Jalan Terjal RUU P-KS Menjadi RUU TPKS

 Jalan Terjal RUU P-KS Menjadi RUU TPKS

Ninik Rahayu

Oleh: Dr. Ninik Rahayu, S.H., M.S.

Pengertian kekerasan seksual belum ada di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Namun, secara etimologis istilah kekerasan seksual berasal dari dua kata. Yaitu “kekerasan” dan “seksual”. Menurut KBBI kekerasan berasal dari kata dasar “keras” yang diartikan sebagai perbuatan seseorang atau kelompok orang yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain, bisa juga berarti paksaan. Sementara seksual didefinisikan sebagai perkara persetubuhan antara laki-laki dan perempuan.

Dengan demikian, berdasarkan pengertian kekerasan dan seksual di atas, kekerasan seksual adalah perbuatan seseorang atau kelompok orang yang menyebabkan kerusakan fisik atau barang-barang orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain, berkenaan dengan perkara persetubuhan antara laki-laki dan perempuan, atau berkenaan dengan perkara persetubuhan antara laki-laki dan perempuan dengan paksaan.

Baca Juga: Mengapa Perlu RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual?

Tidak jauh berbeda dengan definisi kekerasan seksual dalam draf akademik RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS), dalam Bab 1 Ketentuan Umum Pasal 1 angka 1 kekerasan seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, menyerang, dan atau perbuatan lainnya terhadap tubuh, hasrat seksual seseorang dan atau fungsi reproduksi, secara paksa, bertentangan dengan kehendak seseorang yang menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas, karena ketimpangan relasi kuasa dan atau relasi gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual, kerugian secara ekonomi, sosial, budaya, dan politik (Draf Akademik RUU Penghapusan Kekerasan Seksual 2017).

Sementara dalam bab dan pasal yang sama, pengertian kekerasan seksual dibuat lebih sederhana dan ringkas, yakni setiap perbuatan yang bersifat fisik dan atau non fisik, mengarah kepada tubuh dan atau fungsi alat reproduksi yang disukai atau tidak disukai secara paksa dengan ancaman, tipu muslihat, atau bujuk rayu yang mempunyai atau tidak mempunyai tujuan tertentu untuk mendapatkan keuntungan yang berakibat penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual, dan kerugian secara ekonomis (Draf RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual [TPKS] 2021). Definisi kekerasan seksual dalam draf RUU P-KS lebih rinci dibandingkan RUU TPKS.

Bukan tanpa sebab, perubahan definisi kekerasan seksual terjadi karena adanya pandangan bahwa makna kekerasan seksual dalam draft RUU P-KS terlalu liberal dan feminis, dikhawatirkan dapat melanggar norma agama dan adat yang berlaku- seperti yang disampaikan Marwan Dasopang, Wakil Ketua Komisi VIII DPR (Kompas, 8/9/2020).

Tidak hanya perubahan arti kekerasan seksual, bentuk pelecehan yang awalnya ada 9 jenis, dipangkas menjadi 4 jenis. Yakni pelecehan seksual, pemaksaan alat kontrasepsi, pemaksaan hubungan seksual (kata perkosaan yang sengaja diperhalus), dan eksploitasi seksual. Sementara bentuk kekerasan seksual lainnya seperti pemaksaan aborsi, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual, dan penyiksaan seksual dihapus.

Hal ini tentu membawa para pejuang keadilan semakin jauh dari tujuan awal untuk mendapatkan payung hukum daripada kejadian tidak senonoh yang mereka alami. Invalidasi pengalaman perempuan ketika menghadapi berbagai jenis kekerasan seperti yang telah dirumuskan di awal adalah suatu bentuk kemunduran.

Baca Juga: Menyoal 5 Bentuk Kekerasan Seksual yang Tidak Dimuat dalam RUU TPKS

Tak sampai di situ, nama Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS) diubah menjadi Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS). DPR menilai pergantian nama tersebut dilakukan untuk membuat kasus kekerasan seksual mudah ditangani dan menilai bahwa kekerasan seksual merupakan tindak pidana khusus (Kumparan, 7/9/2021). Kata “penghapusan” sebenarnya adalah nawacita bersama, refleksi dari kegamangan pengalaman perempuan untuk tidak lagi mengalami kekerasan sehingga bisa hidup aman dan bebas.

Apakah kekerasan seksual bisa dihapus? Terus terang tidak bisa, namun sebagai nilai ideal harusnya bisa. Ius constituendum (cita-cita hukum) yang akan diciptakan tersebut, secara politis harus bisa terpenuhi karena akan menjadi sia-sia rasanya jika kita membuat norma tapi tidak punya cita-cita.

RUU PKS (Penghapusan) lebih luas dari sekedar RUU TPKS (tindak pidana). Penghapusan tidak hanya mencakup penanganan, melainkan komponen menyeluruh mulai dari pencegehan (mencegah keberulangan), penanganan (tidak hanya kepada korban, tapi juga pelaku), penindakan terhadap pelaku serta mewujudkan lingkungan yang kondusif dan memiliki keseimbangan untuk menerima korban ataupun pelaku yang sudah ditreatment. Kekerasan seksual harus dihapuskan, dihentikan, diberantas, tidak boleh ada kasus-kasus lain yang muncul.

Saya khawatir perjalanan RUU TPKS akan mengalami nasib sama dengan pengesahan Undang-Undang sebelumnya. Seperti UU KUHP yang dirancang sejak tahun 1963 namun sampai saat ini tak kunjung disahkan, atau Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) yang baru disahkan pada September 2004 setelah mengalami perjalanan pelik, jika masih banyak cara pandang keliru yang mempercayai bahwa RUU ini adalah pesanan feminis, pengaruh barat, dan mengada-ada. Saatnya kita melek literasi serta menggunakan nalar kritis terhadap fenomena kekerasan seksual yang terjadi di sekitar kita. Pengesahan sebuah RUU, bukan sekedar proses pengesahannya yang perlu dijaga, melainkan juga apakah secara substantif telah sesuai dengan kebutuhan masyarakat terutama korban.

RUU TPKS tidak lahir secara dadakan. RUU ini mengalami perjalanan terjal sejak masih bernama RUU PKS. Oleh karenanya tidak benar jika RUU ini disahkan sebagai hadiah untuk perempuan, seperti pemberitaan yang berseliweran menjelang peringatan Hari Perempuan dan Hari Ibu di Tahun 2021.

Baca Juga: Apa Rumusan Hukum yang Perlu Ada dalam RUU PKS? (Bagian 2)

Gagasan terkait RUU TPKS lahir dari maraknya kasus kekerasan seksual yang semakin meningkat, lemahnya penanganan kepada korban, serta tidak adanya payung hukum yang secara spesifik memvalidasi kekerasan seksual jenis lama atau baru seperti Kekerasan Seksual Berbasis Gender Online (KBGO). Jeritan dan tangis dari korban menyublim menjadi sebuah rancangan undang-undang guna melindungi dan menindak tegas supaya kasus-kasus kekerasan seksual tidak lagi bermunculan. Sayangnya, masih banyak kalangan yang tidak mampu “mendengarkannya”.

Semenjak penyusunannya di tahun 2012, RUU PKS berhasil masuk menjadi salah satu program legislasi nasional (Prolegnas) Prioritas DPR tahun 2016. Dikira angin segar, nyatanya pengesahan RUU ini berhadapan dengan jurang pemisah antara kepentingan dan idealitas yang ingin dicapai. Bahkan di tahun 2020, RUU dicabut dari Prolegnas Prioritas 2020. Tak ayal, pencabutan itu menyulut emosi dan kekecewaan masyarakat. Berbagai aksi telah dilakukan untuk mengupayakan RUU TPKS ini segera disahkan, akankah RUU ini akan masuk dalam Program legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas DPR RI mendatang?

Dalam teori negara hukum kesejahteraan (welfare state), versi substantif konsep negara hukum berkembang dari individual rights, di mana privacy dan otonomi individu serta kontrak sebagai landasan yang paling pokok. Kemudian berkembang pada prinsip hak-hak atas kebebasan pribadi dan atau keadilan (dignity of man) serta berkembang menjadi konsep social welfare yang mengandung prinsip-prinsip substantif, persamaan, kesejahteraan serta kelangsungan komunitas. Dignity of man sejatinya merupakan roh dari hak dasar manusia dalam suatu negara (Ninik, 2021: 24). Sangat jauh dari ketakutan banyak orang untuk tanggap terhadap kasus kekerasan seksual yang dianggap sebagai wilayah “privacy”, justru kebebasan individu merupakan dasar dari suatu negara hukum.

Baca Juga: Sekelumit UU Pelecehan Seksual Lebanon

RUU TPKS adalah wujud dari upaya warga negara mendapatkan hak yang telah dijamin dalam UUD 1945. Sejumlah pasal menyebutkan hak-hak warga negara seperti Pasal 27 ayat (1) hak persamaan kedudukan di dalam hukum, Pasal 27 ayat (2) hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak, Pasal 28A-J hak atas HAM, Pasal 29 atas agama, Pasal 30 hak atas pembelaan negara, Pasal 31 hak atas pendidikan, Pasal 32 hak atas budaya, Pasal 33 hak atas perekonomian, dan Pasal 34 hak atas kesejahteraan sosial. Bentuk hukum ini adalah bagian dari perlindungan hak-hak di atas agar tetap terpenuhi. Sesuai dengan tujuan hukum untuk menciptakan keadilan (teori etis) dan upaya melegalkan kepastian hak dan kewajiban (teori normatif dogmatis).

Sebagai negara hukum Pancasila yang memiliki nilai luhur sesuai mandat UUD 1945 yang di dalamnya mengandung Pancasila dengan prinsip-prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa serta tidak adanya pemisahan antara negara dan agama, prinsip musyawarah dalam pelaksanaan kekuasaan pemerintahan negara, prinsip keadilan sosial, kekeluargaan, dan gotong royong, serta hukum yang mengabdi pada ketuhanan negara kesatuan Indonesia (Ninik, 2021), mestinya bukan hal yang sulit untuk mengesahkan RUU PKS-yang kita kenal RUU TPKS sejak 2021 sebagai bentuk komitmen negara hukum Pancasila. Apalagi yang dibutuhkan untuk menghidupkan nurani pemangku kebijakan untuk segera menjadikan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana kekerasan Seksual (RUU TPKS) menjadi Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS)? Jangan menunggu ribuan korban lagi berjatuhan! []

 

Direktur Jalastoria

 

Referensi:

Ninik Rahayu, Politik Hukum Penghapusan Kekerasan Seksual di Indonesia, 2021.

“Wakil Ketua Komisi VIII Berharap Definisi Kekerasan Seksual dalam RUU PKS Diubah”, Kompas.com, 8 September 2020, diakses 23 Januari 2022.

“Baleg Ungkap Alasan RUU PKS Jadi RUU TPKS: Memudahkan Penegak Hukum”, Kumparan.com, 9 September 2021, diakses 23 Januari 2022.

 

Digiqole ad