Menjaga Estu dalam Hidup Perempuan Pembela HAM
Oleh: Siti Aminah Tardi
Jumat tanggal 17 April 2020, gerakan perempuan di Indonesia kehilangan salah seorang penggiatnya. Estu Rakhmi Fanani berpulang karena sakit sindrom mielodisplasia yang dideritanya sejak tahun lalu. JalaStoria menuliskan sosok Estu sebagai penggiat di berbagai organisasi yang memperjuangkan hak-hak perempuan. Pernah bergabung diantaranya di LBH APIK Jakarta, JALA PRT, CEDAW Working Group Indonesia, Kalyanamitra, dan YAPESDI, organisasi nirlaba yang bergerak pada advokasi dan pemberdayaan remaja dan dewasa muda yang hidup dengan Sindroma Down. Ia juga berada di balik penyusunan dan penyempurnaan draf RUU Penghapusan Kekerasan Seksual sebelum menjadi inisiatif DPR RI.
Dalam berbagai obituari yang dituliskan para sahabatnya, ia disebut dengan Perempuan Pembela HAM (PPH) atau Women Human Rights Defender merujuk kepada aktivitasnya dalam memperjuangkan hak asasi perempuan. Secara personal, ia dikenal dengan sifat pendiam, pendengar yang baik, pendamai, dan kukuh pada keyakinan perjuangannya. Ini sejalan dengan namanya, Estu yang dalam Bahasa Jawa artinya adalah sungguh; benar-benar. Dari kepulangannya, kita menemui dua kata kunci yaitu Perempuan Pembela Hak Asasi Manusia (HAM) dan Estu sendiri.
Perempuan Pembela HAM
Perempuan Pembela HAM jika merujuk pada Buku Panduan Pembela HAM yang diterbitkan oleh Proteksi Indonesia diartikan sebagai perempuan dan pembela hak asasi manusia lainnya yang bekerja membela hak-hak perempuan untuk memperoleh kesetaraan dan keadilan, termasuk dengan melakukan pendampingan bagi perempuan korban kekerasan.
Kehadiran Perempuan Pembela HAM menjadi sangat penting untuk mendorong pemenuhan HAM, khususnya hak asasi perempuan dan negara hukum yang demokratis. Terdapat lima hal pentingnya Perempuan Pembela HAM di negara kita, yaitu untuk: (1) Mempromosikan dan melindungi HAM dalam konteks berbagai tantangan pembangunan. (2) Menarik perhatian publik, pejabat publik, politikus, dan penegak hukum, agar pelanggaran HAM ditangani. (3) Menginvestigasi dan melaporkan pelanggaran HAM. (4) Melobbi negara untuk mengimplementasikan kewajiban HAM internasional. (5) Memberikan pendidikan hak asasi manusia untuk kaum awam.
Banyak Pembela HAM berada di sekitar kita, yang bekerja sendiri, bersama komunitas, atau sebagai profesional yang memperjuangkan hak-haknya. Misal Almarhum Munir, Salim Kancil, Kartini Kendeng, dan termasuk Estu sendiri. Sedangkan sebagai organisasi pembela HAM, lembaga-lembaga dimana Estu pernah mengabdi adalah organisasi yang mempromosikan dan memperjuangkan hak asasi manusia, khususnya hak perempuan, anak dan penyandang disabilitas.
Untuk disebut sebagai pembela HAM, terdapat empat kriteria yaitu: (1) Berani berjuang secara individu maupun kelompok. (2) Berperspektif HAM, yakni menghormati HAM di manapun dan tidak membeda-bedakan satu rumpun hak dengan rumpun hak lainnya. (3) Bertindak dan beraktivitas untuk mempromosikan atau melindungi hak asasi manusia. (4) Bekerja dalam damai dan tidak dibenarkan menggunakan tindakan kekerasan dalam aksinya.
Obituari yang mengakui bahwa Estu adalah Perempuan Pembela HAM tidak dapat dilepaskan dari empat kriteria tersebut. Di mana sejak tahun 1990an, walau berlatarbelakang Pendidikan Ilmu Perikanan dan Kelautan, ia bekerja di organisasi bantuan hukum, LBH Apik Jakarta, untuk memberikan bantuan hukum kepada korban kekerasan, dan mendorong perubahan kebijakan yang ramah terhadap perempuan. Berlanjut dengan terus menebar benih-benih kesadaran HAM sekaligus memperkuat persaudarian di kalangan penggiat HAM.
Dengan demikian semua orang dapat menjadi pembela HAM dengan berbagai latarbelakang pendidikan dan status sosial, seperti advokat, buruh, petani, mahasiswa, paralegal, aktivis perempuan, dan lain-lain. Perempuan Pembela HAM bukanlah pekerjaan, tidak terdapat istilah ini dalam kolom Kartu Tanda Penduduk atau administrasi kependudukan lainnya. Masyarakat mengenal seseorang sebagai Perempuan Pembela HAM karena aktivitas perjuangannya dan konsistensinya dalam memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan. Dan Estu sudah menunjukkan keestuannya.
Menjaga Estu dalam Hidup Perempuan Pembela HAM
Lantas, apa yang dapat ditarik dari kepulangan Estu sebagai Perempuan Pembela HAM? Dari aktivitasnya, kita mengetahui bahwa ia terlibat dalam membangun kesadaran untuk pemenuhan hak kelompok rentan, dalam hal ini perempuan dan penyandang disabilitas mental. Ia juga memberikan pendampingan kepada korban kekerasan dan mendorong perubahan kebijakan yang adil terhadap perempuan. Seingat penulis terdapat dua agenda besar terkait perubahan kebijakan yang terus diperjuangkan, yaitu Amandemen UU Perkawinan yang berkeadilan, dan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.
Agenda-agenda tersebut bukanlah perkara mudah karena terkait dengan sistem masyarakat patriarkis yang tentu tidak menginginkan kehilangan privilegenya. Akan ada potensi ancaman atau serangan terhadap Perempuan Pembela HAM yang terus memperjuangkannya. Hasil pendokumentasian Komnas Perempuan pada 2007 telah menemukan bahwa Perempuan Pembela HAM memiliki 19 bentuk kerentanan. Di mana terdapat 9 kerentanan yang dialami oleh laki-laki dan juga Perempuan Pembela HAM, namun ada 10 bentuk hanya khusus dialami oleh Perempuan Pembela HAM. Yaitu serangan terhadap tubuh dan seksualitas perempuan dan atas dasar stereotipe dan/atau atas dasar peran gendernya. Termasuk serangan dari pelaku dan keluarga pelaku terhadap individu Perempuan Pembela HAM atau organisasinya.
Menurut penulis menjadi kewajiban bagi semua Perempuan Pembela HAM di Indonesia untuk menjaga Estu dalam hidupnya. Yaitu bekerja secara estu, sesungguh-sungguhnya, dengan mempertimbangkan dan mengelola resiko pilihan hidup sebagai Perempuan Pembela HAM. Bekerja secara estu adalah cara terbaik menghormati dan mengenang Estu Fanani.[]
Penulis adalah Komisioner Komnas Perempuan 2020-2024
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mewakili pendapat lembaga