Aku Tak Mau Nama Ayah Ada dalam Dataku

 Aku Tak Mau Nama Ayah Ada dalam Dataku

Ilustrasi (JalaStoria.id)

Suatu hari saya pergi berobat ke sebuah fasilitas kesehatan (faskes) milik pemerintah di dekat tempat saya tinggal. Berhubung saya baru pertama kali berobat ke sana, maka saya musti mendaftarkan diri dahulu di bagian administrasi.

Semua data diri ditanyakan sebagaimana standar prosedur pada umumnya, dari mulai mengisi nama, tempat tanggal lahir dan data-data standar lainnya. Sampai pada akhirnya, petugas bertanya: “Nama ayah, siapa?”

Heh!  “Maksudnya bagaimana?” tanya saya dalam hati. Tapi tentu saja keterkejutan saya itu tidak sempat saya utarakan langsung kepada petugas,  karena jam menunjukkan sudah menjelang sore dan dokter yang saya tuju akan segera tutup praktik. Saya buru-buru menjawab pertanyaannya dan  petugas memberi nomor antrian untuk saya bawa ke tempat praktik dokter di lantai atas.

Mengapa saya terkejut dengan pertanyaan nama ayah? Pertama, karena pertanyaan ini tidak lazim saya temukan, baik ketika saya membuat kartu BPJS kesehatan dan membuka rekening di bank, maupun membuat NPWP dan urusan lainnya. Biasanya yang dimintakan adalah nama ibu untuk dijadikan sebagai data kunci saat membuat akun nasabah.

Kedua, kenapa saya tidak suka nama ayah dijadikan sebagai data kunci akun saya? Ini alasan yang sangat pribadi yang tidak dapat saya bagikan di sini. Tetapi intinya adalah, saya tidak suka nama ayah saya dicantumkan dalam bank data saya.

Sayangnya karena saat itu ada keterbatasan waktu, saya tidak sempat bertanya banyak kepada petugas mengapa ada kebijakan seperti itu di faskes tersebut. Saya juga belum sempat kembali lagi ke sana. Selain karena saya juga tidak sakit dan tidak ada keperluan yang sangat penting, menuju ke faskes itu jaraknya juga lumayan jauh dari tempat saya tinggal.

Kenapa saya cukup ribet menyoroti isu ini?

Sebetulnya begini, bagaimana jika seseorang dilahirkan dari hasil, misalnya, perkosaan berkelompok (gang rape)? Mungkin dia tidak akan tahu siapa ayahnya.

Atau misalnya ketika masih dalam kandungan, ayah biologisnya meninggalkan dia. Ketika lahir dia diserahkan untuk dirawat oleh tante dan nenek  dari pihak ibunya karena ibu biologisnya meninggal dan keluarga besar mereka bersepakat untuk tidak pernah memberitahukan siapa ayahnya. Mereka juga memutus kontak dengan siapapun yang berkaitan dengan ayah biologisnya. Ini seperti yang terjadi pada keponakan kawan saya, pasti anak itu tidak akan pernah tahu juga siapa nama ayahnya.

Mengingat banyak sekali contoh kasus anak yang tidak pernah mengenal ayah biologisnya, pada akhirnya saya terpikir, bagaimana kalau semua lembaga baik pemerintah maupun swasta bersepakat saja bahwa data kunci untuk nasabah/klien cukup memakai nama ibu kandung?  Atau jika mau ekstrem, tidak usah memakai nama orang tua saja, baik ayah dan juga ibu, sekalian.

Apabila orang tua kita keduanya sudah meninggal, tidak akan ada gunanya juga kan? Saya juga tidak melihat urgensinya mengapa nama ibu kandung selalu jadi isian wajib di data manapun. Sebagai gantinya mungkin dapat diganti dengan pertanyaan apa binatang peliharaan favorit atau siapa aktor atau aktris favorit kita.

Boleh saja kan, diganti seperti itu model pertanyaannya? Pertanyaan itu selain lebih menyenangkan, juga sangat menghibur. Semoga saja  usul ini dipertimbangkan.[]

 

Identitas penulis ada pada Redaksi

 

 

 

 

Digiqole ad