Pick Me Girl: Sindrom Kebencian Terhadap Perempuan
Oleh: Uung Hasanah
Konten kreator yang memparodikan pick me girl mulai menjamur di media sosial. Dengan akting yang ciamik, mereka mencirikan pick me girl ke dalam beberapa versi. Seperti perempuan yang suka menjelek-jelekkan kesenangan perempuan lain, merasa paling natural tanpa makeup, merasa lebih senang berteman dengan laki-laki dari pada sesama perempuan, suka cari perhatian dari lawan jenis, dan merasa lebih spesial dibanding perempuan lainnya.
Dilansir dari Urban Dictionary, a pick me girl who seeks male validation by indirectly or directly insinuating that she is “not like the other girls”. Pick me girl adalah perempuan yang mencari validasi lawan jenis (laki-laki) baik secara langsung atau tidak langsung untuk menunjukkan dirinya tidak sama dengan perempuan pada umumnya. Sikap ini kadang kala dipraktikkan perempuan saat bersama lawan jenis secara langsung ataupun saat berkumpul dengan sesama perempuan.
Dengan kata lain, kebiasaan perempuan pada umumnya dinilai kurang baik. Sehingga, perempuan yang berbeda dari kebiasaan tersebut akan merasa dirinya istimewa. Adapun kebiasaan yang sering kali diperbandingkan oleh pick me girl meliputi mengidolakan idol K-Pop, menggunakan makeup, terlalu banyak drama, ribet saat diajak jalan, menjaga kebersihan, dan lain-lain. Tentu saja, kebiasaan-kebiasaan itu tidak bisa serta merta diidentikkan dengan kebiasaan perempuan, tergantung karakter atau personal diri seseorang. Secara tersirat pick me girl adalah bentuk kebencian terhadap perempuan.
Sindrom kebencian terhadap perempuan bukan kali ini saja muncul di permukaan. Sebelumnya, ada istilah lain yakni misogini yang didefinisikan oleh Kate Manne dalam bukunya Down Girl: The Logic of Misogyny (2017) dikutip Magdalene.co (14/12/2020), sebuah lingkungan atau sistem sosial di mana perempuan menghadapi perlakuan koersif, tak bersahabat, dan yang berbau kebencian, hanya karena mereka adalah perempuan di dunia para laki-laki yang maskulin.
Baca Juga: Mendobrak Tradisi Misoginis dalam Teks
Istilah ini muncul pada abad ke-17 saat menanggapi sebuah pamflet anti perempuan yang ditulis oleh Joseph Swetnam. Tulisan tersebut muncul di tengah kecemasan dan perdebatan modern awal tentang posisi perempuan dalam masyarakat. Sejak saat itu, istilah misogini sering digunakan untuk menggambarkan kebencian terhadap perempuan. Popularitasnya mulai meroket pada tahun 1970-an, seperti dilansir New York Times (8/3/2019).
Umumnya, misogini hanya menjangkiti laki-laki. Akan tetapi, dukungan sistem patriarki akhirnya juga membuat perempuan turut membenci perempuan. Kebencian sesama perempuan ini disebut internalized misogyny. Paham misogini lambat laun terinternalisasi dalam diri perempuan akibat adanya pandangan bahwa perempuan tidak berhak hidup selayaknya laki-laki. Pick me girl dan internalized misogyny adalah produk misogini.
Perempuan Melukai Dirinya Sendiri
Produk misogini jelas membawa kerugian bagi perempuan. Selain menguatkan ketimpangan gender, pick me girl juga merugikan dirinya sendiri. Dr Ike Herdiana, M. Psi, Psikolog Universitas Airlangga (UNAIR), bahkan menyebutkan bahwa dalam beberapa situasi pick me girl membutuhkan konseling, terlebih apabila kondisi tersebut terus berlangsung, pick me girl akan terobsesi merendahkan dan menghina orang lain. Sikap yang demikian akan membuat relasi sosial dan lingkungan menjadi tidak menyenangkan, serta memungkinkan adanya persaingan yang tidak sehat.
Secara tidak langsung, pick me girl telah menyakiti dirinya sendiri. Memaksakan menjadi berbeda dengan perempuan lain justru akan mengikis jati diri yang sesungguhnya. Pada dasarnya, perempuan tidak membutuhkan validasi orang lain atau lawan jenis untuk meneguhkan eksistensi diri. Biar bagaimanapun, menerima diri sendiri dan tidak mencoba menjadi orang lain adalah cara mengistimewakan diri.
Baca Juga: Kenapa Harus Jadi Misoginis kepada Korban Kekerasan Seksual?
Sejak lahir, perempuan sudah dilihat sebelah mata oleh masyarakat patriarki. Keberadaan perempuan dianggap benalu dan tidak boleh melawan kodrat yang ditentukan sendiri oleh masyarakat. Untuk melawan pandangan itu, perempuan harus mengakui dirinya sendiri terlebih dahulu. Bahwa sebagai perempuan dengan segala karakternya bukan sesuatu yang buruk. Fenomena pick me girl menjadi refleksi bahwa misogini masih ada di tengah modernitas. Jika misogini terus mendarah daging, maka penderitaan perempuan akan semakin berlapis. []
Mahasiswa pascasarjana ini menerbitkan buku pertamanya “Menggugat Feminisme” dengan nama pena Uunk Crispy