Keguguran saat Bekerja

 Keguguran saat Bekerja

(Ilustrasi: Pixabay/Bokskapet)

Hi kehilangan anak pertamanya saat menjadi buruh garmen salah satu perusahaan di KBN Cakung. Saat itu, Hi mendapat instruks dari pengawas untuk mengambil barang dari laundry-room, sebuah ruang khusus yang memuat berbagai bahan kimia untuk membersihkan baju sebelum dikemas. Instruksi diberikan, meskipun pengawas mengetahui kandungan HI sudah cukup besar (usia 7,7 bulan). Di dalam laundry-room yang dipenuhi berbagai bahan kimia, Hi diperintahkan untuk mengambil setengah karung hasil cuci. Meskipun keberatan, namun perintah tetap harus dijalankan.

Tidak sampai 12 jam setelahnya, Hi mengalami pecah ketuban. Lalu kurang dari 24 jam anak pertamanya lahir. Sayangnya, kelahiran premature menyebabkan tidak sempurnanya paru-paru si bayi, sehingga hanya mampu bertahan hidup selama 4 (empat) jam.

Tidak cukup kehilangan anaknya, Hi langsung berhadapan dengan selesainya masa kontrak tiga bulan kerja. Alih-alih mendapatkan hak kerja dan cuti keguguran, Hi hanya menerima upah UMR dan sisa masa kontraknya selama 17 hari saja. Sialnya lagi, sang suami yang menemani Hi melewati masa sulit harus menerima kenyataan diberhentikan dari kerja trainingnya. Perusahaan beralasan seorang buruh yang training tidak boleh mengajukan izin bahkan ketika istrinya melahirkan sekalipun.

Tiga bulan Hi beristirahat dan memulihkan diri di rumah tanpa mendapatkan bantuan dari perusahaan. Hi akhirnya kembali mencari pekerjaan sebagai buruh garmen di KBN Cakung.[]

 

Hi, 24 tahun

 

Dikutip dengan penyuntingan terbatas dari buku “Pelecehan Seksual dan Pengabaian Hak Maternitas pada Buruh Garmen: Kajian Kekerasan Berbasis Gender di KBN Cakung”, Perempuan Mahardhika, 2017.

 

 

Digiqole ad