Dari Kekerasan dalam Pacaran ke KDRT
Oleh: Siti Aminah Tardi
Ketika mendampingi perempuan korban KDRT, biasanya saya akan menggali pengalaman kekerasan korban. Jika dirunut ke belakang, ternyata kekerasan dalam rumah tangga umumnya sudah terjadi sejak pasangan berpacaran. Sayapun menarik kesimpulan dari Kekerasan dalam Pacaran (KDP) akan berlanjut ke KDRT.
Catahu Komnas Perempuan mencatat KDP yang diadukan pada 2017 berjumlah 1.873 kasus, tahun 2018 meningkat menjadi 2.073 kasus dan tahun 2019 terdapat 1.815 kasus. KDP merupakan salah satu bentuk kekerasan di ranah personal yang menggambarkan kekerasan dilakukan dalam hubungan dengan orang terdekat. Kekerasan ini merupakan perwujudan ketimpangan hubungan kekuasaan antara laki-laki dan perempuan, yang menempatkan korban yang umumnya perempuan dalam posisi subordinasi dibandingkan dengan pelaku. Tulisan singkat ini akan memperkenalkan bentuk-bentuk KDP, dampak, dan bagaimana memutus lingkaran kekerasan.
Bentuk dan Dampak KDP
KDP dapat didefinisikan sebagai segala bentuk tindakan yang mempunyai unsur pemaksaan, tekanan, perusakan, dan pelecehan fisik, psikologis, ekonomi, dan seksual yang terjadi dalam hubungan pacaran atau hubungan intim. Dalam KDP terdapat pola perilaku di mana salah satu pasangan berusaha mengontrol, mengatur, menyebabkan rasa takut, atau bahkan membuat ketergantungan pasangannya dengan mengatasnamakan cinta. Secara umum, bentuk KDP meliputi kekerasan fisik, kekerasan psikologis, penyalahgunaan keuangan, dan kekerasan seksual. Bentuk KDP kemudian berkembang dan difasilitasi oleh teknologi informasi.
Kekerasan fisik yaitu setiap penggunaan kekuatan fisik yang disengaja dengan maksud untuk menyebabkan ketakutan atau cedera, seperti memukul, mendorong, menggigit, mencekik, menendang, atau menggunakan senjata. KDP terjadi tidak dapat dilepaskan dari sosialisasi peran ideologi gender. Laki-laki dididik untuk menjadi macho, penakluk, pelindung, pengatur, agresif, dan seterusnya, sementara perempuan dididik untuk menurut, pasif, diatur, dan menjaga diri. Oleh karena itu laki-laki dididik untuk menjadi pengatur dan penanggungjawab, maka ia berperan menjadi controller pasangannya. Jika terdapat hal yang tidak sesuai dengan nilai,cara hidup, atau mengalami ketersinggungan, maka memukul atau menampar dilakukan dengan alasan “mendidik” perempuan.
Penyalahgunaan digital (digital abuse) yaitu penggunaan teknologi dan/atau jejaring media sosial untuk mengintimidasi, melecehkan, atau mengancam pasangan saat ini atau mantan pasangan. Seperti meminta kata sandi, memeriksa ponsel, cyberbullying, sexting nonkonsensual, mengancam, atau membuntuti media sosial. Dalam kasus kekerasan berbasis siber, pola di dalam kasus KDP korban diancam oleh pelaku dengan menyebarkan foto atau video intim korban di media sosial ketika korban menolak berhubungan seksual, memutuskannya atau korban menolak kembali berhubungan.
Untuk kekerasan psikis, hal ini sangat hegemonik dan merusak. Misalnya, cemburu buta, membatasi aktivitas, membuat perempuan tidak mandiri, sampai menentukan cara berdandan. Juga mengancam, menghina, memantau terus-menerus, intimidasi, dan melakukan isolasi dari keluarga atau teman-temannya. Termasuk dalam kekerasan psikis adalah menguntit yang dapat terjadi secara online atau secara langsung, dan termasuk memberikan hadiah yang tidak diinginkan, atau tidak diterima.
Kekerasan seksual yaitu setiap tindakan yang berdampak pada kemampuan untuk mengendalikan aktivitas seksualnya atau keadaan di mana aktivitas seksual itu terjadi, termasuk pemerkosaan, pelecehan seksual, pemaksaan menggunakan kontrasepsi, atau pemaksaan aborsi. Untuk kekerasan seksual, lelaki distereotipekan aktif, perempuan pasif, sehingga muncul mitos kalau perempuan diam berarti setuju, atau “sok-sok nolak tapi mau.” Lainnya seperti mengiming-imingi dengan janji akan dinikahi, atau diancam akan diputus agar mau melakukan hubungan seksual.
Sedangkan penyalahgunaan keuangan (financial abuse) yaitu mengontrol pasangan melalui keuangan mereka, termasuk mengambil atau menahan uang dari pihak ketiga, atau melarang pasangan untuk mendapatkannya. Bentuk ini juga dilakukan misalnya dengan memaksa mendapatkan pin ATM, membelanjakan uang, atau menggunakan kartu kredit..
Memutus Siklus Kekerasan
Sama halnya dengan KDRT, dalam KDP terjadi apa yang disebut dengan “Siklus Kekerasan”, yang biasanya saya perkenalkan kepada korban-korban kekerasan, baik dalam lingkup rumah tangga maupun pacaran. Alasannya sederhana, ketika perempuan atau pasangannya memahami siklus kekerasan, mereka akan menyadari resiko dan bagaimana memutuskan siklus ini. Siklus ini ditemukan oleh Lenore Walker, seorang psikolog feminis yang melakukan penelitian terhadap korban-korban KDRT. Banyak korban KDRT bingung mengapa si pelaku melakukan kekerasan lagi setelah meminta maaf atau menyesali perbuatannya. Bahkan, bukan saja menyesal, pelaku juga melakukan kebaikan-kebaikan kepada korban. Siklus kekerasan bekerja sebagai berikut:
- Tahap ketegangan dimulai (tension building phase). Ini adalah tahap di mana perbedaan pendapat yang bercampur dengan ketegangan emosi dimulai. Di dalamnya terdapat adu mulut disertai nada-nada marah, menekan, sekaligus mengancam. Komunikasi yang buruk menyebabkan komunikasi yang terjadi bersifat saling menyakiti hati.
- Tahap tindakan atau kekerasan (acting-out phase). Ketika ketegangan tidak dapat diselesaikan dengan baik, maka pelaku akan melakukan kekerasan, khususnya fisik. Ia merasa bahwa dengan jalan ini maka ketegangan dapat berakhir dan situasi akan kembali terkendali. Dengan cara kekerasan, ia juga sedang menunjukkan siapa yang lebih kuat dan berkuasa.
- Tahap penyesalan/bulan madu (reconciliation/honeymoon phase). Setelah melakukan kekerasan, pelaku dihantui rasa bersalah dan penyesalan. Tapi penyesalan mungkin saja bersifat manipulatif. Yaitu ia menyesal bukan atas kesadaran, tapi karena takut mengalami konsekuensi yang lebih berat seperti perceraian atau dilaporkan. Tidaklah heran bila ia menunjukkan penyesalannya dengan meminta maaf atau berbuat kebaikan. Pada tahap inilah hati pasangan akan luluh, merasa kasihan, dan memaafkannya kembali. Tentu dengan harapan bahwa si pelaku benar-benar bertobat dan tidak melakukan kekerasan lagi.
- Tahap stabil (calm phase). Ini adalah tahap di mana relasi kembali diliputi situasi yang relatif stabil. Pertengkaran apalagi kekerasan telah mereda. Kedua pihak bisa jadi telah mengalami kelelahan fisik dan emosi sehingga tidak ada lagi tenaga untuk bertengkar. Namun tidak berarti bahwa mereka telah berhasil menyelesaikan akar masalahnya. Suatu waktu situasi ini akan kembali terkoyak bila permasalahan muncul dan tenaga kemarahan telah terkumpul. Artinya, suatu ketika kedua pihak akan kembali memasuki tahap pertamanya. Demikian selanjutnya.
Siklus ketegangan – kekerasan – bulan madu – stabil, akan terus berputar dengan intensitas dan kualitas yang semakin tinggi. Akibatnya korban setelah mengalami siklus kekerasan yang sama akan tidak berdaya. Korban belajar bahwa upaya apapun yang ia lakukan tidak akan membuatnya bebas dari relasi kekerasan tersebut. Dengan memahami siklus ini, maka dapat dipahami mengapa korban-korban umumnya tidak segera mencari pertolongan atau tetap dalam relasi yang toxic. Begitupun harapan bahwa perkawinan akan menghentikan kekerasan tidaklah tepat, karena siklus kekerasan terus berlanjut. Di sinilah jawaban mengapa korban KDRT sesungguhnya diawali oleh KDP.
Lantas apa yang dapat dilakukan untuk memutus siklus kekerasan? Langkah pertama adalah mengakui bahwa kita berpotensi untuk menjadi korban atau pelaku KDP, juga menemukenali bentuk-bentuknya. Hal inilah yang harus didialogkan dengan pasangan sekaligus untuk membangun komitmen relasi yang adil dan setara satu sama lain. Jika dipandang penting, langkah berikunya mintalah bantuan profesional (konselor) dan berlatih komunikasi yang asertif. Jika kita tidak memutus siklus, dan tetap berada dalam relasi yang abusive, bukan mustahil kita akan kehilangan seluruh potensi hidup kita.[]
Penulis adalah Komisioner Komnas Perempuan 2020-2024. Tulisan ini merupakan pendapat pribadi dan tidak mencerminkan pendapat lembaga.