Memperingati Hari Buruh di Indonesia, Ini Sosok Marsinah yang Berjuang hingga Titik Darah Penghabisan

 Memperingati Hari Buruh di Indonesia, Ini Sosok Marsinah yang Berjuang hingga Titik Darah Penghabisan

Ilustrasi Marsinah pejuang wanita yang memperjuangan hak buruh.

Hari Buruh Internasional diperingati setiap 1 Mei setiap tahunnya. Negara-negara di dunia, juga Indonesia, merayakan Hari Buruh guna menghormati sekaligus mengingat perjuangan buruh melawan pelanggaran hak-hak mereka.

Gerakan Hari Buruh sebenarnya sudah mulai ada sejak abad ke-19, tepatnya di Amerika Serikat. Gerakan tersebut menuntut hak-hak pekerja, salah satunya terkait jam kerja menjadi maksimal 8 jam per hari seperti dijelaskan dalam Ensiklopedia Britanica.

Salah satu sosok yang memperjuangkan nasib buruh di Indonesia adalah Marsinah. Perempuan kelahiran 10 April 1969 ini sangat lekat dengan perjuangan buruh dan pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di masa lalu.

Marsinah kerap berjuang sebagai buruh di PT Catur Putra Surya, pabrik arloji di Porong, Sidoarjo. Dia ikut menggerakkan massa berunjuk rasa menuntut kenaikan upah sejak 4 Mei 1993.

Sejak itulah nama Marsinah tidak asing di kalangan aktivis. Dia memimpin unjuk rasa pada 3 dan 4 Mei 1993. Menurut Buku Laporan Kasus Kekerasan Penyidik dalam Kasus Marsinah 1995 oleh Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), penyebab unjuk rasa itu dipicu oleh pelanggaran sejumlah hak buruh oleh pihak manajemen perusaha.

 

                    Baca Juga: Miskonsepsi tentang Feminisme dalam Pendidikan

 

Aksi Marsinah dan buruh lainnya kala itu juga disertai mogok kerja. Alhasil di masa itu aparat keamanan di rezim Orde Baru bergerak menertibkan buruh yang melakukan aksi demonstrasi. Sayangnya, aksi dan keberanian Marsinah berujung pada kemalangan.

Selepas melayangkan surat protes pada 5 Mei, Marsinah dinyatakan hilang. Jasad Marsinah ditemukan 3 hari kemudian di pinggiran Hutan Jati Wilangan, Desa Jegong, Kecamatan Wilangan, Nganjuk, Jawa Timur.

Aktivis buruh ini ditemukan tewas di sebuah gubuk di tengah sawah pada 9 Mei 1993 di Nganjuk, Jawa Timur. Saat ditemukan, jenazah Marsinah dalam keadaan memprihatinkan.

Berdasarkan data yang dilansir JalaStoria, sebelum tewas, pada 5 Mei 1993, ada 13 buruh digiring ke markas Komando Distrik Militer Sidoarjo atas tuduhan menghasut rekan-rekannya berunjuk rasa. Pada hari yang sama, Marsinah diketahui sempat mendatangi Kodim Sidoarjo, bertanya mengenai kondisi 13 rekannya itu. Namun, malam itu juga Marsinah dilaporkan mulai menghilang.

Kasus kematian Marsinah naik setelah sejumlah aktivis, mahasiswa, buruh, dan Lembaga Swadaya Masyarakat mempersoalkan penyebab kematiannya. Polisi dan tentara pun mengusut kematian Marsinah dengan menangkap 9 petinggi dan karyawan PT CPS.

 

                   Baca Juga: Memandang Makna Kartinisasi di Kalangan Kelas Menengah

 

Namun pada 29 April 1995, Mahkamah Agung membebaskan para terdakwa. Hasil persidangan mengecewakan pendukung Marsinah, membuat mereka terus menyuarakan tuntutan agar kasus pembunuhan Marsinah diselidiki dengan terang.

Hingga kini setiap tanggal 1 Mei, nama Marsinah masih dikenang sebagai pahlawan buruh nasional. Atas jasanya, ia juga dianugerahi Penghargaan Yap Thiam Hien.

Digiqole ad