Menyuarakan Kembali Kartini

 Menyuarakan Kembali Kartini

Oleh: Gusti Kanjeng Ratu Hemas

 

Kepada Kartini masa kini, suarakan lebih lantang dan ambillah tindakan nyata untuk menghapuskan kekerasan terhadap perempuan, termasuk diskriminasi dan kekerasan yang sebelumnya dialami Kartini kita!

Kartini mungkin tidak akan diingat oleh bangsa ini apabila korespondensinya dengan rekan-rekannya di negeri Belanda tidak diterbitkan pada tahun 1911. Kartini mungkin hanya akan menjadi nama dan peristiwa yang biasa saja jika tulisan-tulisannya tidak diakui negara sebagai tonggak pemikiran kemajuan perempuan Indonesia.

Kartini menjadi istimewa karena ia berani mengungkapkan pemikiran untuk menolak kebodohan bangsanya, terutama perempuan. Kartini menjadi inspirasi bangsa ini karena ia menggunakan guratan pena untuk berhadapan dengan budaya yang mengungkung perempuan.

Kartini pada zamannya hanya diperkenankan menikmati pendidikan sampai usia 12 tahun, setelah itu ia –sebagaimana perempuan lainnya- dipingit di rumah dan sama sekali tidak diberikan ruang untuk berkiprah di ruang publik.

Namun sejarah mencatat, domestikasi sepanjang usia remajanya tidak membuatnya menyerah, justru mematangkan pemikirannya berkat kegemarannya membaca berbagai buku yang pada masa itu hanya dijumpai dalam Bahasa Belanda.

Kartini menunjukkan bahwa kebodohan hanya dapat dilawan dengan pendidikan, khususnya dengan membaca yang membangkitkan nalar kritis dan menulis sebagai ruang mengekspresikan pikiran-pikiran kritis menyikapi situasi kehidupan.

Kartini juga menyaksikan bahwa diskriminasi atas dasar apapun, itu sangatlah menyakitkan. Ia melihat diskriminasi itu sedemikian nyata, dialami oleh ibu kandungnya sendiri yang tidak berdarah biru, yang harus berjalan menunduk dan merangkak di hadapan anak-anaknya sendiri yang berdarah biru dari garis ayahnya.

Namun sebagai perempuan pada masa itu, Kartini juga tidak berdaya ketika disodori perkawinan yang bukan monogami. Dari surat yang ditulisnya, ia pada akhirnya bernegosiasi dengan institusi yang disebutnya sebagai kejahatan berukuran raksasa itu. Ada yang kemudian menilainya menyerah.

Saya sendiri melihat beliau sebagai seorang survivor, yang mencoba bertahan menjalani setahun perkawinan lalu mengembuskan napas terakhir setelah empat hari melahirkan putra pertamanya.

Kartini sendiri tidak sempat menikmati buah pemikirannya yang terlampau maju pada zamannya. Kartini masa kinilah yang menikmati buah karyanya.

Siapakah Kartini masa kini? Saya percaya bahwa setiap perempuan Indonesia hari ini yang berkiprah di berbagai bidang untuk menegakkan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan adalah Kartini masa kini.

Di Indonesia pada hari ini, terdapat banyak Kartini masa kini yang terbukti mampu berkontribusi untuk kemajuan bangsa ini. Ada yang menjadi guru untuk mengentaskan kebodohan, ada yang menjadi pejabat publik untuk memastikan kebijakan publik memperhatikan kepentingan perempuan, dan ada yang menjadi aktivis lingkungan untuk mengawasi penggunaan sumber daya alam agar tidak merugikan perempuan.

Ada pula yang menjadi pekerja rumah tangga dan pekerja migran Indonesia demi terlepas dari kemiskinan dan kebodohan. Ada yang memilih mengabdi sebagai dokter, jurnalis, dosen, buruh pabrik, penyapu jalan, penjual gorengan, dan ibu rumah tangga, dan jenis pekerjaan lainnya.

Mereka semua adalah Kartini masa kini karena berjuang menegakkan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dan berjuang mengeleminasi kemiskinan dan kebodohan mulai dari lingkungan di sekitarnya.

Menjadi seorang ibu rumah tangga juga dapat bermakna sebagai Kartini masa kini, apabila ia mendukung dirinya untuk maju dan mengupayakan untuk menikmati kebahagiaan penuh dalam rumah.

Hidup penuh kebahagiaan dalam rumah artinya perempuan harus terhindar dari kekerasan dalam rumah tangga, dan itu artinya perempuan sebagai istri harus berada dalam posisi yang setara dengan suami, bukan dengan menutup diri karena menganggap KDRT sebagai aib, atau menyalahkan diri sendiri karena merasa tidak mampu melayani suami dengan baik.

Dukungan laki-laki sebagai suami dalam hal ini mutlak adanya karena kekerasan terhadap perempuan masih menjadi catatan besar untuk dituntaskan oleh bangsa ini.

Namun demikian, saya juga menyayangkan bahwa pada masa kini juga terdapat perempuan yang justru melawan semangat Kartini untuk menegakkan kesetaraan dan menghapuskan kekerasan terhadap perempuan.

Ironis memang, terdapat perempuan yang menikmati pendidikan dan kebebasan berekspresi di zaman sekarang –yang tidak dinikmati Kartini pada zamannya- justru menyerukan agar perempuan tidak perlu berkiprah di ruang publik atas nama perlindungan perempuan, dan menyerukan agar perempuan segera menikah di usia muda dan menganjurkan perempuan untuk rela dipoligami atas nama perlindungan perempuan.

Bersama ini saya mengajak kepada seluruh Kartini masa kini untuk bersatu menolak kebodohan, melawan ketidaksetaraan, dan menghalau ajakan yang hendak mendomestikasi perempuan dan merendahkan kemanusiaan perempuan.

Kartini pada zamannya telah bersuara dan menuangkan pikiran-pikirannya dalam tulisan. Maka, kepada Kartini masa kini, suarakan lebih lantang dan ambillah tindakan nyata untuk menghapuskan kekerasan terhadap perempuan, termasuk diskriminasi dan kekerasan yang sebelumnya dialami Kartini kita![]

Pimpinan DPD RI periode 2014-2019, Ketua Presidium Nasional Kaukus Perempuan Parlemen RI.

Digiqole ad