situasi PRT

Perwakilan Persatuan Pekerja Rumah Tangga Indonesia Migran (Pertimig) di Malaysia, Bariyah Iyah dalam kesempatan yang sama mengatakan, pekerja rumah tangga (PRT) migran Indonesia di luar negeri kerap mengalami kekerasan fisik, pelecehan seksual, eksploitasi, hingga gaji tak dibayar. Pada 2021 saja, ada sebanyak 60 kasus pelanggaran yang dialami PRT. Kasus terbanyak adalah gaji tak dibayar yang mencapai 45,1 persen, dan yang kedua eksploitasi sebanyak 31,4 persen.

“Gaji tak dibayar kalau ditotal mencapai Rp 1 miliar. Dan mayoritas mereka bekerja 5-16 tahun” kata Iyah dalam paparannya.

Apalagi selama pandemi, PRT kerap mengalami kekerasan dan eksploitasi oleh majikannya karena majikan dan keluarga tinggal di rumah selama 24 jam. “Namun, PRT tak berdaya karena tak ada perlindungan hukum yang mengatur secara jelas dan tegas,” pungkasnya.[]

 

Kustiah

Digiqole ad