Perma 5 Tahun 2019: Benteng Terakhir Cegah Perkawinan Usia Anak Melalui Pengadilan
Di akhir masa bakti DPR RI periode 2014-2019, terdapat salah satu regulasi yang diharapkan akan berkontribusi pada upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan. Ya, UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan diubah menjadi UU Nomor 16 Tahun 2019. Perubahan dalam UU ini hanya 1 pasal, yaitu pada Pasal 7 ayat (1) di mana batas usia diperbolehkan melangsungkan perkawinan bagi perempuan yang semula 16 tahun diubah menjadi 19 tahun.
Walaupun demikian, terdapat pasal lain yang ditengarai membuka celah untuk terjadinya perkawinan usia anak. Terdapat Pasal 7 ayat (2) yang memberikan kewenangan kepada pengadilan untuk memberikan Dispensasi Kawin apabila syarat batas usia itu belum terpenuhi. Dengan demikian, setelah batas usia kawin bagi perempuan naik menjadi 19 tahun, maka apabila ada perempuan yang misalnya berusia 17 tahun akan dikawinkan, ketentuan Dispensasi Kawin itu dapat memberikan peluang untuk tetap dilangsungkannya perkawinan.
Nah, untuk mengatasi hal itu, Mahkamah Agung telah menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 2019 tentang Pedoman Mengadili Permohononan Dispensasi Kawin (selanjutnya disebut Perma Dispensasi Kawin dalam tulisan ini)
Diterbitkannya Perma Dispensasi Kawin ini antara lain bertujuan menjamin pelaksanaan sistem peradilan yang melindungi hak anak; meningkatkan tanggung jawab orang tua dalam pencegahan perkawinan usia anak; mengidentifikasi ada atau tidaknya paksaan yang melatarbelakangi pengajuan permohonan Dispensasi Kawin; dan mewujudkan standardisasi proses mengadili permohonan Dispensasi Kawin di pengadilan.
Selai itu, Perma ini juga bertujuan untuk menerapkan asas kepentingan terbaik bagi anak, hak hidup dan tumbuh kembang anak, penghargaan atas pendapat anak, penghargaan atas harkat dan martabat manusia, nondiskriminasi, kesetaraan gender, persamaan di depan hukum, keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum.
Pedoman Hakim
Perma Dispensasi Kawin yang ditetapkan pada 20 November 2019 ini menggariskan sejumlah hal yang harus dipedomani oleh hakim dalam memeriksa permohonan Dispensasi kawin di pengadilan. Pasal 11 ayat (1) menegaskan bahwa hakim harus menggunakan bahasa dan metode yang dimengerti oleh anak. Ayat selanjutnya mengatur bahwa Hakim dan Panitera Pengganti dalam memeriksa anak tidak menggunakan atribut persidangan.
Selain itu, Perma Dispensasi Kawin mengatur bahwa hakim harus memberikan nasihat kepada pemohon, anak, calon suami/istri, dan orang tua dari calon suami/istri. Pasal 12 ayat (2) memberikan garis besar hal-hal yang harus disampaikan oleh hakim dalam penyampaian nasihat, yaitu agar para pihak memahami resiko perkawinan terkait dengan kemungkinan berhentinya pendidikan bagi anak, keberlanjutan anak dalam menempuh wajib belajar 12 tahun, belum siapnya organ reproduksi anak, dampak sosial, ekonomi, dan psikologis bagi anak, dan potensi perselisihan dan kekerasan dalam rumah tangga.
Dalam hal ini, nasihat mengenai resiko perkawinan terkait dengan potensi perselisihan dan kekerasan dalam rumah tangga tentu perlu merujuk kepada UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Ketentuan ini secara tidak langsung menggariskan bahwa hakim yang mengadili permohonan Dispensasi Kawin haruslah memiliki pengetahuan yang memadai mengenai kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) sebagai bentuk kekerasan terhadap perempuan dan berbagai penyebab dan pemicu terjadinya KDRT.
Nasihat yang disampaikan oleh hakim harus dipertimbangkan dalam penetapan. Apabila pemberian nasihat itu tidak dilakukan, Pasal 12 ayat (4) menegaskan bahwa hal itu mengakibatkan penetapan batal demi hukum.
Selain itu, Pasal 13 menegaskan bahwa hakim harus mendengarkan keterangan dari anak yang dimintakan Dispensasi Kawin, calon suami/istri, orang tua anak yang dimintakan Dispensasi Kawin, dan orang tua dari calon suami/istri.
Dalam pemeriksaan, hakim harus mengidentifikasi ada tidaknya pengetahuan dan persetujuan anak yang dimintakan Dispensasi Kawin dan kondisi psikologis, kesehatan, dan kesiapan anak untuk membangun rumah tangga. Selain itu, hakim juga harus mengidentifikasi ada tidaknya paksaan psikis, fisik, seksual, atau ekonomi terhadap anak dan/atau keluarganya untuk melangsungkan perkawinan atau mengawinkan anak.
Untuk itu, dalam pemeriksaan, hakim dapat mendengar keterangan anak tanpa kehadiran orang tua. Hal ini tentu dimaksudkan agar anak leluasa menyampaikan keterangan tanpa kekhawatiran adanya pengaruh atau tekanan dari orang tua. Hakim juga dapat mendengar keterangan anak melalui pemeriksaan komunikasi audio visual jarak jauh di pengadilan setempat atau di tempat lain.
Selain itu, Hakim juga dapat menyarankan anak agar didampingi pendamping, dan meminta rekomendasi dari psikolog, dokter/bidan, pekerja sosial professional, tenaga kesejahteraan sosial, Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak (P2TP2A), atau Komisi Perlindungan Anak Indonesia/Daerah.
Rekomendasi dokter/bidan diharapkan dapat membuat terang perkara terutama jika Dispensasi Kawin diajukan atas alasan kehamilan, mengingat terdapat perkara di mana anak mengaku hamil atau disuruh mengaku hamil, walaupun kehamilan itu tidak terjadi, dengan tujuan permohonan Dispensasi Kawin dikabulkan. Rekomendadsi dari P2TP2A atau lembaga pendamping juga diharapkan dapat membantu hakim dalam menyusun penetapan terutama untuk mengidentifikasi adanya paksaan atau kekerasan yang dialami oleh anak yang dimintakan Dispensasi Kawin.
Benteng Lainnya
Menilik materi muatan dalam Perma tersebut, tentu tidaklah keliru apabila Perma ini diharapkan dapat meminimalisasi perkawinan usia anak yang akan dilakukan. Oleh karena itu, hakim di seluruh pengadilan negeri dan pengadilan agama di tanah air diharapkan menginternalisasi Perma ini untuk diterapkan dalam pemeriksaan perkara Dispensasi Kawin. Mengingat UU Perkawinan masih membuka pintu Dispensasi Kawin di mana hal ini merupakan kewenangan pengadilan untuk mengabulkan atau tidak mengabulkan, Perma ini pada akhirnya merupakan benteng terakhir untuk meminimalisasi perkawinan usia anak yang diajukan kepada pengadilan.
Namun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa masih terdapat kemungkinan adanya perkawinan usia anak yang tidak dimohonkan Dispensasi kepada pengadilan. Misalnya perkawinan dilakukan tanpa pencatatan perkawinan atau terdapat pemalsuan identitas sehingga usia perempuan yang akan dikawinkan dibuat lebih tua dari usia sebenarnya. Dalam hal ini, diperlukan perangkat lain untuk membendung agar perkawinan usia anak tidak terjadi, termasuk melalui pendidikan dan pengentasan kemiskinan.[]
Ema Mukarramah
Pernah mengabdi di Komnas Perempuan sebagai Koordinator Divisi Reformasi Hukum dan Kebijakan 2012-2018.