Mengenang Peristiwa Mei 1998, Aksi Kejahatan terhadap Kemanusiaan
Dalam sejarah bangsa Indonesia, terdapat sebuah peristiwa kelam yang hingga kini masih terus membayangi. Peristiwa kelam itu adalah Kasus Mei 1998 yang terjadi pada 13-15 Mei 1998. Di masa itu, aksi kejahatan terhadap kemanusiaan menyisakan luka yang mendalam, khususnya di kalangan etnis tertentu (Tionghoa) dan kaum perempuan.
Tak bisa dimungkiri, peristiwa Mei 1998 telah menelan ribuan korban jiwa, menggoncangkan dunia, dan mencoreng bangsa Indonesia dalam bidang HAM. Meski terjadi 26 tahun lalu, kejadian Mei 1998 nyatanya tidak membuat orang lupa. Kejadian Mei 1998 bahkan ditempatkan sebagai sebuah titik sejarah hitam bagi perjalanan bangsa Indonesia.
Kerusuhan yang berawal di Jakarta dan kemudian merembet ke beberapa kota besar lainnya itu adalah kerusuhan rasial terhadap etnis Tionghoa. Kerusuhan ini diawali oleh krisis finansial Asia dan dipicu oleh tragedi Trisakti di mana empat mahasiswa Universitas Trisakti ditembak dan terbunuh dalam demonstrasi 12 Mei 1998. Hal inipun mengakibatkan penurunan jabatan Presiden Soeharto, serta pelantikan B. J. Habibie sebagai Presiden Indonesia ketiga.
 Baca Juga: 6 Perempuan Inspiratif di Dunia Pendidikan, Jasanya Tak Terlupakan
Pada kerusuhan ini. banyak toko dan perusahaan dihancurkan oleh massa terutama toko-toko milik warga Indonesia keturunan Tionghoa. Konsentrasi kerusuhan terbesar terjadi di Jakarta, Medan dan Surakarta. Selain perusakan toko, terdapat ratusan wanita keturunan Tionghoa yang diperkosa dan mengalami pelecehan seksual dalam kerusuhan tersebut. Sebagian bahkan diperkosa beramai-ramai, dianiaya secara sadis, kemudian dibunuh. Dalam kerusuhan tersebut, banyak warga Indonesia keturunan Tionghoa yang kemudian meninggalkan Indonesia.
Dampak Peristiwa Mei 1998
Selain berimbas pada turunnya Soeharto, kerusuhan Mei 1998 juga membawa sejumlah dampak lain, mulai dari kerusakan hingga kematian. Indonesia pun porak poranda setelah kejadian Mei 1998.
Jumlah keseluruhan korban dalam kerusuhan Mei 1998 di berbagai wilayah Indonesia ditaksir mencapai angka 1.217 jiwa meninggal dunia, 91 orang luka, dan 31 orang hilang.
Korban meninggal dunia dalam kerusuhan Mei 1998 disebabkan berbagai kondisi, yakni terbakar, luka akibat senjata atau alat lain, hingga pembunuhan dan pemerkosaan. Bukan hanya itu, terdapat 159 korban kekerasan seksual selama kerusuhan Mei 1998. Adapun pemerkosaan massal tersebut lebih banyak terjadi di berbagai wilayah Jakarta, mulai dari Jakarta Pusat, Barat, Timur, Utara, dan sekitarnya.
Sayangnya, meski sudah puluhan tahun berlalu, hingga kini tidak terungkap siapa dalang di balik kejadian Mei 1998. Ketidakjelasan ini membuat Masyarakat, terutama keluarga korban, masih tidak dapat menerima dan terus menuntut ditegakkannya keadilan. Kejadian Mei 1998 terus mengundang pertanyaan dibenak masyarakat.
   Baca Juga: Dilema Perempuan dan Pendidikan yang Masih Terbentur dengan Ketimpangan Gender
Korban Kekerasan Seksual
Satu kasus yang paling membekas dan menyakitkan dari peristiwa Mei 1998 adalah banyaknya korban kekerasan seksual. Perkosaan massal yang terjadi pada Mei 1998 adalah sebuah tragedi yang menjadi catatan kelam dalam penanganan kasus perkosaan di Indonesia.
Pada kerusuhan, terjadi perkosaan massal di beberapa titik wilayah yang korbannya sebagian besar adalah para perempuan etnis Tionghoa. Tim Relawan kasus Mei 1998 mencatat setidaknya ada 150 perempuan etnis Tionghoa yang mengalami perkosaan, atau bahkan bisa jadi lebih tinggi.
Para aktivis Tim Relawan menghadapi kondisi yang mencekam ketika secara beruntun menerima telepon berisi aduan perkosaan di berbagai tempat. Tim Relawan juga menemukan para korban dengan berbagai kondisi, ada yang terduduk diam dengan pandangan kosong karena stres, pingsan bersimbah darah, hingga korban yang meninggal karena dianiaya setelah diperkosa.
          Baca Juga: Miskonsepsi tentang Feminisme dalam Pendidikan
Para aktivis yang tergabung dalam Tim Relawan untuk Kekerasan terhadap Perempuan (TKRP) terus berkeliling untuk memberi bantuan kepada para korban. Kala itu fokus utama para aktivis pada saat itu adalah memberikan tempat yang aman untuk para korban. Hal ini dilakukan karena pemerintah tidak langsung merespons perkosaan massal ini dengan membuat posko ataupun layanan aduan.
Itulah rangkuman kisah mengenang peristiwa naas tragedi Mei 1998 yang menjadi catatan hitam bagi bangsa Indonesia.
Elvira Siahaan, perempuan apa adanya, mencintai anjing, dan suka petualangan baru.