5 Risiko Perkawinan Anak
Isu perkawinan anak kembali ramai diperbincangkan setelah beredarnya video perkawinan anak di Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan. Peristiwa yang disebut terjadi pada 22 Mei 2022 itu memperlihatkan dua mempelai yang masih berusia anak.
Dinas Sosial Pengendalian Penduduk setempat menyebut sepanjang 2021 terdapat 746 kasus perkawinan anak di wilayahnya. Sementara itu, Komnas Perempuan dalam Catatan Tahunan 2022 mencatat sepanjang 2021 terdapat sebanyak 59.709 dispensasi perkawinan anak yang dikabulkan pengadilan agama. Sebelumnya, praktik perkawinan anak meningkat signifikan dari 23.126 kasus (2019) naik sebesar 64.211 kasus (2020).
Maraknya perkawinan anak seolah menunjukkan masyarakat yang masih memandang perkawinan anak sebagai hal yang tidak perlu dihentikan. Padahal, perkawinan anak menimbulkan berbagai risiko yang merugikan anak yang memasuki perkawinan.
Baca Juga:Â Hari Anak Nasional, Ingat Lagi 5 Klaster Hak Anak
Berikut risiko perkawinan anak dikutip dari International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) dalam “Laporan Studi Kualitatif Persepsi dan Dukungan Pemangku Kepentingan Terhadap RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dan UU Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas UU Perkawinan (2020).”
1. Anak Kehilangan Akses terhadap Kehidupan
Perkawinan usia anak mengakibatkan anak kehilangan pendidikan, pekerjaan yang layak, kesejahteraan dan penikmatan hak anak. Selain itu, perkawinan anak juga berpotensi melanggengkan siklus kemiskinan.
2. Risiko Negatif terhadap Tubuh Anak Perempuan
Tubuh anak perempuan dan laki-laki berbeda secara biologis. Pada anak perempuan, perkawinan anak memiliki dampak berbeda dengan anak laki-laki. Anak perempuan lebih rentan mengalami risiko berkaitan dengan organ reproduksinya seperti keguguran, pendarahan, kanker mulut rahim, dan kematian ibu melahirkan.
3. Rentan Alami Kekerasan
Pada perkawinan anak, baik kondisi emosi maupun persoalan ekonomi yang belum stabil dapat memicu KDRT dan perceraian. Dalam laporan ini, KPPPA menyatakan semakin muda usia anak dan semakin rendah tingkat pendidikan, maka semakin tinggi angka perceraian.
Baca Juga:Â Perma 5 Tahun 2019: Benteng Terakhir Cegah Perkawinan Usia Anak Melalui Pengadilan
4. Minim Peluang Kerja Layak
Dalam laporan ini, seorang korban perkawinan anak mengaku menjadi pekerja seks lantaran tak punya pilihan untuk menghidupi anak dan dirinya sendiri. Sebab perkawinannya di usia anak mengakibatkan korban tak punya akses pendidikan sebagai bekal untuk meraih pekerjaan yang layak.
5. Pengaruhi Indeks Pembangunan Manusia (IPM)
Di tingkat nasional, perkawinan anak, selain memengaruhi IPM juga menghambat pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan/Sustainable Development Goals (SDG’s) pada target 5.3 yaitu “Menghapuskan semua praktik-praktik berbahaya, seperti perkawinan anak.” Perkawinan anak juga memengaruhi capaian 8 target SDGs lain. Delapan target tersebut di antaranya target 4 “Menjamin pendidikan yang inklusif dan merata serta meningkatkan kesempatan belajar sepanjang hayat untuk semua” dan target 8 “Meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan, kesempatan kerja yang produktif dan menyeluruh, serta pekerjaan yang layak untuk semua.”
***
Tingkat risiko yang cenderung menimbulkan kerugian pada anak yang memasuki perkawinan merupakan hal yang tidak layak untuk terus menerus dilakukan. Namun demikian, perkawinan anak masih jadi pekerjaan rumah bersama untuk dihentikan. Jadi, alangkah baiknya jika perkawinan anak dilarang, bukan jadi solusi apalagi dimaklumi. [Nur Azizah]