Oleh : Stella Anjani

Di balik banyak dinding rumah tangga yang tenang dan produktif, ada kerja-kerja perawatan yang berlangsung senyap; menyapu sebelum fajar, menyiapkan makan sebelum tuan rumah terbangun, dan merapikan dapur saat seluruh penghuni rumah sudah lelap. Pekerja rumah tangga (PRT) adalah denyut tak terlihat dalam kehidupan sehari-hari masyarakat urban, namun hukum belum pernah benar-benar hadir untuk mereka.

Momentum 16 Juni, Hari PRT Sedunia, tahun ini menjadi panggung penting bagi suara-suara itu untuk naik ke permukaan. Bertempat di Hotel Ashley Wahid Hasyim, Jakarta, CWGI (CEDAW Working Group Indonesia), JALA PRT, Kalyanamitra, dan Yayasan Penabulu—menggelar diskusi publik bertajuk “Akselerasi Pengesahan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT)”. Acara yangn dilaksanakan pada 18 Juni 2025 ini bertujuan untuk mendesak negara segera mengesahkan undang-undang yang telah tertunda selama lebih dari dua dekade.

“Kerja-kerja perawatan yang dilakukan PRT memungkinkan rumah tangga tetap berjalan dan anggota keluarga bisa beraktivitas di luar rumah. Tapi justru karena dianggap ‘alami’ bagi perempuan, pekerjaan ini tak diakui sebagai kerja yang membutuhkan keterampilan, apalagi perlindungan,” tutur Dewi Komalasari, Program Manager Gender Justice Yayasan Penabulu.

 

Cerita dari Sesama Perempuan Pekerja 

Salah satu suara yang menggugah di acara tersebut datangnya dari Ibu Nuzul, perwakilan Konfederasi Serikat Nasional. Sejak usia remaja, Ibu Nuzul telah mengenal kerja rumah tangga, ketika pertama kali ikut kakaknya ke Jakarta usai lulus madrasah. “Saya belum pernah baca draft RUU-nya, hanya mengikuti isu dari Facebook. Dulu saya belum mengerti cara mencuci di kota,” tuturnya.

Ia melanjutkan kisahnya, “alhamdulillah saya dapat tempat yang baik, dianggap keluarga, makan bersama. Anak-anak juga memanggil saya Mbak, tidak boleh bibi”. Pengalaman kerja di tempat yang memperlakukannya dengan baik secara personal ini dapat dibilang suatu keberuntungan, karena apa yang dialami Bu Nuzul belum tentu dialami oleh perempuan PRT lain. Di balik pengalaman ‘beruntung’ tersebut tersimpan persoalan paradigma bagaimana PRT seringkali diposisikan sebagai ‘keluarga’—bukan pekerja.

Norma yang seolah baik, menganggap PRT sebagai keluarga, bertentangan dengan paparan Ibu Aida Milasari yang menunjukkan PRT kerap menerima kekerasan ketika bekerja. Saat mendengar banyaknya kisah kekerasan yang dialami PRT, Ibu Nuzul mengaku sempat merasa tidak percaya. “Saya merasa aneh dengan cerita-cerita tadi. Apa iya orang bisa melakukan itu ke pekerjanya?” ujarnya.

Pertemuan Bu Nuzul dengan berbagai pekerja perempuan lain di kerja perawatan perlahan membuatnya sadar akan realitas umum yang kerap terjadi bahwa kerja pengasuhan kerap mengabaikan waktu istirahat dan perlindungan kerja. Di akhir sharing, ia menegaskan perlunya kerja sama lintas pihak, “harus ada kerja sama dengan pemerintah daerah, supaya pekerja di wilayah itu terpantau. Satpam pun bisa jadi mitra pengawasan. Ini memang tidak bisa cepat. Tapi jangan sampai nasibnya seperti UU di serikat buruh: ada, tapi tidak terasa”.

Kekhawatiran Ibu Nuzul sangat nyata. Sistem kerja kontrak dan outsourcing sudah cukup menakutkan bagi pekerja sektor industri. Ia tidak ingin pengalaman tersebut terulang di sektor domestik, di bawah payung UU PPRT.

 

Komitmen dari Parlemen

Diskusi ini menghadirkan Ahmad Iman Sukri, Wakil Ketua Baleg DPR RI. Ia tidak berbicara seperti politisi biasa. Ada pengalaman masa kecilnya di desa yang terkait langsung dengan isu PPRT. Ia merekognisi bahwa kehadiran PRT adalah hal lumrah, tapi perlindungannya masih sepi pembahasan. “Menurut saya, UU PRT itu soal keadilan—kita wajib memberikan perlindungan. Itu kunci penting. Di situ komitmen kebangsaan kita,” tegasnya.

Iman Sukri tidak menyangkal bahwa ada kekhawatiran berlebihan bahwa aturan PRT yang terlalu ketat akan mengurangi lapangan kerja. Namun ia menyanggah, “per hari upah mereka enggak nyampai 50 ribu. Tapi ketika mereka alami kekerasan seksual, enggak ada aturan yang bisa lindungi.”

Ia menekankan bahwa pengaturan kontrak kerja di dalam RUU justru menjadi bentuk kepastian hukum yang dapat menguntungkan kedua belah pihak—baik PRT maupun pemberi kerja. “Ini bukan hanya soal PRT, ini juga membuat nyaman pemberi kerja,” ucap Imam Sukri.

Ia juga memastikan bahwa proses legislasi sudah berada di jalur cepat, dan tidak mulai dari nol. “Hitungan saya, Agustus bisa diparipurnakan. Kalau fraksi lain punya pendapat berbeda, bisa kita diskusikan. Yang penting, jangan sampai mengurangi perlindungan untuk pekerja rumah tangga,” tanggap Imam Sukri dalam sesi tanya jawab dengan optimis.

Iman Sukri menunjukkan rasa hormatnya kepada para aktivis dan pekerja yang selama ini terus memperjuangkan isu PRT. Ia mengutip pembukaan dari perwakilan JALA PRT, Ari Ujianto, dengan turut mengatakan “RUU Perlindungan PRT adalah tonggak sejarah”. Menyadari bahwa implementasi UU memerlukan keterlibatan banyak pihak, Imam Sukri meminta dukungan dari para hadirin untuk terlibat ketika RUU PPRT sungguh dijalankan. “Problem domestik banyak. Kekerasan seksual, fisik, psikis, tapi saya yakin ketika ada kontrak, kita ada pengakhiran kerja. Kalau pihak pemberi kerja maupun pekerja bersepakat untuk tidak sepakat, hal-hal yang tidak bisa dipenuhi bisa mengakhiri kerja. Dengan demikian kualitas perlindungan lebih bagus,” ujarnya sebagai penutup.

 

Menanti Agustus: Dari Tekad Menuju Kepastian

Koalisi masyarakat sipil menegaskan kembali tenggat yang telah disebut Presiden pada peringatan Hari Buruh 1 Mei 2025, bahwa dalam waktu 3 bulan RUU PPRT akan disahkan. Jika sampai waktu itu tak ada pengesahan, maka janji politik kembali menjadi kertas kosong. Jutaan PRT akan kembali ke dapur sunyi mereka—bekerja tanpa perlindungan, tanpa pengakuan.

Dari podium ke ruang publik, dari draft ke paripurna. Jika kelak RUU PPRT disahkan, maka sejarah baru negara ini akan mencuat, bagaimana perubahan besar dimulai dari cerita-cerita kecil yang akhirnya didengar.

 

Share.

Comments are closed.