UU Adminduk dan Hak Anak atas Identitas

 UU Adminduk dan Hak Anak atas Identitas

(Ilustrasi: JalaStoria.id)

Oleh: Dian Puspitasari

 

Anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Setiap anak berhak mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik dan mental maupun sosial.

Oleh karenanya, perlu dilakukan upaya perlindungan bagi anak dengan memberikan jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya serta menjamin perlakuan tanpa diskriminasi. Begitulah landasan filosofis undang-undang perlindungan Anak. Anak yang dilahirkan berhak atas identitas, tanpa dikaitkan dengan status perkawinan orangtuanya.

Hal ini ditegaskan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada tahun 2010 melalui Putusan Nomor 46/PUU-VIII/2010 terhadap permohonan pengujian terhadap Pasal 43 UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang diajukan oleh Hj. Aisyah Mochtar alias Machica binti H. Mochtar Ibrahim.

Putusan MK

Terdapat dua hal dalam putusan yang dikabulkan oleh Mahkamah konstitusi yaitu:
1. Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan, yang menyatakan “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya;
2. Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan yang menyatakan, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”, tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya, sehingga ayat tersebut harus dibaca, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”.

MK dalam pertimbangannya menekankan pentingnya pemenuhan hak anak. Hal ini didasari pada hak anak untuk mendapatkan identitas diri dan status kewarganegaraan serta hak anak untuk mengetahui orang tuanya, yaitu ayah dan ibu kandungnya. Menurut MK, hubungan anak dengan seorang laki-laki sebagai bapak tidak semata-mata karena adanya ikatan perkawinan, akan tetapi dapat juga didasarkan pada pembuktian adanya hubungan darah antara anak dengan laki-laki tersebut sebagai bapak. Bahwa terlepas dari soal prosedur/administrasi perkawinannya, anak yang dilahirkan harus mendapatkan perlindungan hukum.

Jika tidak demikian, maka yang dirugikan adalah anak yang dilahirkan di luar perkawinan, padahal anak tersebut tidak berdosa karena kelahirannya di luar kehendaknya. Anak yang dilahirkan tanpa memiliki kejelasan status ayah seringkali mendapatkan perlakuan yang tidak adil dan stigma di tengah-tengah masyarakat. Hukum harus memberi perlindungan dan kepastian hukum yang adil terhadap status seorang anak yang dilahirkan dan hak-hak yang ada padanya, termasuk terhadap anak yang dilahirkan meskipun keabsahan perkawinannya masih dipersengketakan.

Dalam pertimbangannya, MK menyatakan sebagai berikut: “[3.13] Menimbang bahwa pokok permasalahan hukum mengenai anak yang dilahirkan di luar perkawinan adalah mengenai makna hukum (legal meaning) frasa “yang dilahirkan di luar perkawinan”. Untuk memperoleh jawaban dalam perspektif yang lebih luas perlu dijawab pula permasalahan terkait, yaitu permasalahan tentang sahnya anak. Secara alamiah, tidaklah mungkin seorang perempuan hamil tanpa terjadinya pertemuan antara ovum dan spermatozoa baik melalui hubungan seksual (coitus) maupun melalui cara lain berdasarkan perkembangan teknologi yang menyebabkan terjadinya pembuahan. Oleh karena itu, tidak tepat dan tidak adil manakala hukum menetapkan bahwa anak yang lahir dari suatu kehamilan karena hubungan seksual di luar perkawinan hanya memiliki hubungan dengan perempuan tersebut sebagai ibunya. Adalah tidak tepat dan tidak adil pula jika hukum membebaskan laki-laki yang melakukan hubungan seksual yang menyebabkan terjadinya kehamilan dan kelahiran anak tersebut dari tanggung jawabnya sebagai seorang bapak dan bersamaan dengan itu hukum meniadakan hak-hak anak terhadap lelaki tersebut sebagai bapaknya. Lebih-lebih manakala berdasarkan perkembangan teknologi yang ada memungkinkan dapat dibuktikan bahwa seorang anak itu merupakan anak dari laki-laki tertentu. Akibat hukum dari peristiwa hukum kelahiran karena kehamilan, yang didahului dengan hubungan seksual antara seorang perempuan dengan seorang laki-laki, adalah hubungan hukum yang di dalamnya terdapat hak dan kewajiban secara bertimbal balik, yang subjek hukumnya meliputi anak, ibu, dan bapak.”

Putusan MK dan UU Adminduk

Putusan MK bersifat final dan mengikat. Sebagaimana dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 10 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, “Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final, yakni putusan Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Sifat final dalam putusan Mahkamah Konstitusi dalam Undang-Undang ini mencakup pula kekuatan hukum mengikat (final and binding)”.

Sekalipun bersifat final dan mengikat, putusan MK ini tidak nampak sebagai landasan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (selanjutnya disebut Adminduk). Perubahan dalam Pasal 49 dan Pasal 50 tentang pengakuan dan pengesahan anak hanya menjelaskan dan mempertegas frasa “di luar perkawinan yang sah” menjadi perkawinan sah menurut hukum agama tetapi belum sah menurut hukum Negara, seperti perkawinan yang dilakukan secara siri atau perkawinan yang dilakukan secara gereja. UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Adminduk mengatur sebagai berikut:

Pasal 49
(1) Pengakuan anak wajib dilaporkan oleh orang tua pada Instansi Pelaksana paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal Surat Pengakuan Anak oleh ayah dan disetujui oleh ibu dari anak yang bersangkutan.
(2) Kewajiban melaporkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan bagi orang tua yang agamanya tidak membenarkan pengakuan anak yang lahir di luar hubungan perkawinan yang sah.

Sementara pengangkatan anak diatur dalam Pasal 50 yang menyatakan sebagai berikut:
Pasal 50
(1) Setiap pengesahan anak wajib dilaporkan oleh orang tua kepada Instansi Pelaksana paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak ayah dan ibu dari anak yang bersangkutan melakukan perkawinan dan mendapatkan akta perkawinan.
(2) Kewajiban melaporkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan bagi orang tua yang agamanya tidak membenarkan pengesahan anak yang lahir diluar hubungan perkawinan yang sah.

Dalam penjelasan disebutkan bahwa “pengakuan anak” adalah pengakuan seorang ayah terhadap anaknya yang lahir di luar ikatan perkawinan sah atas persetujuan ibu kandung anak tersebut. Sementara yang dimaksud dengan “pengesahan anak” adalah pengesahan status seorang anak yang lahir di luar ikatan perkawinan sah pada saat pencatatan perkawinan kedua orang tua anak tersebut. UU ini tidak menjelaskan frasa “anak yang lahir di luar ikatan perkawinan yang sah” sehingga dalam pelaksanaannya dapat menimbulkan kebingungan dan multitafsir.

Sementara itu, perkawinan dianggap sah bagi seseorang apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 UU Perkawinan. Ketentuan itu kemudian diubah melalui UU Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan, di mana bunyi Pasal 49 dan Pasal 50 menjadi sebagai berikut:

Pasal 49
(1) Pengakuan anak wajib dilaporkan oleh orang tua pada Instansi Pelaksana paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal surat pengakuan anak oleh ayah dan disetujui oleh ibu dari anak yang bersangkutan.
(2) Pengakuan anak hanya berlaku bagi anak yang orang tuanya telah melaksanakan perkawinan sah menurut hukum agama, tetapi belum sah menurut hukum negara. (3) Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pejabat Pencatatan Sipil mencatat pada register akta pengakuan anak dan menerbitkan kutipan akta pengakuan anak.

Pasal 50
(1) Setiap pengesahan anak wajib dilaporkan oleh orang tua kepada Instansi Pelaksana paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak ayah dan ibu dari anak yang bersangkutan melakukan perkawinan dan mendapatkan akta perkawinan.
(2) Pengesahan anak hanya berlaku bagi anak yang orang tuanya telah melaksanakan perkawinan sah menurut hukum agama dan hukum negara.
(3) Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pejabat Pencatatan Sipil mencatat pada register akta pengesahan anak dan menerbitkan kutipan akta pengesahan anak.

Dengan demikian, menurut UU ini yang dimaksud dengan anak yang lahir di luar ikatan perkawinan yang sah adalah anak yang lahir dalam perkawinan tetapi karena satu dan lain hal perkawinan itu dianggap tidak sah. Jika demikian pengakuan anak dan pengesahan anak tetap menuntut terjadinya perkawinan.

Dalam peraturan pelaksana yang tertuang dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 96 Tahun 2018 Tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil Pasal 49 menyatakan pencatatan pengakuan anak dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia harus memenuhi persyaratan:
a. surat pernyataan pengakuan anak dari ayah biologis yang disetujui oleh ibu kandung atau penetapan pengadilan mengenai pengakuan anak jika ibu kandung Orang Asing;
b. surat keterangan telah terjadinya perkawinan dari pemuka agama atau penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa;
c. kutipan akta kelahiran anak;
d. KK ayah atau ibu;
e. KTP-el; atau
f. Dokumen Perjalanan bagi ibu kandung Orang Asing.

Sementara untuk pencatatan pengesahan anak bagi Penduduk WNI di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia harus memenuhi persyaratan:
a. kutipan akta kelahiran;
b. kutipan akta perkawinan yang menerangkan terjadinya peristiwa perkawinan agama atau kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa terjadi sebelum kelahiran anak;
c. KK orang tua; dan
d. KTP-el.

Masih adanya ruang kosong untuk melindungi hak atas identitas anak yang dilahirkan di luar perkawinan seharusnya disikapi Pemerintah dengan mengakomodasi Putusan Mahkamah Konstitusi dalam revisi UU Administrasi Kependudukan. Hal ini semata-mata ditujukan untuk memberikan perlindungan bagi semua anak terlepas dari status perkawinan kedua orang tuanya. Hal itu juga merupakan penjabaran dari amanah konstitusi karena UUD 1945 Pasal 28D ayat (1) menjamin hak setiap orang atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.”[]

Mahasiswa Magister Hukum Universitas Semarang, Direktur LRC-KJHAM Semarang tahun 2016 – 2018

===
*Artikel ini adalah bagian kedua dari tulisan Dilema Korban Kekerasan Seksual dan Status Anak yang Dilahirkan

Digiqole ad