Kompleksitas Kehamilan Tidak Direncanakan (KTD) pada Remaja, Bukan Sekedar Moral

 Kompleksitas Kehamilan Tidak Direncanakan (KTD) pada Remaja, Bukan Sekedar Moral

Ilustrasi (Sumber: Free-vector/Freepik.com)

Oleh: Mifta Sonia

Akhir-akhir ini publik disajikan dengan berita tentang ratusan pelajar di Ponorogo mengajukan dispensasi perkawinan, mayoritas disebabkan oleh Kehamilan Tidak Direncanakan (KTD). Tidak hanya di Ponorogo, kejadian serupa juga terjadi di beberapa wilayah Indonesia. Berdasarkan data Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) tahun 2020 angka KTD meningkat hingga sekitar 420 ribu (17.5%) saat memasuki pandemi Covid-19. KTD yang ditemukan pada kategori usia 15-19 tahun mencapai 16 persen.

Di sebagian besar daerah, KTD dapat menjadi alasan untuk orangtua menormalisasi perkawinan usia anak walaupun belum memenuhi usia minimal untuk melaksanakan pernikahan. Bahkan di Jawa Timur, perkawinan usia anak masih banyak terjadi di beberapa daerah. Di Kabupaten Jember misalnya, yang menempati peringkat kedua di Jawa Timur dengan total dispensasi perkawinan yang masuk 1.357. Berdasarkan Rekap Data Jenis Perkara Dispensasi Kawin Tahun 2022 Wilayah Hukum PTA Surabaya. Selain pengajuan dispensasi yang tinggi, di beberapa daerah banyak masyarakat memilih untuk menikahkan anak mereka secara siri. Para orangtua menganggap bahwa perkawinan siri adalah jalan yang lebih baik daripada anak mereka hamil tanpa memiliki suami. Tanpa sadar mereka turut melanggengkan beban stigma ganda terhadap perempuan.

Perkawinan Usia Anak dan KTD

Itulah yang saat ini terjadi di masyarakat, ketika berita-berita mengenai perkawinan usia anak dan KTD ramai diberitakan, kebanyakan orang dewasa menyalahkan generasi muda. Mereka beranggapan bahwa moral generasi muda telah banyak yang rusak atau bahkan tidak bermoral. Lebih lagi pihak perempuan lah yang kerap disalahkan. Masyarakat kerap menyalahkan perempuan yang mengalami KTD, namun lain halnya dengan laki-laki. Biasanya perempuan dicap dengan ‘perempuan nakal’ namun laki-laki dianggap ’normal’. Hal tersebut diperkuat dengan framing sejumlah media yang menggunakan istilah “hamil duluan” atau “hamil di luar nikah”. Penggunaan istilah tersebut akan melanggengkan diskriminasi kepada anak perempuan yang mengalami KTD. Selain stigma dalam masyarakat, anak perempuan yang mengalami KTD juga dikucilkan dari masyarakat bahkan keluarga, harus menjalani perkawinan usia anak, hak atas pendidikan,sosial, ekonomi, maupun politik juga direnggut. Anak perempuan yang mengalami KTD biasanya akan dikeluarkan dari sekolah, sehingga ia tidak mendapatkan hak atas pendidikan, beda dengan laki-laki, ia tetap diperbolehkan sekolah. Diskriminasi tersebut membuat perempuan mendapatkan beban stigma yang lebih, di mana tubuh perempuan dianggap hina karena berubah bentuk sebab hamil tanpa pernikahan.

Benarkah seperti itu? Jika ditilik lebih dalam, sebenarnya KTD dan perkawinan usia anak mempunyai penyebab yang lebih kompleks dari sekadar moral. Dalam prinsip perlindungan anak, keburukan-keburukan yang terjadi kepada anak selalu disebabkan karena tidak terpenuhinya hak-hak anak baik oleh negara, masyarakat, maupun orangtua. Orang dewasa kerap kali abai akan hal tersebut, sehingga mereka melemparkan seluruh kesalahan kepada anak. Di mana seharusnya orang dewasa yang bertanggungjawab atas apa yang menimpa anak-anak. Banyak hak-hak anak yang secara tidak sadar tidak dipenuhi sehingga anak-anak tidak dapat menjalankan kehidupan mereka dengan sehat, optimal dan sejahtera.

Baca Juga: 5 Risiko Perkawinan Anak

Penghakiman yang diberikan masyarakat akan membuat solusi yang ditawarkan juga tidak optimal dan tepat sasaran. Diketahui, berbagai aturan telah dibuat seperti jam malam, perubahan seragam sekolah, pembatasan pemakaian gadget, dan masih banyak lagi, tidak dapat mengurangi angka KTD. Hal tersebut berarti KTD disebabkan oleh hal lain.

Edukasi Seksual Sebagai Gerbang Utama

Salah satu penyebab yang berandil besar adalah kurangnya pendidikan kesehatan seksual dan reproduksi yang diberikan kepada anak sejak dini. Edukasi seksual seharusnya telah diajarkan sejak dini sesuai dengan usia dan pemahaman anak.

Edukasi seksual tidak hanya melindungi anak menjadi korban, namun juga dapat mencegah anak menjadi pelaku. Seperti memberikan pemahaman kepada anak bagian tubuh yang tidak boleh dipegang orang lain atau bagian tubuh orang lain yang tidak boleh dipegang oleh mereka. Menanamkan batasan-batasan tersebut sejak dini lebih mudah, terutama sebelum anak-anak terpapar dunia luar.

Sampai saat ini membicarakan edukasi seksual di rumah masih sangat tabu, sehingga banyak orangtua yang tidak memenuhi hak atas pendidikan seksual tersebut. Di usia remaja, anak-anak akan mencari tahu hal yang membuat mereka penasaran melalui internet, di mana tidak semua informasi yang disajikan di internet itu benar.

Pada kebanyakan masyarakat di daerah-daerah kecil, orangtua dan lingkungan hanya mendikte anak-anak untuk tidak melakukan hubungan seksual sebelum menikah karena dosa, namun anak-anak kurang mendapatkan informasi lebih tentang efek domino yang lebih panjang di kehidupan saat ini. Anak-anak jarang mendapatkan pengetahuan bahwa resiko melakukan hubungan seksual tidak bertanggungjawab dapat membuat mereka hamil, yang kemudian tidak dapat melanjutkan sekolah, risiko aborsi tidak aman, harus menikah di usia anak, rentan menjadi korban kekerasan, berbahaya jika hamil di usia terlalu muda untuk bayi dan ibu, beresiko melahirkan anak stunting, dan berbagai dampak sosial, ekonomi, politik, dan budaya yang akan mereka alami.

KTD Pada Anak dan Remaja Adalah Kekerasan Seksual

Lalu ketika anak-anak mengalami KTD, masihkah kesalahan itu terletak pada mereka? Apakah generasi tua telah memberikan hak atas kesehatan seksual dan reproduksi serta pendidikan seksual yang komprehensif? Apakah para generasi tua tau bahwa KTD pada anak-anak dan remaja termasuk kekerasan seksual?

Baca Juga: Perbedaan Dampak Kekerasan Seksual Antara Laki-laki dan Perempuan

Ya, KTD pada anak dan remaja adalah kekerasan seksual, karena anak dan remaja biasanya belum memiliki pengetahuan yang mumpuni mengenai kesehatan reproduksi dan seksual. Seharusnya orangtua mengecek lebih lanjut apakah KTD pada anak dan remaja benar-benar dilandasi ‘suka sama suka’ dengan mengacu pada konsep berikut:

  • Hubungan seksual terjadi dalam keadaan sadar dan tidak di bawah tekanan, baik yang berupa ‘hukuman’ atau ‘imbalan’.
  • Persetujuan yang sebelumnya diberikan, dapat dibatalkan kapan pun, memaksa seseorang untuk kembali memberikan persetujuan adalah kekerasan.
  • Apakah anak dan remaja tersebut menyetujui untuk berhubungan seksual dengan mengetahui dampak, risiko, konsekuensi dari tindakan tersebut.
  • Apakah persetujuan yang diberikan karena ingin, bukan karena terpaksa
  • Apa kegiatan awal yang dimintai persetujuan? Apakah kemudian terjadi aktivitas berbeda diluar persetujuan awal?

Yang perlu diingat bahwa individu di bawah 18 tahun secara hukum dianggap belum bisa memberikan persetujuan. Maka aktivitas seksual yang melibatkan anak dan remaja di bawah 18 tahun otomatis dianggap kekerasan seksual pada anak, terlepas itu aktivitas seksual ‘suka sama suka’ atau tidak. Dengan demikian, orangtua akan menjadi pihak pertama yang melindungi anak mereka ketika terjadi KTD, bukan malah melemparkan semua kesalahan pada anak.[]

 

Seorang Jurnalis media online yang tertarik pada isu-isu kekerasan berbasis gender serta hak-hak kesehatan seksual dan reproduksi

 

 

 

Digiqole ad