Oleh : Desak Gede Fianda Intan Nareswari
Di tempatku dibesarkan, banyak perempuan dipuji karena pengorbanannya, tapi jarang didengarkan keluhannya. Ini adalah cerita tentang ibuku. Tentang menjadi perempuan. Tentang harapan yang lahir dari luka dan keberanian untuk bertahan di tengah tuntutan yang tak pernah usai. Aku seorang gadis Bali. Tumbuh di lingkungan di mana adat dan tradisi begitu kuat mengakar dan membuatku sering bertanya: “Apa artinya menjadi perempuan di tanah kelahiranku sendiri?”
Dalam budaya Bali, garis keturunan ditarik secara patrilineal, anak-anak secara adat masuk ke dalam keluarga ayah, bukan ibu. Itulah sebabnya setelah menikah, perempuan Bali umumnya ikut tinggal ke rumah suami, bukan sebaliknya. Perempuan dianggap meninggalkan keluarganya dan bergabung dengan keluarga suami, sehingga anak-anaknya juga tidak lagi dianggap sebagai bagian dari keluarga asal sang ibu. Akibatnya, perempuan sering tidak dianggap sebagai pewaris atau penerus, karena perannya dianggap berpindah. Ini membuat anak perempuan tidak hanya kehilangan ruang di rumahnya sendiri, tapi juga sering merasa tak cukup dihargai dalam garis sejarah keluarga yang diwariskan secara turun-temurun.
Ibuku adalah sosok perempuan paling kuat yang pernah aku kenal. Beliau bukan hanya seorang ibu dan istri. Ia juga seorang menantu yang dengan tulus merawat mertuanya yang sakit. Di saat yang sama, beliau memimpin di kantornya, mengurus rumah tangga, mendidik anak-anak, dan masih sempat terlibat dalam kegiatan masyarakat. Semua peran itu dijalaninya dengan sabar, nyaris tanpa keluh.
Waktu istirahat ibuku sangat sedikit. Pagi-pagi buta ia sudah bangun, menyiapkan segalanya untuk keluarga. Siang bekerja, sore kembali mengurus rumah, malam belum tentu bisa benar-benar tidur. Dan begitulah setiap hari. Jadi tidak heran, kalau ibuku jadi sosok yang keras. Ya, beliau keras. Keras pada anak-anaknya, keras terhadap hidup, bahkan terkadang keras pada dirinya sendiri.
Tapi semakin aku tumbuh dewasa, semakin aku sadar,beliau keras bukan karena ingin, tapi karena keadaan memaksanya begitu. Di dalam kerasnya, aku tahu ada banyak luka yang tak pernah diceritakan. Luka karena merasa tak pernah cukup di mata orang lain. Luka karena harus membuktikan bahwa dirinya dan anak-anaknya layak dihargai, meskipun semuanya perempuan.
Ibuku memiliki dua anak perempuan — aku dan adikku. Kami dibesarkan dalam pelukan hangat seorang ibu yang keras karena keadaan. Beliau selalu menitipkan pesan hidup yang dalam. “Kalian harus bisa mandiri, buktikan bahwa kalian layak.”, “Kalian harus bisa cari uang sendiri.”, “Jangan sampai kalian diremehkan”. Terkadang nasihatnya terasa berat di telinga. Tapi aku tahu, itu semua lahir dari rasa sayang yang besar. Ibu hanya ingin kami kuat, karena ia tahu, menjadi perempuan di dunia ini, apalagi di tempat kami tinggal, artinya harus bisa membuktikan diri agar tak dipandang sebelah mata.
Tapi di balik upayanya membesarkan kami sekuat mungkin, terselip kecemasan yang tak pernah benar-benar hilang dari mata ibuku. Karena di budaya kami, anak laki-laki dianggap satu-satunya penerus garis keturunan. Sedangkan anak perempuan? Dipandang “tidak menetap” karena akan dibawa pergi oleh suaminya saat menikah.
Ibuku sering mendapatkan pertanyaan dan pernyataan yang menyayat hati. Seperti, “Kalau nggak ada laki-laki yang mau tinggal di rumah gimana?”, “Nanti siapa yang meneruskan keturunan keluarga ini?”, “Kamu nggak takut kalau rumah ini akhirnya kosong karena anak-anakmu perempuan semua?”. Pertanyaan-pertanyaan itu terdengar sepele bagi sebagian orang. Tapi bagi ibuku, itu seperti luka yang diungkit terus-menerus. Apalagi beliau juga tumbuh dalam keluarga yang hanya punya anak perempuan dan sejak kecil sudah merasakan sendiri bagaimana rasanya tidak dianggap cukup hanya karena bukan laki-laki.
Beban itu tidak hanya ia pikul sebagai istri atau ibu. Ia juga harus melawan bisikan dalam dirinya sendiri, yang diam-diam mempertanyakan, “Apakah aku gagal sebagai ibu karena tak bisa melahirkan anak laki-laki?”, “Apakah anak-anakku cukup berarti?”. Padahal, aku dan adikku tumbuh dengan penuh cinta. Kami belajar berdiri di atas kaki sendiri, mengejar mimpi, dan berusaha menjadi manusia yang bermanfaat. Namun kadang, semua itu tetap terasa tidak cukup, hanya karena kami perempuan.
Diskriminasi berbasis gender tidak selalu muncul dalam bentuk kekerasan yang terlihat. Kadang ia berwujud ekspektasi sosial, komentar, atau asumsi yang menempatkan perempuan di posisi lebih rendah. Kami dituntut untuk kuat, tapi tidak boleh marah. Harus hebat, tapi tetap dianggap “tak lengkap” tanpa laki-laki. Sering kali, luka itu diwariskan turun-temurun karena tidak ada ruang yang aman untuk menyuarakannya. Padahal kami juga manusia. Kami punya mimpi, punya pendapat, punya kemampuan untuk memilih jalan hidup sendiri. Kami juga ingin diterima tanpa syarat.
Kisah ini bukan untuk menyalahkan budaya. Karena dalam banyak hal, adat dan tradisi juga mengajarkan nilai yang indah: kebersamaan, ketulusan, dan gotong royong. Kisah ini adalah pengingat bahwa perempuan juga manusia. Kami punya hati, mimpi, dan harapan yang tak kalah besar. Kami berhak tumbuh tanpa tekanan “apa kata orang”.
Untukmu yang membaca ini, kalau kamu juga pernah merasa tak cukup hanya karena kamu perempuan, kamu tidak sendiri. Untuk para ibu seperti ibuku, terima kasih telah berjuang diam-diam di balik senyummu. Terima kasih karena memilih bertahan demi anak-anakmu. Semoga kita bisa jadi generasi yang menyembuhkan luka, bukan meneruskan tekanan yang sama. Semoga, suatu hari nanti, menjadi perempuan tidak lagi menjadi alasan untuk diragukan tapi justru dirayakan.