Pendidikan Tidak Layak : Bagaimana Posisi Perempuan dan Anak di Blitar

 Pendidikan Tidak Layak : Bagaimana Posisi Perempuan dan Anak di Blitar

Ilustrasi (Sumber: Free-vector/Freepik.com)

Oleh: Ravika Alvin Puspitasari

Dari kegiatan Kuliah Kerja Nyata (KKN) yang berlokasi di Kabupaten Blitar, tepatnya daerah pesisir selatan Kecamatan Wonotirto, saya menjumpai fenomena sosial yang tidak biasa. Di lokasi tersebut mayoritas penduduknya bekerja di luar negeri baik perempuan atau laki-laki. Namun kebanyakan dari mereka mayoritas perempuan yang bekerja di luar negeri. Jadi yang menempati rumah di lokasi tersebut laki-laki (suami) dan anaknya. Mungkin sebelumnya fenomena tersebut diketahui hanya ada di tayangan televisi sinetron dunia terbalik. Tetapi faktanya ini terjadi di sekeliling kita. Hal itu tidak hanya di lokasi tempat saya KKN, ada banyak penduduk yang demikian di berbagai daerah.

Banyak anak yang putus sekolah sampai Sekolah Dasar (SD) atau Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan melanjutkan bekerja. Hal ini dilatarbelakangi karena banyak faktor, selain finansial tidak mendukung, ada kesadaran yang perlu dibangun. Adapun, akhir-akhir ini ada berita viral dengan highlight “ratusan anak SD dan SMP di Blitar ajukan pernikahan dini”. Highlight berita itu kurang tepat karena faktanya SD itu adalah ijazah terakhirnya, sedangkan mereka yang menikah itu berusia 19 tahun ke atas. Tentu hal ini menjadi pekerjaan rumah kita bersama untuk membangun kesadaran, setidaknya di lingkungan sekitar untuk menumbuhkan motivasi semangat belajar. Adapun subjek yang terlibat langsung dalam sektor pendidikan harusnya memberikan sosialisasi/arahan untuk anak supaya permasalahan putus sekolah ini tidak berlanjut. Namun tidak hanya sektor pendidikan saja yang dapat memutus mata rantai ini, tetapi beberapa sektor yang bisa berkolaborasi dalam memecahkan masalah dengan membuat kebijakan/alternatif baru.

Baca Juga: Kompleksitas Kehamilan Tidak Direncanakan (KTD) pada Remaja, Bukan Sekedar Moral

Lalu bagaimana posisi perempuan?

Banyak di antara perempuan yang kemudian kawin muda atau dikawinkan oleh orang tuanya. Kebanyakan dari mereka menganggap jika perempuan sudah putus sekolah berarti siap untuk menikah. Itulah tuntutan yang diberikan orang tua terhadap anak jika sudah tidak mempunyai aktivitas. Pada akhirnya mereka akan patuh dengan tuntutan tersebut.

Namun ketika perempuan didorong untuk segera menikah, sesungguhnya mereka belum mempunyai kesiapan mental, fisik, atau finansial untuk menghadapi bahtera rumah tangga. Ironisnya, saya melihat bahwa angka perceraian begitu besar dan ujungnya banyak anak broken home. Di sisi lain, banyak anak muda di pedesaan yang akhirnya turut larut dalam situasi materialistik seperti mereka merasa tidak memerlukan pendidikan tinggi dan bercita-cita kelak menjadi TKI/TKW, supir truk,dan lainnya dengan skill minim. Tentu faktor ekonomi menjadi akar permasalahanya, mengapa banyak perempuan di masyarakat kita akhirnya ‘harus’ bekerja ke luar negri. Akan tetapi bagi saya, perempuan harusnya dapat memiliki pekerjaan/kehidupan yang layak di negaranya sendiri.

Saya merasa bahwa perempuan seyogyanya mampu menjadi role model dan membentuk karakter bagi anaknya dan secara umum untuk masyarakat. Itulah mengapa pendidikan menjadi sangat penting, selain untuk membuat perempuan menjadi berdikari, itu juga punya efek nyata bagi generasi mendatang. Saya menekankan bahwa nilai sosial dalam masyarakat kita menyangkut perempuan haruslah diubah dan diarahkan ke arah yang lebih baik. Saya menyadari bahwa ini tantangan yang luar biasa bagi masyarakat kita, utamanya mereka yang berada di pelosok desa.

Baca Juga: Lanjutkan Upaya Pencegahan Perkawinan Anak

Dalam perspektif sosiologi feminis, pendidikan merupakan sarana penting untuk mewujudkan keadilan. Di mata hukum, perempuan memiliki hak politik dan pendidikan yang sama sebagaimana laki-laki. Harus didasari bahwa pada akhirnya keterbelakangan perempuan akan mengakibatkan mata-rantai problem sosial sebagaimana yang telah saya sampaikan di atas. Oleh karena itulah, edukasi dan pemberdayaan perempuan menjadi isu penting yang harus diteliti dan dikaji lebih lanjut.

Sebagai bagian dari negara dan perempuan, saya berpikir bahwa sejumlah problem sosial yang sedang kita hadapi bisa diselesaikan dengan mengangkat spirit dan marwah perempuan melalui edukasi. Saya berpendapat bahwa perempuan harus memiliki daya tawar untuk bersaing atau dalam skala positif adalah turut menjadi bagian pewujud keadilan dan kesejahteraan bersama. []

 

Perempuan pegiat isu gender, pekerja freelancer conten writer. Bergabung dengan komunitas pegiat isu gender Perempuan Berkisah di wilayah Jawa Timur, divisi Advokasi dan Forum Perempuan Filsafat. Kamu bisa menghubungiku untuk diskusi melalui Instagram @ravikaalvdaroeni__

Digiqole ad