Mengenali Pemotongan/Perlukaan Genitalia Perempuan
Oleh: Siti Aminah Tardi
Minggu lalu, kita mendapatkan berita gembira terkait penetapan sunat perempuan atau Female Genital Mutilation (FGM) sebagai tindak pidana di Sudan. Amendemen FGM sebagai tindak pidana telah disetujui pada 22 April 2020, yang melarang siapa pun melakukan FGM baik di lembaga medis atau di tempat lain. Pelakunya akan dijatuhi hukuman penjara 3 tahun dan denda. Penetapan FGM sebagai tindak pidana ini tidak lepas dari fakta bahwa sekitar 87 persen perempuan Sudan berusia 14-49 tahun telah menjalani praktik FGM, dengan tipe memotong labia dan klitoris.
FGM adalah sebuah istilah yang digunakan untuk menggambarkan tindakan untuk pengangkatan sebagian atau seluruh alat kelamin perempuan atau perlukaan lain pada alat kelamin perempuan karena alasan nonmedis. Bentuk dan seluk beluk teknisnya beragam dari satu negara ke negara lain, atau dari satu daerah ke daerah lain dalam wilayah negara yang sama. Komnas Perempuan menerjemahkan dan menggunakan istilah “Pemotongan dan Perlukaan Genitalia Perempuan (P2GP)” sebagai upaya mendekontruksi bahwa FGM bukanlah perintah agama melainkan budaya untuk mengontrol tubuh dan seksualitas perempuan.
WHO, UNICEF, dan UNFPA mengklasifikasikan terdapat empat tipe FGM yakni:
- Clitoridectomy, yaitu pemotongan klitoris atau kulit yang menutupi klitoris (kulup).
- Eksisi, yaitu pemotongan klitoris disertai pemotongan sebagian atau seluruh bibir kecil alat kelamin perumpuan (labia minora), dengan atau tanpa pemotongan sebagian atau seluruh bibir besar alat kelamin perempuan (labia majora).
- Infibulasi, yaitu pemotongan bagian atau seluruh alat kelamin perempuan luar disertai penjahitan/penyempitan lubang vagina, dengan atau tanpa pemotongan klitoris.
- Semua macam prosedur lain yang dilakukan pada kelamin perempuan untuk tujuan nonmedis, termasuk penusukan, perlubangan, pengirisan, dan penggoresan terhadap klitoris.
Upaya penghentian budaya P2GP ini telah disuarakan dunia sejak 1970an dan menetapkan setiap tanggal 6 Februari sebagai hari untuk menyuarakan penghentian budaya P2GP. Akibatnya, praktik tersebut dilarang di sebagian besar negara di mana praktik tersebut dilakukan, meskipun budaya ini tidak sepenuhnya dapat dihilangkan saat ini. Lantas, mengapa P2GP ini menjadi agenda global dan bagaimana kondisi P2GP di Indonesia?
Dampak P2GP
Dari empat tipe yang diidentifikasikan, WHO menemukan bahwa tipe 1 umumnya memiliki tingkat keparahan yang lebih rendah dibanding tipe 2, sedangkan tipe 2 umumnya memiliki tingkat keparahan yang lebih rendah dari tipe 3. Walaupun, keparahan dan resiko tetap tergantung pada jenis dan jumlah jaringan yang dilukai/dipotong. Dengan demikian tipe 3 mungkin lebih besar daripada tipe 1, tetapi dampak seksual lebih dimungkinkan pada tipe 1 karena klitoris adalah organ seksual yang sangat sensitif. Tipe 1 dan 4 ditemukan terjadi di Indonesia.
P2GP menimbulkan dampak terhadap fisik, psikis, dan seksual pada anak perempuan dan perempuan. Secara fisik, P2GP berdampak baik secara langsung maupun tidak langsung atau jangka panjang. Secara langsung yang dialami adalah pendarahan, rasa sakit yang parah, infeksi lokal, kesulitan buang air kecil, shock, dan bahkan kerusakan organ sekitarnya. Sementara itu, untuk jangka panjang yang mungkin terjadi antara lain kista, ketidaksuburan, komplikasi ketika melahirkan, sulit berhubungan seksual, gangguan psikologis, keloid dan pembengkakan, serta dapat menyebabkan rasa sakit dan kesulitan buang air kecil. Dari hasil kajian Komnas Perempuan di 10 Propinsi ditemukan tiga kasus yang menyebabkan bayi harus mendapatkan luka fisik serius yaitu kecelakaan P2GP dalam bentuk pemotongan labia minora, pendarahan tak henti paska P2GP pada bayi karena masalah pembekuan darah, dan pendarahan tak henti paska P2GP pada bayi.
Secara psikologis saat P2GP dilakukan respons bayi pada umumnya adalah kaget dan menangis. Sedangkan setelah dewasa perempuan mengalami trauma saat berhubungan seksual dan mendengar kata ‘sunat’. Sedangkan, dampak seksual, P2GP dapat menimbulkan rasa sakit saat berhubungan intim, masalah psikoseksual, sakit luar biasa yang dirasakan ketika menstruasi, kurangnya hasrat seksual, dan kesulitan mencapai orgasme. Perempuan yang mengalami P2GP tipe 1 dan 2 memiliki empat kali resiko komplikasi pada saat melahirkan. Tipe 3 adalah tipe yang paling merusak genitalia dan menghambat proses kelahiran. Sebelum melahirkan, harus dilakukan pelebaran kembali jaringan yang dipersempit untuk jalur keluarnya bayi, dan memiliki resiko lebih besar untuk mengalami pendarahan setelah melahirkan.
Sebagai praktik yang membahayakan perempuan, P2GP adalah pelanggaran hak atas hidup, hak bebas dari kekerasan, dan merupakan diskriminasi terhadap perempuan. P2GP tidak menghormati anak sebagai subyek, karena tidak pernah dimintai persetujuannya atas apa yang akan dilakukan atas tubuhnya. Karenanya agenda Sustainable Development (SDGs) hingga tahun 2030, salah satu targetnya adalah penghapusan segala praktik yang membahayakan yaitu perkawinan usia anak dan P2GP. Negara-negara diminta untuk melaporkan kerja-kerjanya dalam menghapuskan praktik yang membahayakan, termasuk P2GP.
P2GP di Indonesia
Komite Perempuan PBB dalam simpulannya tentang kondisi perempuan Indonesia menyatakan bahwa di Indonesia masih terdapat stereotip sosial peran perempuan yang sangat kuat, terutama karena norma-norma budaya dan nilai-nilai patriarki yang terkait dengan tugas, tanggung jawab, dan identitas perempuan dan laki-laki di dalam keluarga dan masyarakat. Hal ini menyebabkan masih terjadinya kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan, termasuk P2GP.
Masih berlangsungnya P2GP dibenarkan oleh data Riskesdas dari Kementerian Kesehatan (2013) yang memberikan gambaran umum bahwa prevalensi P2GP di Indonesia sangat tinggi yaitu 51,2% perempuan pernah mengalaminya yang dilakukan pada saat usia mereka 1-5 bulan.
Pada tahun 2006, Kementerian Kesehatan sebetulnya pernah melarang P2GP. Namun, menerima protes dari sejumlah keberatan, termasuk Majelis Ulama Indonesia yang mendesak Kemenkes tidak melarang praktik P2GP karena dinilai berbeda dengan metode female genital mutilation yang hendak dihapus PBB. Desakan tersebut, menyebabkan pemerintah melunak dan kemudian menerbitkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1636/MENKES/PER/XI/2010, yang memberi wewenang kepada praktisi medis untuk melakukan P2GP. Berdasarkan Permenkes itu, sunat dilakukan dengan “menggores kulit yang menutupi bagian depan klitoris dengan menggunakan ujung jarum steril sekali pakai dari sisi mukosa (selaput) ke arah kulit, tanpa melukai klitoris.”
Sebaliknya, Permenkes 1636 kali ini diprotes oleh aktivis hak perempuan, karena bukannya mendidik masyarakat akan bahaya P2GP, pemerintah justru mengeluarkan panduan semacam “cara menyunat perempuan yang baik dan benar”. Permenkes ini mendorong munculnya paket tindik dan sunat bagi bayi perempuan di sejumlah klinik, puskesmas, dan rumah sakit. Komite Perempuanpun mempertanyakan keseriusan Pemerintah Indonesia dalam penghapusan P2GP. Akhirnya, Permenkes ini pun dicabut pada 2013. Namun praktik P2GP oleh petugas medis terus berlangsung. Sebab, meski Kementerian Kesehatan mendidik pekerja medis bahwa P2GP tidak bermanfaat, namun tak akan diberi sanksi karena tak ada regulasi yang mengaturnya.
Dengan demikian sampai saat ini belum terdapat peraturan secara khusus yang melarang P2GP seperti halnya di Sudan. Namun, bukan berarti tidak ada peraturan yang menjadi sandaran hukum. Indonesia menjamin hak setiap orang, termasuk perempuan untuk bebas dari kekerasan dan diskriminasi dalam Konstitusi. Demikian pula pengesahan konvensi penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan karena P2GP lahir sebagai bentuk diskriminasi terhadap perempuan.
Selain itu, yang tak kalah penting adalah memberikan pendidikan kepada masyarakat akan bahaya P2GP terhadap perempuan, memberikan kesempatan terhadap penafsiran berbeda atas P2GP yang dikenali oleh masyarakat dan negara melarang bentuk-bentuk komodifikasi P2GP dalam layanan-layanan klinik kesehatan. Sebagai seorang perempuan, saatnya kita memahami dampak P2GP dan hak anak perempuan kita atas tubuhnya.[]
Penulis adalah seorang feminis, saat ini menjadi Komisioner Komnas Perempuan 2020-2024.
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mewakili lembaga