Menyoal 5 Bentuk Kekerasan Seksual yang Tidak Dimuat dalam RUU TPKS
Oleh: Ratna Batara Munti, M.Si
Selasa, 18 Januari 2022 lalu, Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) disahkan sebagai RUU Inisiatif DPR. Ini adalah kali kedua RUU ini menjadi Inisiatif DPR. Sebelumnya, RUU yang masih berjudul Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS) saat itu, telah menjadi RUU Inisiatif DPR setelah pertama kali diajukan pada tahun 2016 di masa periode DPR 2014 – 2019. Namun, saat itu gagal dibahas hingga berakhirnya masa bakti DPR 2014-2019.
RUU P-KS kemudian diajukan kembali untuk masuk dalam Prolegnas, termasuk oleh kelompok masyarakat sipil seperti JKP3 dan FPL. RUU ini kemudian masuk dalam daftar Prolegnas 2020–2024. Di tahun 2020, RUU P-KS tidak kunjung dibahas bahkan sempat diusulkan untuk dikeluarkan dari Prolegnas prioritas saat itu.
Pembahasan baru terjadi di tahun 2021, yakni di bulan Agustus di mana Baleg menerbitkan draf awal untuk diusulkan menjadi RUU Inisiatif DPR, dengan judul yang diubah menjadi RUU (RUU TPKS). Pada tanggal 8 Desember 2021, RUU TPKS berhasil diselesaikan oleh Baleg dan selanjutnya dibawa ke Rapat Paripurna untuk disahkan menjadi RUU Inisiatif DPR.
Perubahan Materi Muatan
RUU TPKS mengandung perubahan yang signifikan bila dibandingkan dengan RUU P-KS yang diusulkan kelompok masyarakat sipil bersama Komnas Perempuan pada 2016. Dalam RUU P-KS diatur 9 bentuk kekerasan seksual yaitu: Perkosaan, Pelecehan Seksual, Eksploitasi Seksual, Penyiksaan Seksual, Perbudakan Seksual, Pemaksaan Kontrasepsi, Pemaksaan Aborsi, Pemaksaan Pelacuran, dan Pemaksaan Aborsi.
Baca Juga: 6 Masukan atas RUU TPKS
Dalam draf RUU TPKS Agustus 2021 yang merupakan draf pertama dari Baleg, 4 (empat) bentuk kekerasan seksual dihapus yakni: Perbudakan Seksual, Pemaksaan Aborsi, Pemaksaan Pelacuran dan Pemaksaan Perkawinan. Sementara, Perkosaan diubah istilahnya menjadi Pemaksaan Hubungan Seksual. Alasannya, istilah perkosaan sudah digunakan dalam KUHP/RKUHP.
Selain itu Pelecehan Seksual dirumuskan secara terpisah antara Pelecehan Seksual Fisik dan Pelecehan Seksual Non Fisik. Rumusan Penyiksaan Seksual dimasukkan meski tidak dicantumkan nama deliknya. Selain itu ada penambahan rumusan Pemaksaan Sterilisasi tersendiri di samping Pemaksaan Kontrasepsi yang sudah ada.
Dalam proses pembahasan selanjutnya di tingkat Panja RUU P-KS di Baleg, terdapat beberapa perubahan seperti diusulkannya rumusan Pelecehan Seksual Berbasis Elektronik. Ini menyusul maraknya kasus kekerasan seksual berbasis siber seperti yang dilaporkan berbagai lembaga penyedia layanan serta temuan hasil riset. Selain itu masih minimnya perlindungan terhadap korban kekerasan seksual berbasis siber, sehingga korban justru seringkali dikriminalkan melalui UU ITE atau UU Pornografi.
Adapun Pemaksaan Hubungan Seksual yang semula masih dipertahankan akhirnya ditiadakan dari draf final per 8 Desember 2021. Dengan demikian, keseluruhan tindak pidana kekerasan seksual dalam RUU P-KS yang tidak dimuat di RUU TPKS menjadi 5 (lima) bentuk: Perkosaan/Pemaksaan Hubungan Seksual, Pemaksaan Aborsi, Pemaksaan Pelacuran, Pemaksaan Perkawinan, dan Perbudakan Seksual.
Perlu Diatur sebagai TPKS
Panja Baleg DPR dalam Rapat 1 November 2021 menilai kelima bentuk kekerasan seksual itu telah cukup diatur dalam aturan UU atau RUU lain. Alasan yang disampaikan sebagai berikut:
- Perkosaan/Pemaksaan Hubungan Seksual: Sudah diatur RKUHP Pasal 479
- Pemaksaan Aborsi: Sudah diatur RKUHP Pasal 469 ayat (2) dan 599 huruf d, UU Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) Pasal 48, UU Perlindungan Anak (UU PA) Pasal 45A, UU Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO) Pasal 7
- Pemaksaan Pelacuran: RKUHP Pasal 599 huruf d, UU PKDRT Pasal 8 huruf b, UU PA Pasal 761, UU TPPO Pasal 2 s/d 6 dan 12
- Pemaksaan Perkawinan: Sudah diatur UU PA Pasal 76 D
- Perbudakan Seksual: Sudah diatur RKUHP Pasal 599 huruf d, UU PKDRT Pasal 47, UU PA Pasal 761, UU PTPPO Pasal 2 s/d 6 & 12
Baca Juga: RUU TPKS: Langkah Maju yang Butuh Penyempurnaan
Menurut penulis, lima bentuk kekerasan seksual belum sepenuhnya diatur dalam peraturan perundang-undangan yang ada. Jika hanya melihat dari kesamaan nama delik saja lantas menyimpulkan bahwa bentuk kekerasan seksual tersebut sudah diatur maka ini bentuk simplifikasi yang berdampak diskriminatif terhadap korban. Bahkan ada beberapa UU yang disebutkan di atas tidak ada relevansinya dengan lima bentuk kekerasan seksual tersebut.
Belum Diatur UU dan RUU Lain
Misalnya Pemaksaan Aborsi, dianggap sudah diatur dalam RKHUP Pasal 469 ayat (2). Pasal ini melarang setiap orang yang menggugurkan atau mematikan kandungan seorang perempuan “tanpa persetujuannya”. Ketentuan ini belum melindungi perempuan korban yang terpaksa memberikan persetujuan karena pelaku memanfaatkan kondisi kerentanan perempuan. Seperti adanya tekanan psikis dari pasangan atau keluarga, atau dengan cara penyalahgunaan kekuasaan, tipuan atau rangkaian kebohongan, atau bahkan melalui bujukan dan iming-iming dari orang dewasa terhadap remaja atau anak perempuan yang hamil tersebut. Perempuan atau anak perempuan dalam situasi ini alih-alih dilindungi sebagai korban pemaksaan aborsi sebaliknya malah terancam dikriminalkan sebagai pelaku aborsi. Seperti terjadi dalam banyak kasus selama ini, salah satunya kasus WA di Jambi yang viral, di mana korban hamil akibat perkosaan oleh kakak kandungnya dan korban dipaksa mengaborsi kandungan.
Pemaksaan Aborsi juga dianggap telah diatur dalam tiga UU lainnya padahal tidak relevan. Seperti UU PA Pasal 45A, ketentuan ini mengatur larangan melakukan aborsi, bukan larangan pemaksaan aborsi. Juga UU PTPPO Pasal 7 lebih mengatur pemberatan sanksi pidana 1/3 jika perbuatan membahayakan kehamilan korban. Terakhir UU PKDRT Pasal 48 yang mengatur soal sanksi bagi pelaku bila perbuatannya menyebabkan menyebabkan gugur atau matinya janin korban.
Pemaksaan Aborsi bersama dengan Pemaksaan Pelacuran dan Perbudakan Seksual juga dinilai telah diatur dalam RKUHP Pasal 599 huruf d. Padahal pasal ini lebih mengatur ketiga bentuk kekerasan seksual tersebut sebagai perbuatan yang merupakan bagian dari serangan yang meluas, sistematis (terencana dan terorganisir) yang ditujukan kepada penduduk sipil, yakni suatu kondisi yang biasa terjadi saat konflik bersenjata. Dengan kata lain, pasal ini tidak mengatur ketiga bentuk kekerasan seksual yang terjadi di masa damai, atau yang dilakukan bukan sebagai bagian dari serangan meluas dan sistematik.
Baca Juga: Mengapa Perlu RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual?
Terkait rumusan perkosaan di RKUHP memang diakui sudah ada kemajuan, namun belum menjangkau korban perkosaan yang mengalami perkosaan dengan penyalahgunaan kekuasan, tipu muslihat, atau rangkaian kebohongan. Demikian pula jika dilakukan selain dengan ancaman dan/atau kekerasan, atau kondisi lainnya yang sudah dirumuskan di RKUHP.
Pemaksaan Perkawinan dianggap sudah diatur dalam UU PA Pasal 76D. Sedangkan pasal tersebut mengatur larangan persetubuhan anak bukan larangan perkawinan anak atau perkawinan paksa itu sendiri.
Sementara itu, UU PA hanya berlaku untuk anak. Demikian pula UU PKDRT terbatas pada ruang lingkup rumah tangga. Sedangkan UU PTPPO hanya bisa digunakan dalam konteks perdagangan orang (terpenuhinya unsur proses, cara dan tujuan dari perdagangan orang).
Dampak Ketiadaan Pengaturan
Tidak semua korban dapat dijangkau oleh pengaturan lima bentuk kekerasan seksual di UU yang ada, sebagaimana diuraikan di atas. RUU TPKS seharusnya menjawab masalah ini, yakni mengisi ruang kosong karena terbatasnya aturan untuk menjangkau korban dari lima bentuk kekerasan seksual tersebut.
Ketiadaan pengaturan lima bentuk kekerasan seksual tersebut dalam RUU TPKS menimbulkan dampak bagi korban yang dirugikan dan diperlakukan diskriminatif. Selain tidak terlindungi oleh aturan manapun yang faktanya masih minim pengaturannya, juga tidak dapat mengakses perlindungan dan terobosan hukum yang diatur dalam RUU TPKS tersebut. Antara lain:
- Tidak dapat mengakses hukum acara khusus kekerasan seksual.
Dalam draf sebelumnya, ada pasal penjembatan yang dibuat untuk menjembatani aturan TPKS di UU lain, agar dapat menerapkan hukum acara dalam RUU TPKS. Namun di draf RUU per 8 Desember 2021, pasal jembatan tersebut sudah dikeluarkan atau dihapus.
Di sisi lain, penulis berpendapat, meskipun ada pasal jembatan namun keberadaan pasal tersebut tetap tidak dapat menjangkau korban dari lima bentuk kekerasan seksual sepanjang lima bentuk tersebut tidak diatur dalam RUU TPKS. Hal ini karena di peraturan perundang-undangan lainnya juga minim pengaturan sehingga tidak semua korban bisa terlindungi.
- Tidak mendapatkan pemulihan, pendampingan, dan perlindungan khusus atas hak-haknya sebagai korban/saksi, maupun restitusi.
- Tidak dapat mengakses keadilan terkait tindak pidana kekerasan seksual yang dilakukan untuk tujuan penghakiman, diskriminasi, dan/atau kepentingan mendapatkan keterangan (Pasal 9 RUU TPKS). Hal ini karena Pasal 9 hanya berlaku untuk tindak pidana yang diatur dalam RUU TPKS saja. []
Pengurus Asosiasi LBH APIK Indonesia, Direktur LBH APIK JAWA BARAT, Anggota Jaringan Pembela Hak Perempuan Korban Kekerasan Seksual