Kekerasan Finansial Paling Umum Terjadi, Tapi Perempuan Minim Dapat Kesempatan Bekerja

 Kekerasan Finansial Paling Umum Terjadi, Tapi Perempuan Minim Dapat Kesempatan Bekerja

Oleh : Anatasia Wahyudi

Salah satu cara agar perempuan mampu berdikari adalah mereka dapat bekerja, setidaknya untuk memenuhi kebutuhannya sendiri. Sering kali, perempuan justru disalahkan atas ketidakmampuan kepala keluarga memenuhi kewajibannya dalam memberikan nafkah. Namun, banyak perempuan yang justru dilarang bekerja oleh pasangannya, meski kehidupan rumah tangga mereka jauh dari kata cukup.

Banyak orang yang tidak sadar bahwa larangan bekerja di saat kepala rumah tangga tidak mampu memenuhi kebutuhan rumah tangga merupakan bagian dari Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) berupa kekerasan finansial. National Network to End Domestic Violence (NNEDV) mendefinisikan kekerasan finansial sebagai taktik umum yang digunakan oleh orang-orang yang memilih untuk melakukan kekerasan melalui kontrol dan isolasi terhadap pasangan mereka, dan hal itu dapat menimbulkan konsekuensi yang luas dan menghancurkan.

Dalam Woman Abuse Council of Toronto (2020), Kekerasan finansial merupakan bentuk kekerasan yang berbeda yang sering kali disertai dengan bentuk kekerasan lain, termasuk kekerasan fisik, psikologis, dan emosional. Seperti bentuk kekerasan lainnya terhadap perempuan, kekerasan finansial digunakan sebagai taktik untuk menyakiti dan mengendalikan. Kekerasan ini sering kali digunakan oleh pelaku untuk meningkatkan ketergantungan korban kepada mereka melalui isolasi, pemantauan pergerakan dan aktivitas mereka, dan perampasan kebebasan finansial mereka.

Kekerasan finansial merupakan hambatan utama bagi perempuan untuk meninggalkan hubungan yang penuh kekerasan. Tanpa akses ke uang, perempuan tidak dapat merencanakan atau bahkan membayangkan meninggalkan hubungan yang penuh kekerasan. Ketika perempuan benar-benar meninggalkan hubungan yang penuh kekerasan, mereka sering mengalami perumahan sementara atau tidak stabil dan dibiarkan dengan akses terbatas ke uang, menghadapi tantangan serupa untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka seperti yang mereka alami saat berada dalam hubungan yang penuh kekerasan.

Mellar dkk (2024) menyebutkan, dampak dari kekerasan finansial terhadap perempuan antara lain menyebabkan kemiskinan dan kemampuan untuk memiliki standar ekonomi yang wajar. Selain itu, kekerasan finansial juga menyebabkan kesehatan perempuan menjadi buruk, dan merusak harga diri serta kemampuan mereka untuk bekerja, bergaul, dan terlibat dalam kehidupan sosial.

Di sisi lain, kesempatan bagi perempuan setelah menikah untuk berkarir masih minim. Banyak perusahaan yang mencantumkan single alias lajang sebagai syarat penerimaan pekerjaan. Menteri Keuangan, Sri Mulyani mengakui, berbeda dengan laki-laki, tantangan paling utama yang dihadapkan perempuan adalah adanya pilihan-pilihan membayangi, seperti menikah, menjadi ibu rumah tangga atau sekolah, dan mengejar karir.

Saat interview, mereka ditanya, ”Kapan rencana menikah?” Setelah menikah, ”Nanti bagaimana mengatur waktu?” Kemudian, ketika memiliki momongan, ”Anak siapa yang urus? Kalau anak sakit nanti bagaimana?” Pertanyaan-pertanyaan ini hanya dibebankan kepada perempuan yang berusaha keras mencapai kemandirian finansial.

Belum lagi, usia juga menghentikan langkah perempuan untuk dapat berdikari. Akibatnya, banyak perempuan yang akhirnya memilih bertahan, meski terjadi kekerasan finansial dalam rumah tangga mereka. Hal ini, disebabkan karena mereka khawatir bahwa nasib mereka akan menjadi jauh lebih buruk, apalagi jika telah memiliki anak yang menjadi pertimbangan tambahan.

Agar terbentuk sebuah  keluarga  yang  ideal,  penuh kebahagiaan, dan kesejahteraan, suami harus memenuhi kewajibannya untuk memenuhi tuntutan ekonomi dalam rumah tangga. Penelantaran ekonomi merupakan salah  satu  bentuk  kekerasan dalam rumah  tangga. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), ekonomi merupakan faktor penyebab terbanyak kedua terjadinya perceraian setelah perselisihan dan pertengkaran terus-menerut. BPS mengungkapkan, pada tahun 2023, dari 408.347 kasus perceraian, 108.488 kasus (26,56%) diantaranya terjadi karena faktor ekonomi.

Secara normatif, ketentuan KDRT diatur dalam Undang Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang biasa dikenal sebagai UU PKDRT. Cara atau bentuk KDRT yang tertulis dalam UU PKDRT tersebut, diantaranya: (a) Kekerasan fisik; (b) Kekerasan psikis; (c) Kekerasan seksual; dan (d) Penelantaran rumah tangga.

Berdasarkan  Pasal 49 huruf a  UU  PKDRT, orang yang melakukan penelantaran rumah tangga dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 3  (tiga)  tahun  atau  denda  paling  banyak  Rp15.000.000,00  (lima  belas  juta rupiah). Meski, ada aturan jelas terkait, sayangnya masih banyak orang yang tidak mengetahui mengenai kekerasan finansial ini. Memberikan edukasi dan pemahaman tentang jenis KDRT ini akan membantu perempuan dari belenggu pernikahan dan membangun kemandirian mereka.

 

Anatasia Wahyudi. Saat ini, sedang melanjutkan pendidikan Magister Ilmu Komunikasi di Universitas Paramadina dan bekerja sebagai penulis lepas.

 

 

 

 

 

 

Digiqole ad