Agus Tak Risih Mencuci Baju: Berbagi Peran dalam Rumah Tangga

 Agus Tak Risih Mencuci Baju: Berbagi Peran dalam Rumah Tangga

Ilustrasi (Sumber: Erick Eko Pramono) dalam buku Jejak-Jejak Perubahan

 

Oleh : Ani Rufaida

 

Agus menjemur pakaian di depan rumahnya pagi itu. Singlet bayi, daster, celana panjang, hingga cawat tampak menggantung di tali jemuran pada Senin 21 Juni tahun lalu. Bagi warga Desa Jetis, Saptosari, Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, pemandangan di depan rumah Agus terbilang tak lazim. Bahkan sejumlah pemuda yang melintas langsung mencibir Agus. “Bojomu neng ndi? Opo bojomu bayen meneh (Istrimu ke mana? Apa istrimu melahirkan lagi?)” kata mereka.

Agus menanggapi komentar tetangganya itu dengan santai. “Laki-laki sejati ya seperti ini,” kata pemuda 29 tahun yang pernah bekerja sebagai pedagang sayur tersebut.

Rumah Agus menjadi tempat berkumpul para pemuda karang taruna di dusunnya. Di sana anak-anak muda mengobrol tentang apa saja. Sebagai ketua karang taruna, Agus adalah salah satu figur anak muda yang cukup berpengaruh di wilayahnya.

Dulu Agus marah setiap ada yang mengolok-oloknya hanya karena dia mencuci baju keluarganya. Tapi kini ia menanggapi ejekan itu dengan santai. Dia sudah memiliki cara pandang baru tentang dirinya, yakni menjadi laki-laki yang tidak kaku. Bagi dia, pekerjaan domestik dan mengasuh anak adalah tanggung jawab bersama dalam keluarga.

Cara pandang ini belum lama dipahami Agus. Semula ia berpandangan kolot, seperti masyarakat pada umumnya yang menganggap kaum Adam (laki-laki) sebagai pemimpin, sehingga harus tegas, berani, bertanggung jawab, menjadi kepala keluarga dan pencari nafkah. “Saya sudah mencari uang yang sangat cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga,” kata dia.

Pemahaman itu membuat Agus enggan terlibat dalam pekerjaan domestik di dalam rumah. Ia berpikir bahwa mengasuh anak, menyapu, memasak, dan mencuci pakaian adalah pekerjaan perempuan. Alih-alih membantu istrinya beberes rumah, misalnya, Agus lebih memilih untuk nongkrong dengan teman-temannya sepulang kerja.

Bapak dua anak ini juga kerap pergi memancing atau berburu selama berhari–hari hanya untuk memuaskan diri. Polah Agus dengan hobi lamanya itu sering membuat istrinya, Endang, kesal bukan kepalang. Ia kerap mengomeli suaminya itu. “Kalau sudah memancing, lupa anak dan istri,” ujarnya.

Menurut Agus, komunikasi yang kurang terbuka membuat sikap cueknya terhadap keluarga semakin akut. Setiap ada persolan rumah tangga, ia dan istrinya memilih saling membisu. Sekalinya berbagi cerita, mereka masing-masing malah mengumbar perselisihan itu melalui media sosial, seperti Facebook. Alih-alih mereda, permasalahan menjadi bertambah rumit yang membuat hubungan mereka semakin tidak sehat.

Agus mulai tersadar dan perlahan berubah setelah Endang pada suatu hari marah besar terhadap sikapnya yang terus mengutamakan berkumpul dengan teman-temannya. “Istri saya akhirnya muntab (marah besar),” kata Agus.

Pandangan dan sikap Agus menggambarkan bagaimana konstruksi menjadi laki-laki yang lazim berkembang di masyarakat. Cara pandang bahwa lelaki harus kuat, berani, tegas, menjadi pengambil keputusan, pencari nafkah, merupakan konstruksi gender yang jamak dilekatkan oleh kebanyakan kaum Adam di negeri ini. Konstruksi tersebut memengaruhi peran gender laki-laki dan perempuan di masyarakat.

Agus akhirnya berubah tidak hanya karena amarah istrinya. Kisah metamorfosis Agus juga tak lepas dari program Prevention+ yang digagas organisasi non-pemerintah yang berkomitmen pada penghapusan kekerasan terhadap perempuan, Rifka Annisa. Cara Agusmemandang relasi antara laki-laki dan perempuan dalam keluarga dan masyarakat perlahan terkikis setelah mengikuti program tersebut.

Dalam sepuluh sesi pertemuan, diskusi kelas ayah dilakukan dengan metode refleksi, yaitu mempertanyakan dan melihat kembali pengalaman hidup para peserta laki-laki tanpa menghakimi maupun menyalahkan. Peserta lantas diminta memilah pengalaman-pengalaman yang baik untuk dilanjutkan. Peserta satu dengan yang lain juga diminta untuk saling membagikan pengalaman, sehingga dapat menjadi pembelajaran bersama tentang menjadi pasangan maupun ayah.

Agus merasakan betul faedah program Prevention+. Ia mengatakan bahwa berkeluarga memang tidak pernah ada sekolahnya. Dengan mengikuti program itu, ia berharap bisa belajar untuk menjadi ayah yang baik bagi anak-istrinya. “Keluarga itu tentang bagaimana menjaga perasaan sendiri, perasaan istri, dan bagaimana berteman dengan istri,” kata Agus.

 

Baca Juga: Cah Kangkung dan PPKM

 

Sejak saat itu, Agus memahami bahwa mencari uang adalah tanggung jawab bersama, termasuk pengelolaannya. Ini mengikis pandangan lamanya bahwa laki-laki itu superior, yang dapat berbuat apa saja selama bisa menafkahi keluarga. Tapi kini Agus menyadari bahwa itu tidaklah cukup. Keluarga perlu berbagi peran dan berbagi perasaan karena apa yang dilakukan istri juga berat. “Kini saya dan pasangan lebih bisa terbuka satu sama lain,” Agus bertutur.

Semakin lancar dan terbukanya komunikasi antara Agus dan istrinya juga berdampak positif terhadap anak sulung mereka, Lala. Bocah lima tahun itu kini semakin dekat dengan Agus, bahkan kerap curhat tentang perasaannya. Agus menyampaikan pengalamannya ini dalam diskusi kelas ayah.

Seiring berjalannya waktu, Agus memberikan kesempatan kepada istrinya untuk mengaktualisasikan diri di masyarakat. Endang, istrinya, kini aktif sebagai pengajar dan menjadi guru pendidikan anak usia dini (PAUD).

Agus dan istrinya secara bergantian mengasuh anak-anak ketika salah satu dari mereka harus bekerja.“Saya juga menyadari kemampuan istri, saya harus memberi kesempatan biar istri saya bisa mengembangkan dirinya,” tutur Agus.

Dukungan Agus membuat Endang semangat menjalani perannya sebagai guru. “Kita tidak bisa membantu orang dengan harta karena belum mampu. Tapi kita punya tenaga jadi bisa membantu orang lain dengan apa yang kita miliki,” kata Agus kepada Endang.

Bagi Agus, membebaskan istrinya untuk bekerja bukan keputusan yang mudah karena anak kedua mereka masih berumur 1,5 tahun. Untuk menopang kebutuhan keluarga, Agus menjadi pedagang dan buruh. Menurut dia, kondisi ekonomi menjadi tantangan terbesar selama mereka menjalani masa transisi. Endang, misalnya, bekerja secara sukarela dan kalaupun mendapatkan insentif hanya cukup untuk uang jajan anaknya. Situasi terasa semakin berat karena saat itu ayah Agus sedang sakit sehingga ibunya harus menjadi tulang punggung keluarga. Sebagai anak sulung, Agus merasa belum bisa membantu orang tuanya secara optimal.

Untungnya, Agus dan istrinya terus memperkuat komunikasi dan komitmen bersama. Kesadaran berbagi peran di antara mereka lambat laun muncul. Dukungan yang kuat dari pasangan membuat Agus lebih mudah mengatasi tekanan psikologis dari masyarakat yang masih terkungkung budaya patriarki yang kuat. Agus, misalnya, kini memiliki cara pandang baru, antara lain bahwa laki-laki bisa tegas juga penyabar, berani sekaligus bersikap lembut, bisa mengasuh anak dan beberes rumah, legowo (sabar) memberikan kesempatan kepada istri untuk mengaktualisasikan diri, serta berbagi kepemimpinan dengan pasangannya.

“Bukan karena takut istri, tapi karena aku sayang dan menghormati istri. Bukan karena menjadi lelaki yang melambai, tapi ini caraku menghormati perempuan. Bukan karena aku tidak bisa cari uang, tapi aku memberi kesempatan buat istri agar berkembang. Ini caraku memanusiakan manusia,” kata Agus dalam salah satu diskusi yang digagas organisasi Rifka Annisa dengan komunitas warga di Gunung Kidul, Agustus 2019.

 

*Sebagaimana yang diceritakan pada redaksi pada 25/9/21, identitas Agus dan Endang adalah nama samaran.

Digiqole ad