Dikawin Dulu, Jadi Budak Kemudian
MA, adalah seorang perempuan (29) asal Kab. Landak, Kalimantan Barat. Ia adalah korban perdagangan orang dengan modus perkawinan dengan warga Tiongkok. Ia sendiri tidak mengetahui jika perkawinan yang dijanjikan itu membuatnya tereksploitasi. Ia hanya berkeinginan untuk memperbaiki nasib.
Kandas dalam perkawinan pertama karena suami gemar mabuk dan memukul, membuatnya berpikir keras untuk menghidupi dirinya dan 2 orang anaknya yang sedang bersekolah di kelas 2 SD dan 5 SD. Janda dengan dua anak itu bersedia menerima tawaran kawin dengan warga Tiongkok, karena makcomblang yang juga sepupu jauhnya, mengatakan calon suaminya itu anak pebisnis, anak satu-satunya, orang kaya, bisa kirim uang tiap bulan untuk kebutuhan hidup dan sekolah anaknya, dan tiap 3 bulan bisa pulang ke kampung halamannya. Apalagi yang dapat membahagiakan?
Tawaran kawin itu berbalas imbalan dari si makcomblang berupa uang untuknya sebesar 20juta, yang dikurangi 5juta untuk jatah makcomblang itu. Jadi, pada akhirnya ia hanya menerima 15juta. Di tengah himpitan ekonomi dan keinginan untuk membahagiakan kedua anaknya, uang sebesar itu tentu saja sangat bernilai baginya.
Keberangkatannya ke Tiongkok pun difasilitasi oleh keluarga calon suaminya. Calon mertua membelikannya tiket pesawat satu kali perjalanan untuknya, dan tiket pulang pergi untuk bapaknya yang menemaninya berangkat ke negeri tirai bambu itu. Ia kemudian tinggal bersama suami dan mertuanya yang berdomisili di Changzhou Hebei, di pinggiran Beijing Bapaknya yang menjadi wali perkawinannya menemaninya selama kurang lebih satu bulan. Semua kebutuhan terpenuhi, dijamu dengan mewah. Sampai akhirnya bapaknya pun pamit kembali ke kampung halaman.
Surga yang dijanjikan makcomblang, perlahan-lahan mulai terkuak aslinya, jauh panggang dari api. Jangankan uang bulanan yang dikirimkan ke kampung untuk menutupi kebutuhan anaknya, untuk kebutuhan hidupnya sendiri saja susah. Tiap hari sarapannya adalah bubur nasi jagung yang airnya luber. Tapi mau apalagi daripada kelaparan.
Mertua MA menyuruhnya bekerja di pabrik kaca. Setiap hari ia berangkat jam 6. Ia bekerja mulai jam 7, dan pulang pada jam 6 sore. Sesampai di rumah, ia kembali harus bekerja membuat kerajinan tangan hingga jam 9 malam. Di Tiongkok, pada umumnya setiap rumah adalah home industry, yang mempekerjakan pegawai sebagai pekerja rumahan.
Teman sepabriknya mengatakan besaran gaji dari pabrik sebesar 1 juta/bulan, dan gaji dari kerajinan sebesar 75 ribu perkeranjang. Tapi yang menerima gajinya itu mertuanya.
MA merasakan capek badan dan capek pikiran, karenanya ia sering menolak melayani kebutuhan seksual suaminya. Persoalan ini mengakibatkan dirinya dalam jurang neraka baru. Ia kerap mengalami kekerasan lagi. Ia ditendang, dipukul, dijambak dan juga mengalami berbagai kekerasan verbal.
Ia juga akhirnya mengetahui bahwa mertuanya merogoh kocek sampai 400juta untuk mendapatkan calon menantu dari Indonesia. Mertua tersebut mentransfer uang itu ke agen/sindikat. Agen lalu mentransfer ke makcomblang lapangan sebanyak 20juta,Hitung-hitung, berapa keuntungan yang diperoleh agen/sindikat? Sungguh fantastis: 380juta.
Suaminya ternyata bukan orang kaya, oleh karena itulah suaminya mengawini orang Indonesia. Untuk kawin dengan perempuan lokal Tiongkok itu mahalnya selangit. Dibutuhkan biaya setidaknya sampai 2Milyar. Mahalnya biaya perkawinan di Tiongkok nyatanya tidak membuat para orangtua surut untuk memfasilitasi anaknya menikah, sampai mencarikan pengantin dari nonTiongkok.
Mungkin betul modal jadi suami mencapai 400 juta, tapi kadang ia tidak percaya karena toilet di rumahnya saja masih natural sekali, berupa kubangan yang di atasnya ditutupi dengan tembok batu bata yang dilubangi. Lubangnya seluas bokong orang dewasa, tanpa ceruk penghalang sebagai ruang air antara septitank dan closet seperti di kampungnya. Toilet seperti ini baunya menyeruak bebas kemana-mana. Pada saat musim salju memang tidak tercium, tetapi pada saat musim panas, bisa sampai jauh ke hidung orang yang tidur di bale kayu yang tinggi dengan kasur yang tipis.
Untuk membersihkan diri setelah buang air besar, MA merasa tidak nyaman karena harus menggunakan tissue. Di kampungnya, sebagaimana di Indonesia pada umumnya, MA terbiasa menggunakan air. Di kampung suaminya ini, membawa air untuk membasuh setelah buang air besar malah ditertawakan. Walaupun akhirnya MA menjadi mafhum, dari toilet seperti itulah ladang padi dan jagung di Tiongkok tumbuh subur.
Tak terasa ia sudah melewati 4 musim, dingin, salju, semi dan panas. Hampir setahun sudah ia menjalani kehidupannya di sebagai istri dari suaminya dan sekaligus pekerja tak dibayar di rumah mertuanya. Ia merasa tidak tahan lagi dengan eksploitasi dan kekerasan yang dialaminya. Ia pun kabur ke polisi dan meminta tolong untuk disambungkan kepada Serikat Buruh Migran Indonesia di Mempawah, Kalimantan Barat. MA akhirnya mendapatkan pertolongan dari SBMI untuk kembali ke tanah air.
MA berharap, jangan ada lagi orang yang mengalami seperti apa yang dialaminya. Trend kawin dengan orang Tiongkok sudah membudaya di Kalimantan terutama di Singkawang. Harus ada langkah untuk menghentikannya.
Bobi Alwy
Sekretaris Jenderal Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI)
Cerita ini disampaikan oleh penulis melalui akun facebooknya, dan dituliskan kembali untuk JalaStoria.id.
1 Comment
[…] Saudara Irma Yth, Maraknya kasus human trafficking melalui modus pengantin pesanan yang marak terjadi di Kalimantan Barat memang sangat memprihatinkan. JalaStoria pernah mengangkat tulisan mengenai persoalan ini khususnya pengalaman korban yang menjadi korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dengan modus pengantin pesanan. (silakan melihat tulisan kami Dikawin Dulu, Jadi Budak Kemudian). […]
Comments are closed.