Oleh : Fatia Salma Fiddaroyni

 

Judul Buku : Tafsir Perempuan

Penulis  Asghar Ali Engineer

Penerbit  IRCiSoD

Tahun Terbit  : 2022 (Cetakan Pertama)

Bahasa  Indonesia

Jumlah Halaman  325 Halaman

 

Berbicara tentang perempuan dalam Islam, saya sering kali kurang nyaman dengan persepsi orang-orang yang menyebut bahwa Islam terlalu menekan perempuan. Seolah-olah, Islam meminggirkan perempuan. Persepsi ketidakadilan gender semacam ini membuat saya bertanya-tanya, apakah benar teks-teks kitab suci memang bermasalah? Oh tentu tidak demikian. Ataukah justru kita sendirilah yang keliru dalam membacanya?

Pertanyaan ini mengantarkan saya pada sebuah buku karya Asghar Ali Engineer, seorang tokoh muslim India yang menuliskan Tafsir Perempuan: Wacana Perjumpaan Al-Qur’an, Perempuan, dan Kebudayaan Kontemporer. Buku ini seperti membuka jendela baru bagi saya untuk memahami bahwa Islam, sejak awal, tidak pernah berniat merendahkan perempuan. Yang kerap kali membuat perempuan terkesan sebagai warga kelas dua (baca: tidak setara) dalam wacana keislaman adalah cara pandang beberapa penafsir yang hidup dalam struktur sosial patriarkal, lalu menanamkan bias itu ke dalam tafsir.

Asghar Ali dalam pengantarnya mengajak pembaca untuk menjelajah kembali teks-teks kitab suci yang selama ini terdistorsi oleh konstruksi budaya patriarki yang dari zaman ke zaman mengalami perubahan. Ia menegaskan bahwa Islam, melalui teks kitab suci, sesungguhnya amat memuliakan perempuan, bukan sebaliknya. Namun dalam sejarahnya, tafsir-tafsir yang berkembang sering kali justru meminggirkan perempuan karena dilakukan dalam konteks sosial yang memposisikan laki-laki sebagai yang paling kuat dan berkuasa (hlm. 11-24)

Buku ini menyajikan penafsiran yang kontekstual, menyesuaikan pemahaman makna ayat dengan realitas sosio-historis masyarakat masa kini, dengan tanpa mencabutnya dari akar teks (hlm. 11-12). Atau dalam kata lain, Asghar Ali berupaya menggali dan menegakkan kembali substansi pesan dan perintah Tuhan dalam kitab suci. Melalui pendekatan ini, ia menyandingkan tafsir klasik yang cenderung normatif dengan tafsir kontemporer yang lebih terbuka terhadap wacana kesetaraan gender.

Sejumlah isu krusial yang disorot antara lain adalah soal hak kepemimpinan perempuan (hlm. 47), jilbab dan poligami (hlm. 59), seputar relasi antara suami-istri (hlm. 79), perceraian (hlm. 148), dan kesaksian hukum (hlm. 115). Dalam setiap bahasannya, Asghar Ali mengulas bahwa ragam tafsir tradisional sering kali tidak memisahkan antara nilai-nilai universal Islam dengan konteks budaya Arab abad ke-7. Hal ini, menurutnya, yang membuat sebagian ayat terlihat seolah merendahkan perempuan, padahal nyatanya sama sekali tidak demikian (hlm. 99)

Menariknya, Asghar Ali menggunakan pendekatan yang tidak memaksakan tafsir tunggal yang kesannya kaku. Namun sebaliknya, ia mengulas sejumlah penafsiran dari klasik hingga kontemporer, membaca ulang, dan menunjukkan kepada pembaca bahwa perbedaan penafsiran adalah rahmah (kasih sayang). Sebagai salah satu contohnya, pembahasan tentang ayat poligami (hlm. 145). Tidak ada yang salah dalam penafsiran. Hanya saja perlu kebaruan dalam menafsirkan kitab suci sesuai konteks sosio-historis. Ia mengajak kepada pembaca supaya lebih terbuka terhadap keberagaman pandangan, sekaligus kritis terhadap narasi tunggal yang selama ini mendominasi.

Di tengah perdebatan keadilan gender yang masih hangat diperbincangkan, buku ini layak dijelajahi untuk menambah ruang wawasan kita tentang kesetaraan gender, tanpa menghakimi siapapun. Melalui buku ini pula, kita dapat memperbaruhi pemahaman tentang wacana keagamaan yang masih menjadikan perempuan sebagai objek, bukan subjek. Meski demikian, salah satu kekurangan buku ini ialah gaya bahasanya yang cukup tinggi. Bagi pembaca yang belum terbiasa dengan diksi akademik, mungkin perlu membaca beberapa bagian lebih dari sekali untuk benar-benar memahaminya. Dan ya, saya memaklumi bahwa buku ini merupakan hasil terjemahan dari karya asli berbahasa Inggris.

Terlepas dari itu, saya sangat merekomendasikan buku ini bagi siapapun yang ingin memahami bagaimana sebenarnya posisi perempuan dalam Islam, tanpa bias tafsir patriarkal. Kita akan diajak membuka mata dan pikiran lebar-lebar, membaca ulang warisan tafsir bahwa perempuan adalah makhluk berdaya, bukan lemah. Al-Qur’an, sebagai kitab suci umat Islam, menempatkan laki-laki dan perempuan sama adilnya. Yang mana masing-masing dari mereka memiliki kekurangan dan kelebihan yang sesungguhnya untuk saling melengkapi satu sama lain, bukan untuk saling menindas.

Penulis adalah sarjana tafsir yang kini sedang menekuni dunia kepenulisan.  Ia memilih menjadi freelance writer karena hobi membaca, mengamati, dan menulis.

Share.

Comments are closed.