Dilema Korban Kekerasan Seksual dan Status Anak yang Dilahirkan
Oleh: Dian Puspitasari
Salah satu persoalan yang dihadapi oleh korban kekerasan seksual yang mengalami kehamilan adalah status anak dan pengurusan dokumen kependudukan anak yang dilahirkan di luar perkawinan. Dalam UU Administrasi Kependudukan khususnya Pasal 1 angka 8 disebutkan, Dokumen kependudukan adalah dokumen resmi yang diterbitkan oleh Instansi Pelaksana yang mempunyai kekuatan hukum sebagai alat bukti autentik yang dihasilkan dari pelayanan Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil.
Komnas Perempuan mencatat pada tahun 2016 terjadi 5.785 kasus kekerasan seksual terhadap perempuan. Jika 1/3 dari korban tersebut hamil dan meneruskan kehamilannya, maka ada sekitar 2 ribu anak setiap tahun yang lahir di luar perkawinan. Hal itu dikuatkan dengan data pendampingan Legal Resources Center untuk Keadilan Jender dan Hak Asasi Manusia (LRC-KJHAM) yang pada tahun 2018 menerima 28 pengaduan dari korban kekerasan seksual dan 16 korban di antaranya mengalami kehamilan.
Bertanggung jawab tanpa harus menikah
Pengalaman LRC-KJHAM menunjukkan, terdapat korban kekerasan seksual yang menginginkan anak yang dilahirkan mendapatkan dokumen yang sama dengan anak yang dilahirkan dalam perkawinan dan pelaku bertanggungjawab terhadap pemeliharaan dan perawatan meskipun tanpa adanya ikatan perkawinan.
Dengan demikian, pelaku tetap dituntut bertanggung jawab memenuhi hak anak yang dilahirkan sekalipun tidak dilakukan melalui institusi perkawinan. Misalnya yang dialami korban berinisial NF berusia 22 tahun. Kantor ayah biologis dari si anak berkomitmen untuk bertanggung jawab dengan cara menstransferkan gajinya sebesar Rp1.000.000,- tiap bulan untuk biaya pemeliharaan dan pengasuhan anak.
Sementara itu, sekalipun Putusan Mahkamah Konstitusi membuka peluang nama ayah kandung dapat dituliskan dalam akta kelahiran anak dari ibu korban kekerasan seksual dengan prosedur tertentu, nyatanya hal itu tidaklah mudah untuk dilakukan. Pada akhirnya, ada korban yang sekedar menginginkan pelaku membuat pengakuan secara tertulis bahwa anak yang dilahirkan adalah anak biologis dari pelaku. Tanpa pernyataan tertulis itu, korban merasa khawatir apabila kelak anak bertanya tentang identitas ayah kandungnya. Korban berinisial D, 23 tahun, itu tidak mau menikah dengan pelaku karena korban sudah mengetahui karakter pelaku.
Di sisi lain, korban adakalanya mengalah dengan situasi agar anak yang dilahirkan tetap memperoleh hak atas identitas. Ini seperti yang dialami oleh korban kekerasan seksual berusia 20 tahun berinisial FD yang rela berpindah keyakinan dan menjalani perkawinan demi mendapatkan pencatatan bagi anak yang dikandungnya.
Terpaksa Menikah
Menurut pengalaman LRC-KJHAM, keputusan korban menikah dengan pelaku terpaksa diambil dengan pertimbangan kepentingan terbaik anak yang dilahirkan, yaitu untuk memberinya status sebagai anak sah yang dilahirkan dalam perkawinan. Demi kejelasan identitas anak yang dilahirkan, berbagai upaya pun diambil agar pelaku mengawini korban misalnya melalui dialog kekeluargaan.
Upaya ini lebih banyak ditempuh karena dianggap tidak mengeluarkan biaya, tidak ribet, dan waktunya cepat. Tak jarang upaya ini juga melibatkan pemerintah. Namun demikian, upaya kekeluargaan sering gagal karena bersifat sukarela. Di sisi lain, mengawinkan pelaku kekerasan seksual dengan korban belum tentu pilihan terbaik bagi korban karena ia akan mengalami trauma berulang dan kekerasan dalam bentuk lainnya.
Status sebagai anak sah secara hukum melekatkan kewajiban dan tanggungjawab bagi kedua orang tuanya untuk merawat, memelihara, dan memenuhi semua kebutuhan anak untuk tumbuh kembang. Kelalaian terhadap kewajiban dan tanggungjawab bisa dipidana seperti pasal penelantaran keluarga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dan Pasal 9 UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Selain itu, status anak sah juga dianggap akan menghindarkan korban dan anak yang dilahirkan dari stigma, pengucilan, dan bahkan pengasingan dari masyarakat sehingga seringkali korban terpaksa mengorbankan haknya untuk mengungkapkan kebenaran dan mendapatkan keadilan semata-mata demi kepentingan terbaik bagi anak. Sementara bagi pelaku kekerasan, perkawinan sekedar dijadikan alat untuk menghindari hukuman penjara. Tentu saja perkawinan yang demikian sudah melenceng dari tujuan pernikahan itu sendiri yaitu membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa (Lihat Pasal 1 UU Perkawinan). Bagi korban sendiri, perkawinan yang demikian menjadikan ia rentan untuk menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga seperti kekerasan psikis dan penelantaran keluarga.
UU Adminduk Belum Menjawab
Persoalan itu menunjukkan bahwa peraturan perundang-undangan yang ada belum menjawab berbagai hambatan yang dihadapi korban baik secara prosedur maupun kultur. UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan masih membatasi ruang bagi pengakuan dan pengesahan anak yang dilahirkan di luar perkawinan. Demikian pula dengan perubahan UU ini yaitu UU Nomor 24 Tahun 2013 yang mensyaratkan terjadinya perkawinan untuk dilakukannya pengakuan dan pengesahan anak.
Di satu sisi, perubahan UU Administrasi Kependudukan melalui UU Nomor 24 Tahun 2013 khususnya terkait pengakuan dan pengesahan sudah bergerak maju karena dapat memberikan perlindungan bagi anak yang ketika dilahirkan perkawinan orangtuanya belum sah menurut negara. Misalnya, perkawinan yang dilakukan secara agama dan perkawinan adat.
Tetapi sayangnya, perubahan dalam UU Administrasi Kependudukan masih belum mengakomodasi kebutuhan korban kekerasan seksual yang memutuskan tidak menikah untuk mendapatkan pengakuan dan pengesahan anak yang dilahirkan.[]
Mahasiswa Magister Hukum Universitas Semarang, Direktur LRC-KJHAM Semarang tahun 2016 – 2018
===
*Artikel ini ada penggalan dari narasi panjang yang dibuat penulis untuk jalastoria.id. Penggalan lain akan disajikan dalam artikel UU Adminduk dan Hak Anak atas Identitas