Selaput Dara dan Dampak Kekerasan Seksual pada Anak

Oleh: Siti Aminah Tardi
Dampak kekerasan seksual yang dialami oleh anak tidak hanya dipengaruhi oleh robek atau tidaknya hymen miliknya tetapi lebih kepada serangan atas tubuhnya.
“Bu…, Alhamdulillah, tidak robek. Ananda masih suci, dan yang paling berharga: masih utuh!”
Seorang ibu dari salah satu korban kekerasan seksual memelukku erat-erat. Ia semringah setelah membaca hasil visum et repertum yang menyatakan tidak adanya kerobekan di hymen putrinya. Putrinya adalah salah seorang dari tiga korban kekerasan seksual yang dilakukan seorang kakek yang juga merupakan tetangga mereka sendiri.
Kegembiraan ibu itu dapat dipahami karena masyarakat yang kadung menganut nilai patriarkhis menganggap keperawanan seorang perempuan adalah memiliki hymen atau selaput dara yang tidak rusak atau masih utuh. Adapun selaput dara yang tidak utuh atau robek diartikan perempuan itu sudah pernah melakukan hubungan seksual.
Hal ini kemudian dikaitkan dengan moralitas perempuan. Perempuan yang memiliki selaput dara utuh dinilai lebih bermoral dibandingkan dengan yang sudah robek atau rusak. Alasannya karena perempuan berselaput dara utuh, tingkat keberterimaan dari pasangannya akan lebih tinggi tinimbang perempuan dengan selaput dara yang sudah robek atau rusak.
Padahal sesungguhnya, banyak faktor yang menyebabkan selaput dara menjadi rusak. Di antaranya karena berolahraga, penggunaan tampon, atau kecelakaan.
Kuatnya pemahaman bahwa selaput dara yang robek semata karena telah melakukan hubungan seksual, mempengaruhi pula pandangan hukum dalam menilai kasus-kasus kekerasan seksual seperti, perkosaan dan pencabulan.
Untuk tindak pidana perkosaan, yang secara singkat diartikan sebagai “persetubuhan dengan paksaan atau ancaman kekerasan”, visum dilakukan untuk membuktikan adanya persetubuhan.
Menurut Arrest Hooge Raad 5 Pebruari 1912 (W.9292) yang masih dipakai sampai saat ini, persetubuhan diartikan sebagai: “Tindakan memasukkan kemaluan laki-laki ke dalam kemaluan perempuan yang pada umumnya menimbulkan kehamilan, dengan kata lain bilamana kemaluan itu mengeluarkan air mani di dalam kemaluan perempuan”.
Dari pengertian persetubuhan tersebut, maka perkosaan hanya diartikan penetrasi dengan penis. Adapun penetrasi dengan jari atau alat lainnya bukanlah dinilai sebagai perkosaan, namun dikategorikan sebagai pencabulan.
Seperti ilustrasi kasus di atas. Pelaku melakukan penetrasi dengan menggunakan jarinya kepada anak-anak, atau dengan penis ke arah vagina, namun tidak dimasukkan secara utuh, yang kemudian menyebabkan hymen para korban tidak mengalami robekan/luka.
Masih utuhnya hymen korban, menjadikan keluarga/masyarakat menilai tidak ada kekerasan seksual yang ‘berarti’ yang menimpa anak-anaknya. Walaupun perbuatan pelaku melanggar Pasal 76E UU 35/2014 tentang Perlindungan Anak. yaitu melakukan perbuatan cabul, dengan ancaman pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp 5 miliar.
Sehingga tidak jarang, keluarga korban memilih tidak melanjutkannya ke proses hukum dan menganggapnya tidak pernah terjadi.
Dampak Kekerasan Seksual pada Anak
Walaupun secara fisik, hymen korban masih utuh, korban pencabulan tetap mengalami dampak fisik dan psikis. Luka-luka fisik karena kekerasan seksual seringkali tersembunyi karena organ-organ kelamin berada dalam bagian yang tertutup. Dan biasanya, korban menyembunyikannya karena takut terhadap pelaku, takut dimarahi, malu dan memilih menderita seorang sendiri.
Dampak fisik, yang kemudian dapat menjadi indikasi anak mengalami kekerasan seksual misalnya, penurunan berat badan, gangguan tidur, sakit kepala, tidak nyaman di sekitar vagina atau alat kelamin, menangis jika BAB atau BAK, tertular penyakit menular seksual, pendarahan sampai kehamilan yang tidak diinginkan.
Adapun dampak psikis yang terjadi pada anak memang tidak seperti dampak pada orang dewasa. Anak yang masih mempunyai keterbatasan pengetahuan seputar seksual tidak mengerti dengan apa yang sedang atau telah dialami bahkan tidak tahu bahwa dirinya menjadi korban kekerasan seksual.
Dampak secara psikis ini dapat dengan mudah diketahui dan dipahami oleh orang-orang yang dekat dengan anak. Sebab anak akan menunjukan sikap yang tidak lazim, seperti kehilangan atau penurunan nafsu makan, tidak bersemangat hingga tidak mau sekolah, sering murung, menutup diri, takut dengan orang-orang baru hingga trauma dengan suatu benda atau tempat yang berhubungan dengan kejadian kekerasan seksual yang telah dialami.
Penanganan yang tidak tepat pada pengalaman buruk tersebut dapat menyebabkan pelbagai jenis gangguan yang dirasakan anak ketika mereka mulai tumbuh menjadi remaja/dewasa dan sudah memahami seksualitasnya.
Pengalaman masa kecilnya itu dapat menyebabkan gangguan seksual, kehilangan rasa percaya diri dan gangguan dalam membangun relasi dengan pasangan. Dengan demikian, dampak kekerasan seksual yang dialami oleh anak tidak hanya dipengaruhi oleh robek atau tidaknya hymen miliknya tetapi lebih kepada serangan atas tubuhnya.
Ketika ibu tadi bermaksud mencabut laporan, aku pun melempar tanya: “Apa yang akan ibu jawab ketika Ananda besar nanti dan menanyakan: mengapa ibu mencabut laporan ke kepolisian? Dan mengapa ibu tidak memperjuangkan keadilan untuknya?”
Setelah melalui proses dialog yang panjang, ibu itu akhirnya memilih tetap melanjutkan penyelesaian hukum atas kasus yang dialami putrinya. “Saya tidak memiliki jawaban jika ia bertanya itu. Nanti jangan-jangan saya disalahkan. Apa yang sudah kita mulai, kita selesaikan saja bu!” ujarnya.
Ya. Ini masalah keadilan, bukan masalah selaput dara.[]
Advokat Publik
